Oleh : Sadri Ondang Jaya
Aku lahir 12 Agustus 1969 di sebuah desa pesisir pantai
ceruk teluk Samudera Indonesia.
Tepatnya, Desa Gosong Telaga Selatan, Singkil Utara, Aceh Singkil.
Begitu aku nongol ke dunia. Orangtuaku M. Naim
dan Latifah sepakat menamaiku dengan Sadri Ondang Jaya.
Sadri, artinya dada atau hati. Ondang bijaksana. Sedangkan Jaya, bermakna sukses.
Dengan nama itu, orangtuaku berobsesi sekaligus berdoa agar putra kedua dari lima bersaudaranya, memiliki hati
yang lapang, bijaksana, dan sukses.
***
Sejak 1999 hingga sekarang, pekerjaan yang kutekuni, adalah guru.
Sebelum jadi cikgu, saat mahasiswa di era 90-an, aku aktif di Senat Mahasiswa
Perguruan Tinggi (SMPT), Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Darussalam- Banda Aceh.
Selain itu, aktif pula di Organisasi Remaja
Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.
Sempat pula mengorganisir Forum Kajian
Islamadina. Yaitu, komunitas tempat
diskusi intelektual muda.
Yang membahas berbagai
persoalan agama, transformasi sosial, dan budaya.
Pernah juga menjadi dedengkot pada jamaah
Nadhliyin sejak PMII, Gerakan Pemuda (GP) Anshor hingga Nadhatul Ulama (NU).
Tidak itu saja, pernah bergiat
di bidang akademika, yakni menjadi dosen luar biasa di
IAIN Ar-Raniry (sekarang UIN Ar-Raniry), Darussalam. Mengampuh mata kuliah Pancasila dan Bahasa Indonesia.
Pekerjaan
lain yang aku ditekuni, adalah sebagai “kuli tinta” di Koran Warta Unsyiah dan Tabloid Gema Baiturrahman.
***
Pasca
mahasiswa atau setelah meraih sarjana, aku berkarir menjadi
jurnalis profesional.
Dengan berlabuh pada Harian Umum terbitan lokal,
Serambi Indonesia.
Menjelang lima tahun berkecimpung, aku pun berhenti.
Lalu, pasca keluar dari Serambi, tahun 2005 Redaktur Hr. Rakyat Aceh (koran kelompok Jawa Pos),
mengangkat aku menjadi koresponden di
wilayah Aceh Singkil dan sekitarnya.
Tak lama jadi wartawan ‘nyambi’ di Harian
Rakyat Aceh, aku pun berpaling. Serius berkutat di guru.
***
Orang menilaiku sosok tak pernah diam, selalu bergerak dan berpikir.
Memang begitulah tekad dan obsesiku. Aku pingin jadi manusia dinamis,
aktif, dan
kreatif.
Sehari-hari, selain mengajar, mengurus organisasi,
aku menyalurkan
hobi, membaca dan menulis.
Karena hobi itulah, tulisan-tulisanku acap nongol di
berbagai media, seperti Media Indonesia, Majalah Panji Masyarakat, Republika, Serambi
Indonesia, dan berbagai media online.
Tulisan yang kuracik beragam. Ada cerpen, puisi, opini, dan esay.
Tulisan-tulisan itu, ada
yang sudah tertuang dalam buku dan telah diterbitkan secara
nasional oleh FAM Indonesia, Malang, Jawa Timur.
Seperti, buku antologi kisah inspiratif, Cinta di Ujung Penah dan Mimpi yang Sempurna.
Ada juga buku Singkil
Dalam Konstelasi Sejarah Aceh dan kumpulan cerpen yang bertitel Memoar Siti
Ambia.
***
Kegemaran
aku menulis, diawali semasa di bangku
SMP. Terutama menulis surat yang dikirim pada teman-teman di luar daerah.
Kecantolnya aku ke dunia tulis
menulis itu,
karena di samping Pesantren Syekh Abdurrauf Singkil, tempat aku mondok, tinggal seorang guru. Pak Darul Qudni CH namanya.
Pak Darul Qudni putra Tapaktuan itu,
termasuk guru yang rajin membaca dan menulis. Tulisanya acap terbit di
massmedia.
Karena hobiku dengan Pak Darul Qutni sama, membuat aku “tergila-gila” belajar dengannya.
Ia sosok guru idola. Karena itu, aku memintanya menjadi guru perivat dalam tulis menulis.
Pak guru itulah yang mengajar dan
memotivasi aku dalam menulis.
Seminggu sekali, kalau tidak ada kegiatan, aku bertandang ke rumahnya untuk numpang baca koran.
Sehabis membaca, apalagi kalau tulisan Pak
Darul Qudni dimuat, aku terlibat diskusi panjang membahas tulisannya.
Isi tulisan, bahasa, kalimat, dan
gaya penulisannya merupakan bahasan yang mengasyikkan bagi kami.
Dari diskusi itu, aku memeroleh ilmu.
Sehingga bisa dikatakan, Pak Darul Qudni yang meletakkan dasar-dasar
kepercayaan diri dan membimbingku menjadi
pengarang.
Ia mengajariku dengan sabar, serius, antusias, dan suka rela,
tanpa bayar alias gratisan.
Sehabis belajar, Pak Darul Qudni
selalu menyisipkan pesan yang menyemangati supaya aku mau dan terus menulis.
“Yang penting untuk Anda lakukan: Menulis dan menulis, kemudian
menulis dan menulis lagi,” begitu nasihat Pak Darul Qudni saya.
Menulis
itu tambah beliau, sangat bermanfaat. Salah satu manfaatnya, kita
akan terbebas dari tekanan hidup dan pikiran yang galau.
Nasihat dan motivasi yang
disampaikan, semulanya tak aku tanggapi dengan
serius. Aku hanya tersenyum saja.
Setelah
kurenung-renungkan. Rupanya, nasihat dan motivasi itu
semacam dorongan gaib atau spirit bagiku.
Karena itu, nyaris setiap malam, sebelum
tidur, aku “menggoreskan
isi hati” pada lembaran-lembaran kertas putih.
Jika belum mengena di hati, tulisannya tak kunjung jadi, lembar-lembar kertas tadi, aku tepikan begitu saja.
Saat lain, tulisan tadi aku pelajari kembali. Kemudian kutulis hingga tangan dan kepala terasa letih.
Setiap aku belajar menulis, nasihat S.I. Hayakawa, tergiang-ngiang di telinga: “Belajar menulis adalah belajar berpikir. Anda tidak akan mengetahui apa pun dengan jelas, kecuali Anda dapat mengungkapkannya secara tertulis.”
Dari beberapa tulisan yang aku anyam. Lahirlah salah
satu cerita pendek pertama yang berjudul “Pendirian yang Goyah”.
Naskah cerpen itu pun aku tunjukkan pada Pak Darul Qudni. Lalu, kami pun terlibat intens “membedah”
isinya.
Setelah dibedah, Pak Darul Qudni mengedit dengan memberikan komentar-komentar di sana-sini. Kemudian, menyuruh aku mengetik ulang.
Dengan mesin ketik Merk Royal pinjaman dari
sekolah, aku mengetik naskah tadi
dengan jari jemari yang masih tertatih-tatih. Menggunakan “sebelas jari”.
Setelah rampung, lantas Pak Darul Qudni,
meminta naskah tadi untuk dikirimnya ke redaksi koran.
Beberapa
pekan lamanya, aku mendapat informasi.
Cerpen yang kukirim tempo hari telah dimuat di koran Mingguan “Demi Masa” terbitan Medan, Sumatera Utara.
Cerpen yang berjudul Pendirian yang Goyah itulah tulisanku pertama terbit di media massa.
Ketika itu, hatiku senang alang kepalang dan bangga
tak terkira.
Saking senangnya, cerpen tersebut, aku baca berulang-ulang.
Dengan semangat membara
dan penuh kegirangan, cerpen tadi aku perlihatkan
pula pada
teman-teman.
Ketika itu, teman-teman
berkomentar, Insya Allah, kamu Sadri bakal menjadi penulis.
Aku hanya senyum-senyum
saja mendengar komentar itu sembari hati mengucapkan, aamiin.
Dengan keluarnya cerpen pertama itu, aku semakin aktif menulis. Aku membaca dan terus membaca. Menulis dan menulis. Karena kedua itu, satu rangkaian yang tak bisa dipisahkan.
Membaca
buku-buku sastra, sejarah dan buku apa saja milik pustaka sekolah,
menjadi langgananku.
Setelah membaca,
kulanjutkan menulis. Sehingga, beberapa judul cerpen dan puisi mulai lahir dari tangan dinginku. Kemudian terbit menghiasi mass media.
Cerpen dan puisi yang telah diterbitkan itu,
saya kliping dan dokumenkan dengan rapi.
***
***
Tamat
SMP dan Madrasyah di Pesantren Syekh Abdurrauf Singkil, aku melanjutkan ke sekolah guru (SPG) di
Tapaktuan, Aceh
Selatan.
Karena ketika itu, di Singkil, belum ada sekolah pendidikan guru yang aku dambahkan. Hal ini membuatku semakin jauh merantau. Tentu, semakin banyak pula biaya yang saya butuhkan.
Sementara kiriman uang dari kampung, nyaris
tidak aku dapatkan. Sebab waktu itu, abang dan dua adikku, harus pula melanjutkan
pendidikan. Sedangkan ayahku telah saya berpulang kerahmatullah.
Untuk membiayai hidup, aku harus “membanting tulang” menjadi
loper Koran.
Saat menjadi loper koran, saya makin banyak
membaca, mengamati, menelaah dan memelajari cara menulis berita,
features, esai, dan puisi-puisi yang terdapat dalam koran.
Berita dan tulisan-tulisan dalam koran yang
bagus-bagus dan penting, aku kliping. Tatkala tengah malam atau pada bakda subuh, saat sunyi menjelang dan hawa
dingin memeluk bumi.
Di saat orang-orang nyenyak tidur di peraduan, aku luangkan waktu
menumpahkan isi hati melalui tulisan.
Aku menulis dan terus menulis. Berlembar-lembar tulisan kubuat.
Karena saya ingat pesan Dylan Thomas “Menulislah,
karena hanya itu cara untuk membuat dunia tahu apa yang engkau pikirkan.”
Bermacam- ragam gendre tulisan aku garap. Tetapi lebih
banyak kisah cinta, kekecewaan, dan cucuran air mata.
Terutama, tentang kesengsaraan hidup yang melankolis, picisan yang mencabik-cabik sukma.
Namun tulisan-tulisan itu, hanya beberapa
buah saja yang dimuat di koran dan majalah. Selebihnya sekadar “konsumsi”
terbatas. Misalnya, untuk memenuhi tugas yang diberikan guru, dibacakan di
depan kelas, dan dalam momen-momen tertentu.
***
Saat kuliah, aku semakin intensif, terinspirasi, termotivasi, dan percaya
diri menulis. Terutama mengedit dan “mempermak” tulisan yang pernah kubuat dulu.
Kemudian tulisan-tulisan itu aku kirimkan ke redaksi
koran, tabloid, dan majalah. Baik itu, terbitan lokal maupun ibu kota, Jakarta.
Dari sekian banyak tulisan yang kukirim, hanya beberapa
buah saja yang dimuat lebih banyak ditolak. Kendatipun begitu, tidak membuat semangat menulisku kendor alias patah
arang.
***
Demi mewujudkan obsesiku menjadi penulis, berbagai pelatihan dan diskusi menulis kerap kuikuti.
Dalam sebuah pelatihan jurnalistik, aku terpilih menjadi peserta
terbaik. Lalu, dimagangkan di Hr. Serambi Indonesia. Selesai magang aku diberi sertifikat.
Dengan
secarak sertifikat,
aku melamar
ke berbagai penerbitan yang ada di Banda Aceh.
Alhamdulillah, aku pun diterima menjadi
salah seorang reporter di koran kampus, Warta Unsyiah.
Melalui koran kampus itu, aku terus belajar menulis secara otodidak. Tidak
lama kemudian, aku bergabung di Tabloid Gema Baiturrahman.
Tabloid yang diterbitkan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, sebuah masjid
yang tersohor keindahannya di Asia Tenggara.
Saat bekerja di Tabloid Gema Baiturrahman, aku pun semakin produktif menulis.
Karena di tempat aku bekerja, tersedia
beberapa unit komputer.
Ini membuat aku lebih leluasa dan terdorong menuangkan pikiran,
ide atau gagasan. Terutama gendre
yang berisi “rintihan hati”.
Saat itu, aku menulis apa saja. Meliput berita, merangkum
hasil wawancara, buat cerpen anak-anak, esai, opini, puisi, dan resensi buku.
Pokoknya, menulis kujadikan “mesin uang” agar mendapatkan honor sebanyak-banyaknya.
Motto hidupku ketika itu: “Jika
ingin hidup ya menulis.”
Tulisan-tulisan yang dikirim di samping banyak ditolak redaksi, ada juga yang dimuat.
Jika tulisan dimuat, waduh! Senangnya bukan kepalang. Karena akan mendapat honor –meskipun tak seberapa--dari
tulisan-tulisan tersebut.
Dengan adanya honor: berarti hidupku tersambung beberapa
hari ke depan.
Honor
tulisan itulah kujadikan penambah biaya kuliah dan biaya hidup hingga aku meraih gelar sarjana.
***
***
Karena pernah beraktifitas di media massa
dan punya sedikit “keahlian” menulis serta punya akses dengan kalangan wartawan, aku pernah mencecap kursi birokrat. Menjadi Kabag termuda di Sekdakab Aceh Singkil, yakni Kabag. Humas,
Protokoler, dan Infokom.
Pernah juga mangkal sebagai kepala bidang
di Dinas Kependudukan dan catatan Sipil, Aceh Singkil.
Karena kurang “serasi” menjadi birokrat
apalagi yang tidak sesuai dengan latar belakang ilmu, aku memilih back to basic, ke habitat guru.
Sebagai seorang guru profesional, aku semakin menyadari bahwa menulis sangatlah membantu dalam pengembangan karir.
Apalagi untuk menambah kridit poin dalam kenaikan pangkat.
Aturan sekarang, jika guru mau naik
pangkat, harus membuat karya ilmiah.
Karena itu, setiap ada kesampatan aku terus menulis. Tulisan
itu, ada yang saya kirim ke media massa umum dan juga ke media yang
terbitan terbatas.
***
Aku menyadari,
seusia sekarang, menjelang 50 tahun,
aku hanya bisa
meracik beberapa tulisan saja.
Berbagai dalih selalu menghantui dalam
peyelesaiannya. Referensi yang sangat minimlah, tidak mood, waktu terbatas karena sibuk mengajar, dan bising serta beribu alasan
lainnya.
Sehingga merampungkan satu tulisan saja, aku acap mengerenyut dahi, ngos-ngosan, dan
mengeluarkan energi ekstra.
Bahkan, terkadang
membutuhkan waktu yang relatif lama.
Kendati begitu, aku terus menulis. Setiap
hari. Menulis apa saja. Walau hanya beberapa
kalimat dan alinia.
Menulis, tak pernah kutinggalkan. Tentu saja termasuk, menulis materi pelajaran di papan tulis.
Semua itu, sebagai wujud pengabdianku
pada bangsa dan negara serta tuntutan profesi keguruan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar