Sabtu, 14 April 2018

Menulis Antara Hobi dan Tuntutan Hidup


Oleh : Sadri Ondang Jaya


 Aku lahir 12 Agustus 1969 di sebuah desa pesisir pantai ceruk teluk Samudera Indonesia.

Tepatnya, Desa Gosong Telaga Selatan, Singkil Utara, Aceh Singkil.

Begitu aku nongol ke dunia. Orangtuaku  M. Naim dan Latifah sepakat menamaiku dengan Sadri Ondang Jaya.

Sadri, artinya dada atau hati. Ondang bijaksana. Sedangkan Jaya, bermakna sukses.  

Dengan nama itu, orangtuaku berobsesi sekaligus berdoa agar putra kedua dari lima bersaudaranya, memiliki hati yang lapang, bijaksana, dan sukses.

***

Sejak 1999 hingga sekarang, pekerjaan yang kutekuni,  adalah guru.

Sebelum jadi cikgu, saat mahasiswa di era 90-an, aku aktif di Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Darussalam- Banda Aceh.

Selain itu, aktif pula di Organisasi Remaja Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.

Sempat pula mengorganisir Forum Kajian Islamadina. Yaitu, komunitas tempat diskusi intelektual muda.

Yang membahas berbagai persoalan agama, transformasi sosial, dan budaya.

Pernah juga menjadi dedengkot  pada jamaah Nadhliyin sejak PMII, Gerakan Pemuda (GP) Anshor hingga Nadhatul Ulama (NU).

Tidak itu saja, pernah bergiat di bidang akademika, yakni menjadi dosen luar biasa di IAIN Ar-Raniry (sekarang UIN Ar-Raniry), Darussalam. Mengampuh mata kuliah Pancasila dan Bahasa Indonesia.

Pekerjaan lain yang aku ditekuni,  adalah sebagai “kuli tinta” di Koran Warta Unsyiah dan Tabloid Gema Baiturrahman.

***

Pasca mahasiswa atau setelah meraih sarjana, aku berkarir menjadi jurnalis profesional.

Dengan berlabuh pada Harian Umum terbitan lokal, Serambi Indonesia.

Menjelang lima tahun berkecimpung, aku pun berhenti.

Lalu, pasca keluar dari Serambi,  tahun 2005 Redaktur Hr. Rakyat Aceh (koran kelompok Jawa Pos), mengangkat aku menjadi koresponden di wilayah Aceh Singkil dan sekitarnya.

Tak lama jadi wartawan ‘nyambi’ di Harian Rakyat Aceh, aku pun berpaling. Serius berkutat di guru.

***

Orang menilaiku sosok tak  pernah diam, selalu bergerak dan berpikir.

Memang begitulah tekad dan obsesiku. Aku pingin jadi manusia dinamis, aktif, dan kreatif.

Sehari-hari, selain mengajar, mengurus organisasi, aku menyalurkan hobi, membaca dan menulis.

Karena hobi itulah, tulisan-tulisanku acap nongol di berbagai media, seperti Media Indonesia, Majalah Panji Masyarakat, Republika, Serambi Indonesia, dan berbagai media online.

Tulisan yang kuracik beragam. Ada cerpen, puisi, opini, dan esay.

Tulisan-tulisan itu, ada yang sudah tertuang dalam buku dan telah diterbitkan secara nasional oleh FAM Indonesia, Malang, Jawa Timur.

Seperti, buku antologi kisah inspiratif, Cinta di Ujung Penah dan Mimpi yang Sempurna.

Ada juga buku Singkil Dalam Konstelasi Sejarah Aceh dan kumpulan cerpen yang bertitel Memoar Siti Ambia.

***

Kegemaran aku menulis, diawali semasa di bangku SMP. Terutama menulis surat yang dikirim pada teman-teman di luar daerah.

Kecantolnya aku ke dunia tulis menulis itu, karena di samping Pesantren Syekh Abdurrauf Singkil, tempat aku mondok, tinggal seorang guru. Pak Darul Qudni CH namanya.

Pak Darul Qudni putra Tapaktuan itu, termasuk guru yang  rajin membaca dan menulis. Tulisanya acap terbit di massmedia.

Karena hobiku  dengan Pak Darul Qutni sama, membuat aku “tergila-gila”  belajar dengannya.

Ia sosok guru idola. Karena itu, aku memintanya menjadi guru perivat dalam tulis menulis.

Pak guru itulah yang mengajar dan memotivasi aku dalam menulis.

 Seminggu sekali, kalau tidak ada kegiatan,
aku bertandang ke rumahnya untuk numpang baca koran. 

Sehabis membaca, apalagi kalau tulisan Pak Darul Qudni dimuat, aku  terlibat diskusi panjang membahas tulisannya.

Isi tulisan, bahasa, kalimat, dan  gaya penulisannya merupakan bahasan yang  mengasyikkan bagi kami.

Dari diskusi itu, aku memeroleh ilmu. Sehingga bisa dikatakan, Pak Darul Qudni yang meletakkan dasar-dasar kepercayaan diri dan membimbingku menjadi pengarang

Ia mengajariku dengan sabar, serius, antusias, dan suka rela, tanpa bayar alias gratisan.

Sehabis belajar, Pak Darul Qudni selalu  menyisipkan pesan yang menyemangati supaya aku mau dan terus menulis.

“Yang penting untuk Anda lakukan: Menulis dan menulis, kemudian menulis dan menulis lagi, begitu nasihat Pak Darul Qudni saya.

Menulis itu tambah beliau, sangat bermanfaat. Salah satu manfaatnya, kita akan terbebas dari tekanan hidup dan pikiran yang galau.

Nasihat dan motivasi yang disampaikan, semulanya tak aku tanggapi dengan serius. Aku hanya tersenyum saja.

Setelah kurenung-renungkan. Rupanya, nasihat dan motivasi itu semacam dorongan gaib atau spirit bagiku.

Karena itu, nyaris setiap malam, sebelum tidur, aku “menggoreskan isi hati”  pada lembaran-lembaran  kertas putih.

Jika belum mengena di hati, tulisannya tak kunjung jadi, lembar-lembar kertas tadi, aku tepikan begitu saja. 

Saat lain, tulisan tadi aku pelajari kembali. Kemudian  kutulis hingga tangan dan kepala terasa letih.

Setiap
aku belajar menulis, nasihat S.I. Hayakawa, tergiang-ngiang di telinga: “Belajar menulis adalah belajar berpikir. Anda tidak akan mengetahui apa pun dengan jelas, kecuali Anda dapat mengungkapkannya secara tertulis.”

Dari beberapa tulisan yang aku anyam. Lahirlah salah satu  cerita pendek  pertama yang berjudul “Pendirian yang Goyah”.

Naskah cerpen itu  pun  aku tunjukkan pada Pak Darul Qudni. Lalu, kami pun terlibat intens “membedah”  isinya.

Setelah dibedah,  Pak Darul Qudni mengedit dengan memberikan komentar-komentar di sana-sini. Kemudian,  menyuruh aku mengetik ulang. 

Dengan mesin ketik Merk Royal pinjaman dari sekolah, aku mengetik naskah tadi dengan jari jemari yang masih tertatih-tatih. Menggunakan “sebelas jari”.

Setelah rampung, lantas Pak Darul Qudni, meminta naskah tadi untuk dikirimnya ke redaksi koran.
 
Beberapa pekan lamanya, aku mendapat informasi. Cerpen yang kukirim tempo hari telah dimuat di koran Mingguan “Demi Masa” terbitan Medan, Sumatera Utara.

Cerpen yang berjudul Pendirian yang Goyah itulah tulisanku pertama terbit di media massa.

Ketika itu, hatiku senang alang kepalang dan bangga tak terkira.

Saking senangnya, cerpen tersebut, aku baca berulang-ulang.

Dengan semangat membara dan penuh kegirangan, cerpen tadi aku perlihatkan pula pada teman-teman.

Ketika itu, teman-teman berkomentar, Insya Allah, kamu Sadri bakal menjadi penulis.

Aku hanya senyum-senyum saja mendengar komentar itu sembari hati mengucapkan, aamiin.

Dengan keluarnya
cerpen pertama itu, aku semakin aktif  menulis. Aku membaca dan terus membaca. Menulis dan menulis. Karena kedua itu, satu rangkaian yang tak bisa dipisahkan.

Membaca buku-buku sastra, sejarah dan buku apa saja milik pustaka sekolah, menjadi langgananku.

Setelah membaca, kulanjutkan menulis. Sehingga, beberapa judul  cerpen dan puisi mulai lahir dari tangan dinginku. Kemudian terbit menghiasi mass media.

Cerpen dan puisi yang telah diterbitkan itu, saya kliping dan dokumenkan dengan rapi.

***

Tamat SMP dan Madrasyah di Pesantren Syekh Abdurrauf Singkil, aku melanjutkan ke sekolah guru (SPG) di Tapaktuan, Aceh Selatan.

Karena ketika itu, di Singkil, belum ada sekolah pendidikan guru yang aku dambahkan.  Hal ini membuatku semakin jauh merantau. Tentu, semakin banyak pula biaya yang saya butuhkan.

Sementara kiriman uang dari kampung, nyaris tidak aku dapatkan. Sebab waktu itu, abang dan dua adikku,  harus pula melanjutkan pendidikan. Sedangkan ayahku telah saya berpulang kerahmatullah.

Untuk membiayai hidup, aku harus “membanting tulang” menjadi loper Koran.

Saat menjadi loper koran, saya makin banyak  membaca, mengamati, menelaah dan memelajari cara menulis berita, features, esai, dan puisi-puisi yang terdapat dalam koran.

Berita dan tulisan-tulisan dalam koran yang bagus-bagus dan penting, aku kliping. Tatkala tengah malam atau pada bakda subuh, saat sunyi menjelang dan hawa dingin memeluk bumi.

Di saat orang-orang nyenyak tidur di peraduan, aku luangkan waktu menumpahkan isi hati melalui tulisan.

Aku menulis dan terus menulis. Berlembar-lembar tulisan kubuat. Karena saya ingat pesan Dylan Thomas “Menulislah, karena hanya itu cara untuk membuat dunia tahu apa yang engkau pikirkan.”

Bermacam- ragam gendre tulisan aku garap. Tetapi lebih banyak kisah cinta, kekecewaan, dan cucuran air mata.
Terutama, tentang kesengsaraan hidup yang melankolis, picisan yang mencabik-cabik sukma.

Namun tulisan-tulisan itu, hanya beberapa buah saja yang dimuat di koran dan majalah. Selebihnya  sekadar “konsumsi” terbatas. Misalnya, untuk memenuhi tugas yang diberikan guru, dibacakan di depan kelas, dan dalam momen-momen tertentu.

***

Saat kuliah, aku semakin intensif, terinspirasi, termotivasi, dan percaya diri  menulis. Terutama mengedit dan  “mempermak” tulisan yang pernah kubuat dulu.

Kemudian tulisan-tulisan itu aku kirimkan ke redaksi koran, tabloid, dan majalah. Baik itu, terbitan lokal maupun ibu kota, Jakarta.

Dari sekian banyak tulisan yang kukirim, hanya beberapa buah saja yang dimuat lebih banyak ditolak. Kendatipun begitu, tidak membuat semangat  menulisku kendor alias patah arang.

***

Demi mewujudkan obsesiku menjadi penulis, berbagai pelatihan dan diskusi menulis kerap kuikuti.

Dalam sebuah pelatihan jurnalistik, aku terpilih menjadi peserta terbaik. Lalu, dimagangkan di Hr. Serambi Indonesia. Selesai magang aku diberi sertifikat.

Dengan secarak sertifikat, aku melamar ke berbagai penerbitan yang ada di Banda Aceh.

Alhamdulillah, aku pun diterima menjadi salah seorang reporter di koran kampus, Warta Unsyiah.

Melalui koran kampus itu, aku terus belajar menulis secara otodidak. Tidak lama kemudian, aku bergabung  di Tabloid Gema Baiturrahman.

Tabloid yang diterbitkan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, sebuah masjid yang tersohor keindahannya di Asia Tenggara.

Saat bekerja di Tabloid Gema Baiturrahman, aku pun semakin produktif menulis.

Karena di tempat aku bekerja, tersedia beberapa unit komputer.
Ini membuat aku lebih leluasa dan terdorong menuangkan pikiran, ide atau gagasan. Terutama gendre yang berisi “rintihan hati”.

Saat itu, aku menulis apa saja. Meliput berita, merangkum hasil wawancara, buat cerpen anak-anak, esai, opini, puisi, dan resensi buku.

Pokoknya, menulis  kujadikan “mesin uang” agar mendapatkan honor sebanyak-banyaknya.

Motto hidupku ketika itu:Jika ingin hidup ya menulis.”

Tulisan-tulisan yang  dikirim di samping banyak ditolak redaksi, ada juga yang dimuat.

Jika tulisan dimuat, waduh! Senangnya bukan kepalang. Karena akan mendapat honor –meskipun tak seberapa--dari tulisan-tulisan tersebut.

Dengan adanya honor: berarti hidupku tersambung beberapa hari ke depan.

Honor tulisan itulah kujadikan penambah biaya kuliah dan biaya hidup hingga aku meraih gelar sarjana.

***

Karena pernah beraktifitas di media massa dan punya sedikit “keahlian” menulis serta punya akses dengan kalangan wartawan, aku pernah mencecap kursi birokrat. Menjadi Kabag termuda di Sekdakab Aceh Singkil, yakni Kabag. Humas, Protokoler, dan Infokom.

Pernah juga mangkal sebagai kepala bidang di Dinas Kependudukan dan catatan Sipil, Aceh Singkil.

Karena kurang “serasi” menjadi birokrat apalagi yang tidak sesuai dengan latar belakang ilmu, aku memilih back to basic,  ke habitat guru.

Sebagai seorang guru profesional,
aku semakin menyadari bahwa menulis  sangatlah membantu  dalam pengembangan karir.

Apalagi untuk menambah kridit poin dalam kenaikan pangkat.

Aturan sekarang, jika guru mau naik pangkat, harus membuat karya ilmiah. 

Karena itu, setiap ada kesampatan aku terus menulis. Tulisan itu, ada yang saya kirim ke media massa umum dan juga  ke media yang terbitan terbatas.

 ***

 
Aku menyadari, seusia sekarang, menjelang 50 tahun, aku hanya bisa meracik beberapa tulisan saja.

Berbagai dalih selalu menghantui dalam peyelesaiannya. Referensi yang sangat minimlah, tidak mood, waktu terbatas karena sibuk mengajar, dan bising serta beribu alasan lainnya. 

Sehingga merampungkan satu tulisan saja, aku acap mengerenyut dahi, ngos-ngosan, dan mengeluarkan energi ekstra.

Bahkan, terkadang membutuhkan  waktu yang relatif  lama.

Kendati begitu, aku terus menulis. Setiap hari. Menulis apa saja.  Walau hanya beberapa kalimat dan alinia.

Menulis, tak pernah  kutinggalkan. Tentu saja termasuk, menulis materi pelajaran di papan tulis.

Semua itu, sebagai wujud pengabdianku pada bangsa dan negara serta tuntutan profesi keguruan.

Aku terus menulis, sebelum menulis itu dilarang.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar