Senin, 12 Juni 2017

Kenangan di Pantai; Dari Memetik Pidara Hingga Nangkap Ambe-Ambe




Salah satu pemukiman yang elok dan rancak di Aceh Singkil, Aceh, adalah pemukiman Gosong Telaga.

Kerancakkan Gosong Telaga ini, bukan saja karena penataan rumah-rumah yang teratur, apik, dan merik. Melainkan juga, pemukiman ini sangat aduhai dan rupawan. Ia memiliki pantai yang indah nan eksotis.

Keindahan Pantai Gosong Telaga ini, menyimpan kenangan tersendiri dalam relung hati saya. Anehnya, kenangan masa silam itu pun, mencuat kembali dalam ingatan, tatkala beberapa hari lalu saya duduk ‘nyantai’ di pondok tepi Pantai Cemara Indah (PCI) Gosong Telaga.

***
Dulu, ketika saya masih bocah, bersama teman-teman saya acap bermain-main di Pantai Gosong Telaga.

Di pantai itu, kami mandi-mandi dibirunya air laut sembari berkejar-kejaran atau sering kami sebut dengan main nenek-nenek.

Jika yang dikejar berhasil ditangkap. Ia akan mengambung, yaitu dengan cara menaikkan kakinya ke atas pundak lalu melemparkan ke udara. Ada pula ‘bayarannya” dengan mengendong sesuai jarak yang disepakati.

Kejar-kejaran terus berlangsung, yang mengejar dan dikejar bergilir, bergantian-gantian. Main kejar-kejaran sangat mengasyikkan. Bisa pula menguat dan membugarkan fisik. Karena dalam permainan ini, ada unsur renang, menyelam, lari, dan unsur mengangkat beban.

Apabila sudah capek mandi-mandi dan bermain kejar-kejaran, kami mengubur badan di pasir, hanya kepala saja yang kelihatan. Ini dimaksudkan, supaya penat di badan hilang. Juga diyakini ampuh membasmi kalau-kalau di badan ada gejala penyakit tulang.

Banyak pula yang mengatakan, menanam badan di pasir apalagi saat panas terik, sangat cocok mengobati penyakit struk dan rematik.

***
Tidak ketinggalan, ada pula di antara kami, bermain luncuran menggunakan potongan papan berukuran setengah-satu meter. Papan tadi dipegang, lantas begitu ombak besar menghadang, papan dinaiki dengan cara memeluk dan mengarakan ke tepi pantai bersamaan dengan derasnya arus air laut.

Kalau sudah demikian, badan pun meluncur dan dibiarkan diterpa ombak hingga  hanyut  ke bibir  pantai.

Saat di ketinggian, nikmatnya tak terkira, seolah-olah kita berada di udara. Ada perasaan gigil dan gamang. Namun, mengasyikan.

***
Selain itu, kami juga mencari buah pidara (bidara/pidaro) yang batangnya banyak merimbun, tumbuh di sepanjang  pinggir pantai. Batang pidaro ini, pohonnya merampak, bercabang-cabang kecil, dan tak terlalu tinggi.

Jika musim berbuah, buahnya sangat lebat. Nyaris sama banyak dengan daunnya yang bewarna kuning kehijau-hijauan.

Kalau mau memetik buah, cukup menjulurkan tangan. Namun, mesti hati-hati karena cabang dan ranting-ranting pidara ini banyak ditumbuhi duri.

Kalau buahnya sudah matang, waduh enaknya bukan kepalang. Rasanya manis, asam, asin, dan kelat, bak permen Nano-Nano yang di perjual-belikan di kios-kios.

Pokoknya, rasanya banyak orang  suka. Belum dicicipi, mencium aromanya saja telah membangkitkan selera, mengundang  air liur pasang dan meleleh.

Buah pidara ini, bentuknya bulat, kecil sebesar buah kelengkeng dan tak berkulit. Permukaan buahnya, itulah daging buah, yang tebalnya beberapa milimeter saja.

Daging buah inilah yang banyak digemari orang, terutama wanita-wanita yang sedang hamil muda dan orang yang mulutnya dalam keadaan pahit sehabis demam.

Sesudah daging buah, lalu bijinya yang ditutupi  tempurung. Biji inilah, yang kemudian yang akan berkecamba, membentuk  pohon pidara baru.

***
Konon pidara ini, asal mulanya bukanlah tanaman tepi pantai. Melainkan, tumbuhan semak yang banyak tumbuh di pinggir oase-oase di Negara Timur Tengah. Entah siapa yang membawanya ke Gosong Telaga, tak tahulah kita. Yang jelas, tumbuhan ini berkembang biak dan tumbuh subur di Gosong Telaga.

“Dari sekian banyak pinggir pantai yang  telah saya kunjungi, saya tidak pernah menemui dan mendengar ada pohon pidara seperti di Gosong Telaga itu,” ucap Rosalita.

Rosalita (32 tahun) yang katanya berasal dari Sulawesi ini mengisahkan pengalaman pertama kali makan buah pidara. 

“Semulanya saya enggan memakannya, seperti makanan burung saja.  Tetapi ketika saya lihat keponaan saya memakan dengan lahapnya sambil mencecah dengan bumbu garam diaduk dengan cabe rawit, saya menjadi selera, lantas mencicipinya. Setelah saya makan. Eheem enak tak terkira. Makan lagi, dua, tiga dan empat buah. Saya pun langsung kesemsem. Enaaak ah,” tutur Rosalita.

Namun sayang, tumbuhan khas Gosong Telaga ini, sudah mulai langka. Populasinya mulai berkurang karena dihantam oleh gelombang tsunami yang terjadi 26 Desember 2004 dan gempa Nias yang terjadi 28 Maret 2005 silam.

Di samping itu, banyak yang sudah ditebang dan penanam kembali tak pernah ada. Kalau ini tidak cepat dilestarikan dengan cara reboisasi, maka buah pidara akan menjadi kenangan. Bibir takkan bisa lagi mencicipinya.

Selain mandi-mandi dan mencari buah pidara di pantai Gosong Telaga, kami juga acap mencari dan menangkap burung. Ada burung punai (keroco), burung balam, berujuk, pipit, dan jenis lainnya.

Umumnya, burung-burung itu, membuat sarang dan bermain-main di seputar semak-semak. Kalau burung-burung itu berhasil kami tangkap, ada yang memeliharanya dengan cara mengurung di sangkar pelepah rumbia.

Burung-burung tadi,  ada juga yang kami potong. Lalu dibakar. Setelah matang, kami pun memakan dengan lahapnya. Waduh rasa dagingnya, luar biasa gurihnya. Enaaak tenan.

***
Di bibir pantai Gosong Telaga ini, juga banyak jenis kepiting yang kami sebut dengan ambe-ambe dan sigugu. Biota laut ini, acap bersenda gurau dan bekejar-kejaran dengan gerigi air. Mereka bersarang dengan cara menggali tanah yang tidak terlalu jauh dengan bibir pantai.

Ambe-ambe itu kami tangkap dan lalu kami laga. Setelah kepiting capek dan enggan berlaga, kami pun membuangnya begitu saja. Ada yang kembali ke laut dan ada pula yang mati.

Sementara sigugu kami bakar. Saat memakannya, mulut serasa memakan udang. Kata orang kandungan gizinya ok banget dan bisa sebagai obat “penguat”.

Suasana bermain-main  masa anak-anak di pantai Gosong Telaga itu, sungguh mengasyikkan, melambungkan angan menyirat kenangan.[]

Shalat Berjamaah

Akhir-akhir ini, banyak kalangan umat Islam yang mulai gandrung meninggalkan shalat berjamaah.
Mereka, lebih suka memilih shalat sendirian di rumah.

Padahal, shalat berjamaah itu adalah perintah Allah SWT.
Hal ini sebagaimana firman-Nya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.” (Qs. Al-Baqarah 2 : 43).

“... Berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu ( di masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah memersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang bersaudara...” (QS Al Imran 3 : 103).

Banyak lagi ayat-ayat dalam al-Quran yang menganjurkan pentingnya mengerjakan shalat berjamaah ini.

Sementara itu, hadis Nabi Muhammad SAW juga sangat menekankan pentingnya mendirikan shalat jamaah.
Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barang siapa mendenggar adzan, kemudian ia tidak datang (untuk berjamaah), maka tidak sah shalatnya, kecuali kalau ada udzur.’ Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apakah udzurnya?” Nabi menjawab, “Takut atau sakit.” (Hr. Abu Dawud).

Abdullah bin Masud berkata, “ Sungguh, kami tahu bahwa tidak ada yang meninggalkan jamaah selain munafik yang jelas kemunafikannya...” (Hr. Tirmizi).

Rasulullah Muhammad SAW bersabda, “Salamlah kalian kepada orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani dan jangan salam kepada orang-orang Yahudi umatku.” Beliau ditanya, “Siapa yang diamksud Yahudi umatku itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang-orang mendengar adzan dan iqamat akan tetapi tidak mau menghadiri shalat jamaah.” (Durratun Nasshihin 2 : 181).

Kemudian hadis lain, “Jibril Alaissalam mendatangiku, lalu berkata, “Ya Muhammad, Allah mengirim salam untukmu dan Dia berfirman : ummatmu yang meninggalkan jamaah tidak akan mencium wangi syurga, meski amalnya lebih banyak dari amal seluruh penduduk bumi, dan yang meninggalkan jamaah itu terkutuk di dunia dan akhirat.”

Nah, dari paparan di atas, tidakkah tergerak hati kita mengerjakan shalat secara berjamaah?[]