Kerancakkan Gosong Telaga ini, bukan saja karena penataan rumah-rumah yang teratur, apik, dan merik. Melainkan juga, pemukiman ini sangat aduhai dan rupawan. Ia memiliki pantai yang indah nan eksotis.
Keindahan Pantai Gosong Telaga ini, menyimpan
kenangan tersendiri dalam relung hati saya. Anehnya, kenangan masa silam itu
pun, mencuat kembali dalam ingatan, tatkala beberapa hari lalu saya duduk
‘nyantai’ di pondok tepi Pantai Cemara Indah (PCI) Gosong Telaga.
***
Dulu, ketika saya masih bocah, bersama teman-teman
saya acap bermain-main di Pantai Gosong Telaga.
Di pantai itu, kami mandi-mandi dibirunya air laut sembari berkejar-kejaran atau sering kami sebut dengan main nenek-nenek.
Jika yang dikejar berhasil ditangkap. Ia akan mengambung, yaitu dengan cara menaikkan
kakinya ke atas pundak lalu melemparkan ke udara. Ada pula ‘bayarannya” dengan
mengendong sesuai jarak yang disepakati.
Kejar-kejaran terus berlangsung, yang mengejar dan
dikejar bergilir, bergantian-gantian. Main kejar-kejaran sangat mengasyikkan. Bisa
pula menguat dan membugarkan fisik. Karena dalam permainan ini, ada unsur renang,
menyelam, lari, dan unsur mengangkat beban.
Apabila sudah capek mandi-mandi dan bermain kejar-kejaran,
kami mengubur badan di pasir, hanya kepala saja yang kelihatan. Ini dimaksudkan,
supaya penat di badan hilang. Juga diyakini ampuh membasmi kalau-kalau di badan
ada gejala penyakit tulang.
Banyak pula yang mengatakan, menanam badan di pasir
apalagi saat panas terik, sangat cocok mengobati penyakit struk dan rematik.
***
Tidak ketinggalan, ada pula di antara kami, bermain
luncuran menggunakan potongan papan berukuran setengah-satu meter. Papan tadi
dipegang, lantas begitu ombak besar menghadang, papan dinaiki dengan cara
memeluk dan mengarakan ke tepi pantai bersamaan dengan derasnya arus air laut.
Kalau sudah demikian, badan pun meluncur dan
dibiarkan diterpa ombak hingga
hanyut ke bibir pantai.
Saat di ketinggian, nikmatnya tak terkira, seolah-olah kita berada di udara. Ada perasaan gigil dan gamang. Namun, mengasyikan.
***
Selain itu, kami juga mencari buah pidara (bidara/pidaro)
yang batangnya banyak merimbun, tumbuh di sepanjang pinggir pantai. Batang pidaro ini, pohonnya
merampak, bercabang-cabang kecil, dan tak terlalu tinggi.
Jika musim berbuah, buahnya sangat lebat. Nyaris sama banyak dengan daunnya yang bewarna kuning kehijau-hijauan.
Kalau mau memetik buah, cukup menjulurkan tangan.
Namun, mesti hati-hati karena cabang dan ranting-ranting pidara ini banyak ditumbuhi
duri.
Kalau buahnya sudah matang, waduh enaknya bukan
kepalang. Rasanya manis, asam, asin, dan kelat, bak permen Nano-Nano yang di
perjual-belikan di kios-kios.
Pokoknya, rasanya banyak orang suka. Belum dicicipi, mencium aromanya saja
telah membangkitkan selera, mengundang
air liur pasang dan meleleh.
Buah pidara ini, bentuknya bulat, kecil sebesar buah
kelengkeng dan tak berkulit. Permukaan buahnya, itulah daging buah, yang
tebalnya beberapa milimeter saja.
Daging buah inilah yang banyak digemari orang,
terutama wanita-wanita yang sedang hamil muda dan orang yang mulutnya dalam
keadaan pahit sehabis demam.
Sesudah daging buah, lalu bijinya yang ditutupi tempurung. Biji inilah, yang kemudian yang
akan berkecamba, membentuk pohon pidara
baru.
***
Konon pidara ini, asal mulanya bukanlah tanaman tepi
pantai. Melainkan, tumbuhan semak yang banyak tumbuh di pinggir oase-oase di
Negara Timur Tengah. Entah siapa yang membawanya ke Gosong Telaga, tak tahulah
kita. Yang jelas, tumbuhan ini berkembang biak dan tumbuh subur di Gosong
Telaga.
“Dari sekian banyak pinggir pantai yang telah saya kunjungi, saya tidak pernah
menemui dan mendengar ada pohon pidara seperti di Gosong Telaga itu,” ucap
Rosalita.
Rosalita (32 tahun) yang katanya berasal dari
Sulawesi ini mengisahkan pengalaman pertama kali makan buah pidara.
“Semulanya saya enggan memakannya, seperti makanan burung saja. Tetapi ketika saya lihat keponaan saya memakan dengan lahapnya sambil mencecah dengan bumbu garam diaduk dengan cabe rawit, saya menjadi selera, lantas mencicipinya. Setelah saya makan. Eheem enak tak terkira. Makan lagi, dua, tiga dan empat buah. Saya pun langsung kesemsem. Enaaak ah,” tutur Rosalita.
Namun sayang, tumbuhan khas Gosong Telaga ini, sudah
mulai langka. Populasinya mulai berkurang karena dihantam oleh gelombang
tsunami yang terjadi 26 Desember 2004 dan gempa Nias yang terjadi 28 Maret 2005
silam.
Di samping itu, banyak yang sudah ditebang dan
penanam kembali tak pernah ada. Kalau ini tidak cepat dilestarikan dengan cara
reboisasi, maka buah pidara akan menjadi kenangan. Bibir takkan bisa lagi
mencicipinya.
Selain mandi-mandi dan mencari buah pidara di pantai
Gosong Telaga, kami juga acap mencari dan menangkap burung. Ada burung punai
(keroco), burung balam, berujuk, pipit, dan jenis lainnya.
Umumnya, burung-burung itu, membuat sarang dan
bermain-main di seputar semak-semak. Kalau burung-burung itu berhasil kami
tangkap, ada yang memeliharanya dengan cara mengurung di sangkar pelepah
rumbia.
Burung-burung tadi, ada juga yang kami potong. Lalu dibakar.
Setelah matang, kami pun memakan dengan lahapnya. Waduh rasa dagingnya, luar
biasa gurihnya. Enaaak tenan.
***
Di bibir pantai Gosong Telaga ini, juga banyak jenis
kepiting yang kami sebut dengan ambe-ambe dan sigugu. Biota laut ini, acap
bersenda gurau dan bekejar-kejaran dengan gerigi air. Mereka bersarang dengan
cara menggali tanah yang tidak terlalu jauh dengan bibir pantai.
Ambe-ambe itu kami tangkap dan lalu kami laga.
Setelah kepiting capek dan enggan berlaga, kami pun membuangnya begitu saja.
Ada yang kembali ke laut dan ada pula yang mati.
Sementara sigugu kami bakar. Saat memakannya, mulut
serasa memakan udang. Kata orang kandungan gizinya ok banget dan bisa sebagai obat “penguat”.
Suasana bermain-main
masa anak-anak di pantai Gosong Telaga itu, sungguh mengasyikkan,
melambungkan angan menyirat kenangan.[]