Rabu, 30 Mei 2018

Nurul Huda; Masjid yang Dibangun Dari Sprit Gotong Royong


Oleh : Sadri Ondang Jaya

MASJID PERTAMA di Gosong Telaga, Singkil Utara, Aceh Singkil, terletak di Kampung Pasar Lama, Desa Gosong Telaga Selatan.

Konon masjid itu dibangun, dari sprit gotong royong yang digerakan Syekh Jalaluddin Padang Ganting (wafat 2 Safar 1324 H atau tahun 1903).

Di masjid tadi, Syekh Jalaluddin Padang Ganting, mengajarkan ilmu syariat kepada murid-muridnya. Beliau juga, mengajar ilmu aqidah, fikih, dan ilmu keislaman lainnya, tak terkecuali ilmu tarekat.

Di masjid itu pula, Syekh Jalaluddin Padang Ganting mempolarisasi tradisi-tradisi, adat-istiadat, dan pradaban Islam.

Pendeknya tak berlebihan jika dikatakan,  masjidlah wahana yang dijadikan Syekh Jalaluddin untuk menginsyafkan warga Gosong Telaga agar menjadi insan yang beriman dan takwa.

Karena masjid yang dibangun Syekh Jalaluddin, tidak memadai lagi sebagai tempat shalat berjamaah, maka pada tahun 1963, warga membangun masjid lain, yakni di Ujung Tanah, Desa Gosong Telaga Utara. 

Masjid itu, berkonstruksi kayu. Terbuat dari kayu-kayu pilihan, seperti kapur, meranti, damar laut, rasak dan lain-lain.

Kayu itu umumnya, berasal dan diolah dari hutan Gosong Telaga yang ketika itu, terkenal sangat lebat. Sedangkan lantai masjid terbuat dari beton dan beratap seng.

Masjid tanpa nama itu, lebih besar dari masjid semula. Ia memiliki satu kubah yang menjulang  tinggi dan atapnya berundak-undak.

Untuk menyanggah kubah, di tengah-tengah masjid didirikan delapan pilar kayu berkualitas bagus.
Selain itu, arsitektur masjid, dekorasi, ornamen interior dan eksterior dibuat juga dari bahan kayu, diukir relif dan kaligrafi. Sebagaimana lazim bangunan masjid di Pesisir Melayu.  

Melengkapi kesempurnaan masjid, di lokasinya,  dibangun beberapa unit sumur sebagai sumber air bersih dan satu unit kulah besar, tempat  jamaah berwudhuk.

“Masjid Gosong Telaga itu, meskipun sederhana, tapi sangat apik, menarik, dan indah,” begitu tutur warga Gosong Telaga, Syafii kepada penulis.

Persis di belakang masjid, masyarakat membangun sebuah rumah untuk ditempati guru yang sengaja didatangkan ke Gosong Telaga.

Rumah itu djadikan pula sebagai tempat pengajian,  melaksanakan ritual tawajuh, dan kegiatan persulukkan.

Karena penduduk Gosong Telaga bertambah terus. Masjid pun  tak mampu lagi menampung membludaknya jamaah. 

Pada tahun 1980, warga  Gosong Telaga dibawa komando mantan Mukim Gosong Telaga, H Fatani, membangun masjid baru berkonstruksi beton. Dan H. Fatani pula diangkat sebagai Ketua Panitia Pembangunan masjid.

Sedangkan tukang bangunan masjid, dipercayakan pada Angku Sarudung, sosok tukang tiga zaman (masa penjajahan Belanda, Jepang, dan Masa Kemerdekaan).  Angku Tukang ini—begitu warga memanggilnya--berdomisli di Pulo Sarok, Singkil.

Setelah peletakkan batu pertama, masjid yang dulu tanpa nama, lalu oleh Hj Muli, isteri H Fatani, ditabalkan nama Nurul Huda.  Artinya, cahaya petunjuk.

Menariknya, bahan dasar pembangunan Masjid Nurul Huda Gosong Telaga, seperti batu, pasir, dan kayu, diambil  warga secara bergotong royong.

Malah, saat-saat pekerjaan besar, mencor masjid misalnya, warga juga dilibatkan. Termasuk, menanggung dana pembangunan masjid.

Ketika itu, warga Gosong Telaga memberikan dana pembangunan masjid dengan cara bergugu atau meuripeh.

Dari informasi warga Khairul, batu bahan bangunan Masjid Nurul Huda, diambil dari Sungai Aek Sirahar, Kampung Kinali, Barus, Tapanuli. Warga mengambilnya, dengan menggunakan perahu masyarakat.

“Batu itu, diambil berdasarkan inisiatif warga. Biaya operasional ke sana, sepenuhnya ditanggung oleh warga,” tutur Khairul.

Batu itu diambil ke Barus tambah Khairul, dengan menggunakan perahu nelayan. Saat yang dipilih ketika bulan terang, ketika nelayan tidak melaut.

Pada saat itu jumlah perahu masih sangat terbatas, karena  hanya dimiliki oleh orang-orang yang berekonomi menengah ke atas.

Perahu itu, didayung selanjutnya digandeng oleh boat.  Satu perahu mampu mengangkat  batu  ± 3 ton.

Perahu pengangkut batu itu, awal-awalnya ditarik oleh boat perusahaan PT Gunung Raya pulang pergi. Hanya sempat  sekali tarik saja. Sedangkan selanjutnya, ditarik oleh boat yang dimiliki warga Gosong Telag sendiri.

Karena boat telah ada, jika warga yang ingin mengambil batu ke Barus untuk bahan pembangunan masjid selanjutnya,  tak lagi menggunakan perahu. Tetapi sudah menggunakan boat. Apalagi, kapasitas batu yang diangkut sama banyak  dengan yang diangkut perahu, yaitu berkisar  3 sampai 4 ton.

Menariknya, sebelum  “pasukan” pengambil batu berangkat ke Barus,  warga lainnya tak kecuali ibu-ibu, berbondong-bondong mengantarkan mereka di dermaga.

Sembari mengantar, dilaksanakan upacara ritus keagamaan dan adat istiadat setempat, berupa peusejuk, doa, dan kumandang azan terlebih dahulu.

Setelah kembali ke Gosong Telaga, team pengambil batu juga disambut dengan meriah. Di eluh-eluhkan bak pahlawan pulang dari medan laga.

Lalu, batu dalam perahu atau boat dibongkar dan diangkut  oleh warga secara bergotong royong ke lokasi masjid.

Tak terkecuali juga, melibatkan ibu-ibu dan anak-anak sekolah. Semuanya dikerjakan dengan perasaan gembira, senang alang kepalang, dan ikhlas. Mereka bekerja tanpa pamrih demi membangun rumah Allah.

Sedangkan material bangunan lainnya, seperti pasir, diambil dari Kecamatan Simpang Kanan (termasuk Gunung Meriah sekarang), yaitu dari Sungai Salabuan.

Sebagaimana waktu pengambilan batu ke Barus, pengambilan pasir juga dilakukan oleh orang dewasa, pemuda, daan remaja-remaja. Waktunya pun pada saat  bulan terang ketika masyarakat libur melaut.

Pasirnya, tidak diangkut dengan perahu atau dengan boat. Tetapi dengan mobil truk perusahaan PT Gunung Raya Utama Timber, yaitu sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang ekspor  dan pengolahan balok .

Kendati pembangunan Masjid Nurul Huda Gosong Telaga tergolong  lamban karena biayanya dari swadaya masyarakat teramasuk pula pengutipan amal laut dari nelayan sebanyak 2-5 % dan sedekah lainnnya.

Namun, semangat gotong rayong, partisipasi, dan keikhlasan dalam membangun majid, perlu dicontoh dan ditumbuh-kembangkan kembali.

Jadikanlah masjid sebagai tempat berdiri sama rata, tanpa mengenal status sosial, kesukuan, dan ras. Terlebih lagi, membangun sprit kegotong-royongan.[]