Kamis, 26 April 2018

Memutar Mundur Jarum Jam Aceh Singkil


Oleh : Sadri Ondang Jaya

Menjelang peringatan Hari Jadi Aceh Singkil ke-19 tahun, (27 April 1999-27 April 2018) dan di saat Aceh Singkil telah mendapat legitamasi dari pemerintah pusat sebagai daerah “4 Ter”: Terpencil, termarginal, termiskin, plus terbanjir (lihat Peraturan Presiden Nomor 131 tahun 2015). Saya teringat dengan keadaan Aceh Singkil  tahun 90-an dan 80-an.
Keadaan itulah yang ingin saya refleksikan dalam tulisan singkat ini. Untuk melihat itu semua, agaknya kita perlu sejenak  memutar mundur jarum jam Aceh Singkil dengan cara  memasuki dan menelusur lorong-lorong waktu.

Aceh Singkil di era 90-an dan 80-an bahkan jauh sebelumnya, terdapat sejumlah perusahaan kayu yang besar dan bonafid. Termasuk juga perusahaan swamill yang tak terhitung jumlah dan tak tahu apa namanya.

Kehadiran perusahaan-perusahaan itu, diakui atau tidak bagi kalangan tertentu, terutama pemilik dan orang yang bekerja di perusahaan, sangat mengembirakan dan menyejaterakan. Sehingga ada ungkapan, untuk mendapatkan uang banyak, jadilah pemilik perusahaan kayu di Aceh Singkil, minimal menjadi pekerja di perusahaan tersebut.  

Ada anekdot, saking banyaknya uang pemilik perusahaan kayu dan swamill di Aceh Singkil—termasuk karyawan-karyawannya--mereka tidak tahu lagi menggunakan dan menyimpan uangnya. Uang itu, tidak dibawa dengan tas atau diisi dalam dompet,  melainkan dimasukkan dalam karung goni bekas tepung terigu cap segitiga. Karung goni itulah yang ditenteng ke pasar atau ke toko, saat mau belanja, misalnya.

Ada cerita lucu, jika uang yang berjibun diminta, tak bakal dikasih. Tetapi kalau uangnya dicuri, tidak apa-apa, asal jangan ketahuan. Karena sipemilik uang, tidak pernah menghitung berapa jumlah uang yang disimpannya.

Uang itu, berasal dari hasil penjualan kayu-kayu ke luar daerah. Sebab ketika itu, perusahaan-perusahaan kayu di Aceh Singkil dengan peralatan modern, menebang, dan mengelola ribuan batang kayu yang sangat berkualitas. Ada jenis kayu meranti, kapur, damar laut, lagan, krueing, dan jenis kayu lainnya. Batang kayu itu dirambah dari kebun rimba raya Aceh Singkil termasuk Subulussalam dengan mengatas namakan HPH-HGU milik mereka.

Setelah kayu yang berukuran besar (gelondongan-balok) itu ditebang dan diolah, lalu truk-truk besar mengangkut dan menumpuknya di padang-padang luas, dekat pinggir sungai yang notabene tak jauh dari pemukiman warga.

Kemudian, kayu gelondongan (balok) dan olahan (beroti) tadi didorong dan dijatuhkan oleh alat-alat berat pula, seperti PH, traktor, exavator dll ke sungai. Oleh tangan-tangan cekatan nan terampil, dirakit dengan menggunakan balabek dan rotan. Sejurus kemudian, kayu-kayu itu dijejarkan dan ditambatkan di sepanjang sungai, sejak hulu hingga hilir. Bahkan, sampai ke muara.

Tak lama kemudian, kayu yang telah dirakit digandeng dan dimuat ke kapal atau tongkang besar yang telah berlabuh di teluk perairan laut Aceh Singkil. Adanya juga yang langsung dimuat ke boat yang bisa sandar ke steker-steker yang terbuat dari kayu.


Setelah petak dan lambung, boat, kapal atau tongkang penuh berisi kayu, boat, kapal, dan tongkang tersebut pun berangkat ke luar daerah. Konon katanya, kayu-kayu itu ada yang dibawa sampai Singapura, Jepang, dan negara-negara Eropa.

Sebagai ilustrasi banyaknya balok dan beroti di Aceh Singkil, ketika itu, apabila rakit-rakit tadi disusun rapi, maka susunan rakit itu akan sampai ke perairan Jepang, akan bisa menjadi jembatan. Apabila orang Singkil mau ke Jepang, mereka cukup meniti di rakit balok-balok tadi.

Sekarang setelah perusahaan-perusahaan kayu itu hengkang dari bumi titisan darah Syekh Abdurrauf, dalam pikiran saya muncul selaksa tanya. Pertanyaan yang teramat mengelitik nurani saya, adalah mengapa keberadaan puluhan perusahaan  kayu di aceh Singkil, ketika itu, belum bisa mengentaskan endemik kemiskinan dan keterbelakangan warga Aceh Singkil.

Padahal omset yang diterima perusahaan tadi, setiap tahunnya, dari penjualan kayu, mencapai triliunan. Kemana uang itu? Mengapa agak sedikit tidak menetes dan mengalir pada warga atau berbekas dalam bentuk bangunan-bangunan yang monumental di Aceh Singkil.

Hutan yang digarap perusahan kayu ini sudah berpuluh tahun. Lalu, hasil hutan itu milik siapa? Kok warga sekelilingnya hidup melarat dan hanya menjadi penonoton belaka.

Bisa diduga, uang tadi, hanya dinikmati  “orang-orang tertentu” dan umumnya berdomisli di luar daerah sana. Sementara warga Aceh Singkil menjadi penonton. Menggigit jari dan hanya mereguk angan belaka.

Bahkan, uang sosial kemasyarakatan yang seharusnya diberikan perusahaan secara berkala setiap tahun, tidak pernah dirasakan dan dinikmati warga. Padahal lokasi operasional perusahaan begitu dekat dengan pemukiman mereka.

Sekarang, justru warga menanggung dampak dari keberadaan perusahaan-perusahaan itu setelah hutan yang ditebangnya tanpa reboisasi: “Jika musim kemarau, panas terik memanggang. Kalau musim penghujan, pemukiman diterjang banjir dan banyak rumah warga direndam air.”

Orang-orang tertentu yang telah menikmati kekayaan alam Aceh Singkil, dalam keadaan banjir ini, hanya berumah “di atas angin” sambil tertawa-tawa sembari mengucapkan kalimat, “Memang gue pikirin. Rasain lu.”

Padahal kekayaan alam Indonesia--termasuk di Aceh Singkil-- seluruhnya diperuntukan demi kesejahteraan dan hajat hidup orang banyak. Begitu amanah UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Namun apakah amanat itu, hanya sekadar utopia belaka (?)

Memang, ketika itu, ada beberapa warga pribumi yang menjadi buruh atau dipekerjakan di perusahaan  tersebut. Tetapi, mereka hanya buruh lepas (BHL), dengan memeroleh gaji “alakadar”. Perusahaan, tak pernah memberikan tunjangan kesejahteraan, uang lebaran, apalagi pesangon dan uang pensiun kepada mereka.

Jika ada buruh yang kritis, mempertanyakan hal ini, buruh tadi digrogok dengan ancaman diberhentikan kerja. Pemuda-pemuda yang berani dan cerdas kala itu, mulutnya dibungkam dengan cara diberikan beberapa helai kustum, bola kaki, dan bola voli. Ada juga yang diajak “pesta” akhir tahun.

Paling hebat, sebagai pembujuk, perusahaan hanya memberikan beberapa potong pekayuan untuk merehap masjid atau mushala. Ironis memang.

Sekarang perusahaan kayu itu telah hengkang dari Aceh Singkil. Rasanya, tak ada satu pun kenangan yang monumental dan membekas yang ditinggalkan perusahaan. Ia hanya menyisahkan daerah yang setiap tahun diterjang banjir. Dan telah pula menjadikan Aceh Singkil sebagai daerah “4 Ter”. Malah, supremasi itu masih tetap bertengger dalam usia Kabupaten Aceh Singkil ke-19 ini.

Apakah kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit yang ada sekarang bertebaran di Aceh Singkil akan demikian pula? Apakah bisa menyejaterakan dan bisa mengangkat harkat dan martabat warga Aceh Singkil secara signifikan?

Bukan justru sebaliknya, memerlebar dan menciptakan jurang pemisah (gap) antara warga dengan pihak perusahaan. Dengan kata lain, warga Aceh Singkil hanya menjadi penonton budiman dibalik “keangkuhan tembok” perusahaan. Perusahaan ada dan banyak, tapi di sekeliling pemuda pemudinya menjadi penganggur. Dan Aceh Singkil tetap berada di titik nadir kemiskinan.

Untuk menjawab itu, warga Aceh Singkil harus bergerak serempak dan mengarah pada perubahan. Terutama yang lebih urgen, perubahan cara berpikir. Harus meninggalkan cara berpikir lama nan usang.

Ada nasihat Peter Drucker, “Bahaya  terbesar dalam turbelensi (menimbulkan gangguan, keresahaan, dan ketidaknyamanan) bukan turbelensi itu sendiri, melainkan ‘cara berpikir kemarin’ yang masih dipakai untuk memecahkan masalah sekarang.”
Warga Aceh Singkil hari ini, jangan pernah mengulang kesalahan masa lalu. Keledai saja, tak pernah terperosok dua kali dalam lubang yang sama. Mengapa kita manusia harus terperosok? Jangankan terperosok dua kali, sekali pun jangan. Camkan itu! []

Sadri Ondang Jaya, adalah guru dan Penulis Buku Singkil
Dalam Konstelasi Sejarah Aceh (SDKSA).

Minggu, 22 April 2018

Kenangan di Pantai, dari Memetik Pidara Hingga Nagkap Ambe-ambe


Salah satu pemukiman yang elok dan rancak di Aceh Singkil, Aceh, adalah pemukiman Gosong Telaga.

Kerancakkan Gosong Telaga ini, bukan saja karena penataan rumah-rumah yang teratur, apik, dan merik. Melainkan juga, pemukiman ini sangat aduhai dan rupawan. Ia memiliki pantai yang indah nan eksotis.

Keindahan Pantai Gosong Telaga ini, menyimpan kenangan tersendiri dalam relung hati saya. Anehnya, kenangan masa silam itu pun, mencuat kembali dalam ingatan, tatkala beberapa hari lalu saya duduk ‘nyantai’ di pondok tepi Pantai Cemara Indah (PCI) Gosong Telaga.

***
Dulu, ketika saya masih bocah, bersama teman-teman saya acap bermain-main di Pantai Gosong Telaga.

Di pantai itu, kami mandi-mandi dibirunya air laut sembari berkejar-kejaran atau sering kami sebut dengan main nenek-nenek.

Jika yang dikejar berhasil ditangkap. Ia akan mengambung, yaitu dengan cara menaikkan kakinya ke atas pundak lalu melemparkan ke udara. Ada pula ‘bayarannya” dengan mengendong sesuai jarak yang disepakati.

Kejar-kejaran terus berlangsung, yang mengejar dan dikejar bergilir, bergantian-gantian. Main kejar-kejaran sangat mengasyikkan. Bisa pula menguat dan membugarkan fisik. Karena dalam permainan ini, ada unsur renang, menyelam, lari, dan unsur mengangkat beban.

Apabila sudah capek mandi-mandi dan bermain kejar-kejaran, kami mengubur badan di pasir, hanya kepala saja yang kelihatan. Ini dimaksudkan, supaya penat di badan hilang. Juga diyakini ampuh membasmi kalau-kalau di badan ada gejala penyakit tulang.

Banyak pula yang mengatakan, menanam badan di pasir apalagi saat panas terik, sangat cocok mengobati penyakit struk dan rematik.

***
Tidak ketinggalan, ada pula di antara kami, bermain luncuran menggunakan potongan papan berukuran setengah-satu meter. Papan tadi dipegang, lantas begitu ombak besar menghadang, papan dinaiki dengan cara memeluk dan mengarakan ke tepi pantai bersamaan dengan derasnya arus air laut.

Kalau sudah demikian, badan pun meluncur dan dibiarkan diterpa ombak hingga  hanyut  ke bibir  pantai.

Saat di ketinggian, nikmatnya tak terkira, seolah-olah kita berada di udara. Ada perasaan gigil dan gamang. Namun, mengasyikan.

***
Selain itu, kami juga mencari buah pidara (bidara/pidaro) yang batangnya banyak merimbun, tumbuh di sepanjang  pinggir pantai. Batang pidaro ini, pohonnya merampak, bercabang-cabang kecil, dan tak terlalu tinggi.

Jika musim berbuah, buahnya sangat lebat. Nyaris sama banyak dengan daunnya yang bewarna kuning kehijau-hijauan.

Kalau mau memetik buah, cukup menjulurkan tangan. Namun, mesti hati-hati karena cabang dan ranting-ranting pidara ini banyak ditumbuhi duri.

Kalau buahnya sudah matang, waduh enaknya bukan kepalang. Rasanya manis, asam, asin, dan kelat, bak permen Nano-Nano yang di perjual-belikan di kios-kios.

Pokoknya, rasanya banyak orang  suka. Belum dicicipi, mencium aromanya saja telah membangkitkan selera, mengundang  air liur pasang dan meleleh.

Buah pidara ini, bentuknya bulat, kecil sebesar buah kelengkeng dan tak berkulit. Permukaan buahnya, itulah daging buah, yang tebalnya beberapa milimeter saja.

Daging buah inilah yang banyak digemari orang, terutama wanita-wanita yang sedang hamil muda dan orang yang mulutnya dalam keadaan pahit sehabis demam.

Sesudah daging buah, lalu bijinya yang ditutupi  tempurung. Biji inilah, yang kemudian yang akan berkecamba, membentuk  pohon pidara baru.

***
Konon pidara ini, asal mulanya bukanlah tanaman tepi pantai. Melainkan, tumbuhan semak yang banyak tumbuh di pinggir oase-oase di Negara Timur Tengah. Entah siapa yang membawanya ke Gosong Telaga, tak tahulah kita. Yang jelas, tumbuhan ini berkembang biak dan tumbuh subur di Gosong Telaga.

“Dari sekian banyak pinggir pantai yang  telah saya kunjungi, saya tidak pernah menemui dan mendengar ada pohon pidara seperti di Gosong Telaga itu,” ucap Rosalita.

Rosalita (32 tahun) yang katanya berasal dari Sulawesi ini mengisahkan pengalaman pertama kali makan buah pidara. 

“Semulanya saya enggan memakannya, seperti makanan burung saja.  Tetapi ketika saya lihat keponaan saya memakan dengan lahapnya sambil mencecah dengan bumbu garam diaduk dengan cabe rawit, saya menjadi selera, lantas mencicipinya. Setelah saya makan. Eheem enak tak terkira. Makan lagi, dua, tiga dan empat buah. Saya pun langsung kesemsem. Enaaak ah,” tutur Rosalita.

Namun sayang, tumbuhan khas Gosong Telaga ini, sudah mulai langka. Populasinya mulai berkurang karena dihantam oleh gelombang tsunami yang terjadi 26 Desember 2004 dan gempa Nias yang terjadi 28 Maret 2005 silam.

Di samping itu, banyak yang sudah ditebang dan penanam kembali tak pernah ada. Kalau ini tidak cepat dilestarikan dengan cara reboisasi, maka buah pidara akan menjadi kenangan. Bibir takkan bisa lagi mencicipinya.
Oleh : Sadri Ondang Jaya

SELAIN MANDI-MANDI dan mencari buah pidara di pantai Gosong Telaga, kami juga acap mencari dan menangkap burung. Ada burung punai (keroco), burung balam, berujuk, pipit, dan jenis lainnya.

Umumnya, burung-burung itu, membuat sarang dan bermain-main di seputar semak-semak. Kalau burung-burung itu berhasil kami tangkap, ada yang memeliharanya dengan cara mengurung di sangkar pelepah rumbia.

Burung-burung tadi,  ada juga yang kami potong. Lalu dibakar. Setelah matang, kami pun memakan dengan lahapnya. Waduh rasa dagingnya, luar biasa gurihnya. Enaaak tenan.

***
Di bibir pantai Gosong Telaga ini, juga banyak jenis kepiting yang kami sebut dengan ambe-ambe dan sigugu. Biota laut ini, acap bersenda gurau dan bekejar-kejaran dengan gerigi air. Mereka bersarang dengan cara menggali tanah yang tidak terlalu jauh dengan bibir pantai.

Ambe-ambe itu kami tangkap dan lalu kami laga. Setelah kepiting capek dan enggan berlaga, kami pun membuangnya begitu saja. Ada yang kembali ke laut dan ada pula yang mati.

Sementara sigugu kami bakar. Saat memakannya, mulut serasa memakan udang. Kata orang kandungan gizinya ok banget dan bisa sebagai obat “penguat”.

Suasana bermain-main  masa anak-anak di pantai Gosong Telaga itu, sungguh mengasyikkan, melambungkan angan menyirat kenangan.[]

SEMOGA BERKAH

Oleh : Irwan Syahputra Lubis

“Semoga Berkah!”
Dua kata itulah yang dituliskan oleh sang penulis, Bapak Sadri Ondang Jaya (SOJ), pada salah satu lembaran buku yang saya beli kepada beliau pagi itu.
Buku yang mengisahkan peranan hebat dua ulama sufi asal Singkil di masa lalu, perjuangan keras rakyat Singkil dalam melawan penjajah(an), kejayaan Singkil di masa itu, serta kisah-kisah menarik lainnya tentang (Aceh) Singkil yang—saya yakin—tidak diketahui oleh banyak orang di masa sekarang.
Buku yang saya maksud tidak lain dan tidak bukan adalah “Singkil dalam Konstelasi Sejarah Aceh”—atau biasa disingkat dengan “SDKSA”.

***
Semua berawal ketika salah seorang rekan sekerja yang sedang membaca koran bertanya kepada saya, “Wan, Siti Ambia itu nama pahlawan dari Singkil, ya?”

Saya terdiam beberapa saat setelah mendengar pertanyaan “aneh” rekan saya itu. Pertanyaan yang tentu saja membuat saya bingung dan tak tahu harus berkata apa. Karena setahu saya, ‘Siti Ambia’ hanyalah sebuah nama desa di salah satu kecamatan yang ada di kabupaten Aceh Singkil. Di sela kebingungan dan ketidaktahuan saya, saya jawab saja, “Wah, nggak tau, Bang.” Mendengar jawaban itu, rekan saya tadi memberikan koran yang baru saja dibacanya kepada saya, lalu beranjak pergi meninggalkan saya.

Saya baru tahu bahwa ada seorang guru sekolah menengah atas (SMA) di Singkil Utara yang menulis dan menerbitkan sebuah buku berjudul “Singkil dalam Konstelasi Sejarah Aceh” melalui koran yang saya terima dari rekan saya tadi. “Sadri Ondang Jaya Tulis Buku ‘Singkil dalam Konstelasi Sejarah Aceh’”, begitu jika tidak salah judul berita yang tertera di salah satu halaman koran pagi itu.

Dari koran itu pula saya tahu bahwa ternyata benar, nama desa ‘Siti Ambia’ yang ada di kecamatan Singkil itu berasal dari nama srikandi hebat yang ikut andil dalam peperangan Singkil melawan para penjajah di masa lalu.

“Wah, hebat. Harus segera punya nih (buku),” gumam saya dalam hati kala itu.
Karena rasa penasaran dan keinginan saya untuk memiliki buku tersebut, maka saya pun menjelajahi dunia maya untuk mencari tahu informasi mengenai si penulis dan buku yang ditulisnya itu. Benar saja, ketika saya ketikkan judul buku tersebut di mesin pencari (Google), saya menemukan banyak sekali media-media online yang tengah gencar-cencarnya memberitakan kabar serupa dengan apa yang telah saya baca di media cetak sebelumnya.

Dari dunia maya pula (melalui media sosial Facebook), saya menemukan nomor HP penulis, dan memutuskan untuk memesan satu buku yang ingin saya koleksi itu melalui pesan singkat (SMS). Saya ingat betul ketika itu Pak Sadri membalas pesan saya dengan: “Alhamdulillah, dimano alamat?” Pesan itu saya terima pada tanggal 12 Mei 2015 pukul 16:10:24.

Empat hari setelahnya, Sabtu pagi (16 Mei 2015), ketika saya tengah duduk di sebuah kursi plastik di dekat jendela rumah nenek saya sembari membaca buku, tiba-tiba sebuah panggilan masuk melalui telepon genggam saya: “P. SOJ memanggil ... ”

“Assalamu’alaikum, Pak Iwan, di mano kini?” Suara dari ujung telepon bertanya kepada saya.
“Wa’alaikum salam, iko lagi di rumah, Pak.” Jawab saya pendek.

Melalui percakapan itu, Pak SOJ mengabarkan bahwa beliau sudah berada di Kilangan, tepatnya di salah satu warung kecil yang ada di dekat simpang menuju SD Negeri Kilangan.

Mendengar Pak SOJ memanggil saya dengan sebutan “pak”, saya tertawa geli. Barangkali beliau mengira orang yang memesan buku kepadanya beberapa hari lalu adalah seseorang yang telah berkeluarga—padahal saat itu usia saya masih 19 tahun. Hahaha ... Sambil sedikit tertawa, saya pun dengan segera mengambil pulpen di dalam rumah sebelum memutuskan bertemu dengan penulis yang membuat jantung saya sedikit berdebar-debar pagi itu.

Beberapa saat kemudian, saya keluar dari rumah dan berjalan menuju lokasi yang dimaksud Pak SOJ—yang kebetulan tidak berjarak jauh dari rumah orang tua saya. Tiba di warung itu, saya langsung menyalami beliau, dan seorang anak lelaki beliau yang ikut dibawanya kemudian menyalami saya. Di warung itu pula, untuk pertama kalinya saya bertatap muka secara langsung serta berjabat tangan dengan penulis buku SDKSA ini.

Duduk di sebuah bangku panjang, saya dan beliau terlibat sebuah perbincangan yang relatif singkat dan ringan pagi itu. Saya bertanya beberapa hal kecil kepada beliau; karena tahu beliau pernah menimba ilmu di Pondok Pesantren Darul Hasanah yang notabene terletak di kampung Kilangan, saya menanyakan apakah beliau mengenal ayah saya yang dulu pernah mengajarkan mata pelajaran bahasa Inggris di dayah itu—dan ternyata beliau mengenalnya, SDKSA ini buku beliau yang keberapa, disusul beberapa pertanyaan ringan lainnya.

Sebelum Pak SOJ kembali ke kediamannya di kecamatan Singkil Utara, saya mengeluarkan pulpen yang sudah saya siapkan dari saku celana, kemudian meminta agar beliau berkenan membubuhkan tanda tangannya pada buku yang ditulisnya itu. Dan dengan senang hati, beliau pun mengabulkan permintaan saya, lalu menuliskan dua kata (doa): Semoga Berkah!

***
Pada kesempatan yang sama, Pak SOJ menasihati agar saya senantiasa gemar membaca. Kata beliau pula, salah satu ciri daerah maju adalah daerah yang masyarakatnya gemar membaca dan adanya toko buku di daerah itu.

Sementara di daerah kita, atau di kabupaten Aceh Singkil umumnya? Hhm, saya kira kita semua sepakat: kita masih sulit mendapatinya.

Padahal, membaca buku (dan sebagainya) sangat besar manfaatnya bagi kita, di antaranya: membaca dapat melatih kemampuan berpikir, menambah wawasan dan ilmu pengetahuan, mengurangi stres, mengasah kemampuan menulis, meningkatkan kualitas memori kita, dan membuat kita selalu merasa haus akan ilmu. Tentu saja, kita juga jangan malu untuk bertanya kepada orang yang lebih matang pemikirannya (seperti guru, ustadz, dsb.) apabila kita menemui bacaan yang sulit dimengerti atau dipahami agar tidak “terjebak” pada pemikiran dan pemahaman kita sendiri.

“Bacalah 10 buku,” kata Darwis (Tere Liye) dalam sajaknya, “maka kita akan tiba-tiba merasa sok tahu dan merasa paling pintar. Tapi tahan dulu sok tahunya…. Bacalah 50 buku, maka sok tahu-nya akan mulai berkurang, meski tetap merasa lebih pintar. Tapi juga tetap tahan dulu…. Bacalah 100 buku, maka sok tahu-nya semakin berkurang, pun merasa pintarnya. Tapi tetap tahan dulu…. Bacalah 500 buku, maka kita akan menghela napas panjang, ternyata semakin banyak saja yang tidak kita tahu, semakin merasa belum ada apa-apanya…. Bacalah 1000 buku, dan seterusnya…. Maka itulah kenapa orang-orang yang tidak membaca buku, atau hanya 1-2 buku saja setahun terakhir, jika dia termasuk nyolot, senga, belagu maka posisinya ada di titik paling ekstrem orang-orang sok tahu; itu sudah rumus alam.”

Hal senada juga pernah diucapkan oleh seorang khalifah ‘Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu pada 15 abad silam:

“Ilmu itu ada tiga tahapan. Jika seseorang memasuki tahapan pertama, dia akan sombong. Jika dia memasuki tahapan kedua, ia akan tawaduk. Dan jika memasuki tahapan ketiga, dia akan merasa dirinya tidak ada apa-apanya.”

Nah, ketika kita telah menyadari bahwa diri kita memang benar-benar tidak ada apa-apanya, maka insya Allah kita juga akan lebih mudah dalam merendahkan dan menghinakan diri di hadapan Sang Pencipta. Ingat bahwa salah satu sikap yang paling disukai Ilahi adalah melihat umatNya tunduk bersujud, merendahkan diri dan memujiNya. Dan seperti kata guru saya, “Lihatlah orang bersujud; bahkan, bokongnya pun lebih tinggi posisinya dari hati, kening, dan otak yang selalu mereka banggakan selama ini.”

Selamat berwisata buku, selamat membaca, dan—seperti yang dituliskan Pak SOJ—semoga berkah!
Singkil, 16 Maret 2016
(Twitter: @irwanzah_27)
*Foto bersama SOJ saya ambil dari https://goo.gl/JtMLt6 dengan sedikit perbaikan.
#ISL27

PANORAMA HATTA


Oleh : Sadri Ondang Jaya


Melintasi jalan negara Tapaktuan-Pasie Raja --begitu pula sebaliknya-- kendaraan yang kita tumpangi, pasti meliuk-liuk. Terkadang oleng, ke sebelah kiri dan kanan.
Tak jarang, kendaraan mendaki dan menurun. Mengikuti "lukisan" badan jalan yang keindahannya amat menakjubkan.
Konon, jalan Tapaktuan-Pasie Raja, yang dibangun dengan biaya miliaran rupiah itu, keindahannya yaris sama dengan Jalan Nasional Kelok sembilan di Sumatera Barat.
Kalau pun itu tak diakui, paling tidak,  kedua jalan tersebut sama-sama dibangun di pinggir tebing yang curam dengan menggunakan konstruksi kontilever berteknologi tinggi.

***
Tidak berapa lama menempuh jalan sepanjang 1.800 meter itu, kita "terperogok" dengan sebuah hamparan puncak gunung. Oleh warga setempat,  puncak gunung itu dinamai dengan  Puncak Pintu Angin.

Di Puncak Pintu Angin itulah ada sebuah kafe. Entah milik siapa kafe itu, tak tahulah kita. 
Yang jelas, kafe yang berdiri di hamparan tanah seluasnya 1000 meter, di depan kafe ada pamflet  bertuliskan kalimat Jambo Panorama Hatta.

Setiap hari, banyak pengunjung singgah di kafe itu. Mereka tidak hanya sekadar melepas penat dan lelah sembari mecicipi enaknya kuliner khas Aceh Selatan.

Tetapi juga, di bawah rimbunan pepohonan hijau, mereka bisa menikmati semilir angin sejuk yang bertiup sepoi-sepoi.

Tidak itu saja, jika mata kita melirik ke sebelah kanan lekuk dua gunung. Birahi seni kita akan terangsang  dengan "rancaknya" panorama alam, lembah ngarai Desa Pantai Lhok Rukam.

Anehnya, jika dilihat dari kejauhan rumah-rumah yang di lingkung bukit itu, seolah-olah mau ditelan ombak yang datang berkejar-kejaran ke bibir pasir putih.

***
Menariknya,  bahkan mengundang penasaran. Mengapa jambo di puncak Pengunungan Mata Angin itu, dinamakan Panorama Hatta?

Rupanya, tahun 1953 Drs. Muhammad Hatta, Wakil Presiden Indonesia pertama, saat berkunjung ke Aceh Selatan, pernah beristirahat sembari menikmati keelokan dan kerancakan pemandangan di kawasan Puncak Pengunungan Mata Angin.

Lalu, sebagai penghargaan terhadap Sang Proklamator, Pemda Aceh Selatan menambalkan tempat persinggahan tersebut dengan nama "Panorama Hatta".

Nama itu, telah menjadi mascot Aceh Selatan. Diyakini ia akan tetap melekat di hati warga dan siapa pun yang pernah ke sana.[]

Sabtu, 14 April 2018

Menyingkap Misteri Makam Syekh Hamzah Fansuri


Oleh : Sadri Ondang Jaya


Dimanakah terletak makam Syekh Hamzah Fansuri? Di Ujung Pancukah? Di Ma’ala? Di Langkawi atau di Oboh? Mana yang benar? Entahlah! Jasad Syekh Hamzah Fansuri diyakini satu. Makamnya kata orang, tersebar di mana-mana.

Sampai hari ini, berbagai kalangan, masih berdebat tentang keberadaan pusara Syekh Hamzah Fansuri itu. Ada yang mengatakan, makam Hamzah Fansuri berada di Ujung Pancu, Peukan Bada, Aceh Besar. 

Ada pula yang menyebut, di pemakaman Ma’ala, Kota Mekah. Versi lain mengatakan,  di Langkawi, Malaysia. Kebanyakan sejarawan mengatakan, makam Hamzah Fansuri ada di Oboh, Runding, Kota Subulussalam.

Sebenarnya letak makam itu, bukanlah persoalan yang mengherankan. Sebab seiring dengan itu, kisah hidup dan karir keulamaan Syekh Hamzah Fansuri pun, sampai hari ini, masih berliku dan belum tersingkap. Wajar, jika keberadaan makamnya  pun tak kalah misterius, fenomenal, dan kontraversial.

Mungkin ini disebabkan, Syekh Hamzah Fansuri menganut aliran Tarekat Wahdatul Wujud. Sebuah aliran tarekat yang susah dimengerti dan dipahami kalangan awam. Sehingga keberadaan pusaranya terbawa rendong “susah dimegerti dan dipahami” pula.

Apalagi kalangan sufi menganggap, Syekh Hamzah Fansuri, adalah waliyullah (dekat dengan Allah) yang tentu saja memiliki berbagai karamah.

Menurut Yusuf bin Ismail An-Nabhani dalam kitabnya Jaamiu Karaamatil Aulia. Apabila seseorang dekat pada Allah disebabkan ketaatan dan keikhlasannya, Allah pun dekat kepadanya dengan melimpahkan rahmat, kebajikan, dan karuni-Nya.

Jika ditelisik dari literatur sejarah, sekarang ini ada empat lokasi makam Syekh Hamzah Fansuri. Keempat lokasi tersebut, masing-masing memiliki bukti dan alasan kuat.

Ujung Pancu
Dalam sejarah ada menyebutkan, makam Syekh Hamzah Fansuri terdapat di Ujung Pancu, Gampong Lampageu, Peukan Bada, Aceh Besar.

Ketika saya berkunjung dan menelusur ke Ujung Pancu, warga di sana menuturkan jasad yang bersemayam di Ujung Pancu, adalah makam Tengku Gle Ujung.

“Tengku Gle Ujung, merupakan sosok ulama yang disebut-sebut bergelar Tengku Tujoh Blah (Tengku 17). Tengku Tujoh Blah, ya Syekh Hamzah Fansuri,” ungkap warga.

Makam ini terawat dengan baik yang panjangnya diperkirakan sekitar 17 hasta atau 9 -12 meter.
Tidak jauh dari makam, terdapat pula makam dua orang muridnya. Di dekat tiga makam itu, di lereng gunung, tengah-tengah persawahan terdapat sebuah kubah masjid yang hanyut diterpa air tatkala peristiwa gempa tsunami melanda Aceh, 26 Desember 2004 lalu.

Konon, Syekh Hamzah Fansuri alias Tengku Tujoh Blah (Tengku 17) yang jasadnya bersemayam di Ujung Pancu dihukum pancung di Desa Deah Geulumpang Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh.

Ada juga referensi yang menyebut, ulama itu dipenggal  dan kitabnya dibakar di depan halaman Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.

Konon abu-arang kitab Syekh Hamzah Fansuri itu, ketika dibuang ke Krueng Aceh, di depan Masjid Raya Baiturrahman, aliran air sungai itu terhenti. Begitu gambaran, banyaknya jumlah kitab yang dibakar bersama tubuh Syekh Hamzah Fansuri.

Setelah meninggal, jasad Syekh Hamzah Fansuri dibawa oleh murid-muridnya menyusuri pantai. Setiba di Ujung Pancu, jasad Hamzah Fansuri diturunkan. Lalu, ditunaikan fardhu kipayahnya. Setelah itu, ia pun dimakamkan di sana.

Peristiwa ini terjadi, di masa Sultan Iskandar Tsani berkuasa (1636-1641). Ketika itu, Syekh Nuruddin Ar-Raniry memfatwakan bahwa ajaran wujudiah yang dikembang Syekh Hamzah Fansuri, termasuk ajaran dan aliran sesat dan menyesatkan.

Karena itu, ia mempengaruhi Sultan Iskandar Tsani, supaya memberikan hukuman pancung pada Syekh Hamzah Fansuri dan beberapa orang pengikut serta membakar kitab-kitab yang ditulisnya. Eksekusi itu pun dilaksanakan oleh algojo kerajaan.

Pendapat ini dibantah oleh, seorang peneliti muda, Hilmy Bakar Almascaty dalam tulisannya Misteri Syekh Hamzah Fansuri, Serambi edisi Minggu, 3 Maret 2013. 

Menurut Hilmy Bakar Almascaty yang juga Presiden Al-Hilal Internasional Grouf:  Yang dibunuh di depan Halaman Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, bukanlah Syekh Hamzah Fansuri.

Melainkan, Syekh Jamaluddin atau menurut Takesi namanya Syekh Maldin. Ia seorang murid sekaligus pengganti Syekh Syamsuddin As-Sumaterani sebagai Qadhi Malik al-Adhil sejak tahun 1630 yang berpaham wujudiah.

Alasan ini diperkuat, adanya perbedaan tahun saat terjadinya peristiwa dengan tahun eksistensi, kisah hidup dan kiprah Hamzah Fansuri di belantara keilmuan Nusantara. Syekh Hamzah Fansuri diperkirakan hidup di seputar abad ke-15.

Apalagi direlevansikan dengan tahun wafatnya Syekh Hamzah Fansuri yaitu tahun 1527 M. Ini berarti, Hamzah Fansuri bukan hidup pada masa Pemerintahan Sultan Iskandar Tsani atau masa Syekh Ar-Raniry menjabat Qadhi Malik al-Adhil di Kerajaan Aceh Darussalam (1637-1644 M).

“Kurun waktu perbedaan masa hidup antara Syekh Hamzah Fansuri dengan Syekh Ar-Raniry lebih seratus tahun. Bagaimana mungkin algojo Ar-Raniry dapat mengeksekusi jasad yang telah terbaring tenang ratusan tahun,” tegas Hilmy Bakar Almascaty.

Di Ma’ala Mekah
Di Mekah, banyak terdapat  komplek pemakaman umum. Salah satu di antaranya yang terkenal dan istimewa, adalah komplek pemakaman Ma’ala. Dikatakan istimewa, karena di sinilah jasad isteri Rasulullah SAW, Siti Khadijah dimakamkan.

Ma’ala ini, terletak menghadap kiblat di sebelah Timur Masjidil Haram dan jaraknya dari Masjidil Haram, tidak terlalu jauh. Bisa ditempuh berjalan kaki selama 15 minit.

Saat musim haji, banyak jamaah yang menyempatkan diri berziarah ke Ma’ala selama 30-60 minit. Kebanyakan berziarah adalah kaum ibu.

Selain menjadi lokasi makam isteri Rasulullah, Siti Khadijah, sejumlah ulama terkenal di Mekah juga dimakamkan di komplek ini. Konon dulu, banyak jamaah haji dari Indonesia dikuburkan di sini. Sebelum pemerintahan Arab Saudi membangun komplek pemakaman umum yang baru.

Salah satu ulama Indonesia yang jasadnya terbujur di pemakaman Ma’ala ini, adalah Syekh Hamzah Fansuri. Seorang ulama sufi yang berasal dari Aceh Singkil. 

Keberadaan makam Hamzah Fansuri di Ma’ala ini, di jelaskan  Hilmy Bakar Almascaty dalam tulisanya Misteri Syekh Hamzah Fansuri, Serambi edisi Minggu, 3 Maret 2013.

Hilmy mengungkapkan, ia lebih cenderung makam Syekh Hamzah Fansuri yang wafat pada tahun 1527 bukan di Ujung Pancu, Peukan Bada, Aceh Besar. Syekh Hamzah Fansuri, menurutnya dimakamkan di komplek pemakaman Ma’ala, Mekah, Arab Saudi.

Argumen Hilmy ini, diperkuat dengan tesis Claude Guillot dan Ludvik Kalus yang menyebutkan, bahwa Syekh Hamzah Fansuri wafat pada tahun 1527 M dan dimakamkan di perkuburan Ma’ala Mekah.

Di Langkawi
Di Malaysia, terdapat sebuah kepulauan yang diberinama Langkawi. Ia termasuk dalam  distrik negara bagian Keudah Darul Aman. Kepulauan Langkawi, memiliki panorama alam  teramat indah dan banyak misteri, mitos, dan legenda masa silam di sana.

Salah satu legendanya, adalah makam Syekh Hamzah Fansuri. Hal ini pernah diakui mantan Wakil Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, saat berkunjung ke makam Syekh Hamzah Fansuri di Kampung Oboh, Runding, Kota Subulussalam.

Ia tidak menyangka kalau makam Syekh Hamzah Fansuri itu terdapat di Indonesia apalagi di Aceh  dalam hal ini Subulussalam.

“Saya tidak tahu kalau makam Syekh Hamzah Fansuri juga ada di sini. Soalnya waktu ke Langkawi, Malaysia, di sana juga ada,” ujar Wakil Gubernur Aceh Muzakkir Manaf.

Apa yang dikatakan Muzakir Manaf ini, terang bagi kita, bahwa makam Syekh Hamzah Fansuri berada di Kepulauan Langkawi. Muzakir Manaf mengatakan demkian karena ia telah pernah berkunjung ke sana.

Di Oboh.
Dari berbagai pendapat,  keberadaan dan letak makam Syekh Hamzah Fansuri  yang patut dipercayai adalah yang berada di sebuah delta hulu Sungai Singkil yang bernama Desa Oboh, Simpang Kiri, Kota Subulussalam yang notabene kampung halamannya sendiri. Pada bangunan makam tertulis : Inilah makam Hamzah Fansuri Mursyid Syekh Abdurrauf.

Dari kisah sejarah yang berkembang, setelah Syekh Hamzah Fansuri melanglang buana ke seantero Nusantara bahkan ke manca negara. Ia pulang ke kampungnya Singkil tepatnya Desa Oboh.

Di sana beliau membuka pengajian atau dayah. Kemudian setelah mengajar beberapa lama, tahun 1016 H/1607 M, Syekh Hamzah Fansuri pun berpulang kerahmatullah dan makam di Oboh bersama keluarga dan murid-muridnya.

Dalam sebuah kisah, tatkala Abuya Syekh Muda Waly melakukan perjalanan dakwah ke Singkil tahun 1953, ia sempat singgah di makam Syekh Hamzah Fansuri itu.

“Tempat yang kita singgahi tadi, adalah makam Syekh Hamzah Fansuri. Beliau sudah menanti dan mengajak saya untuk singgah sebentar, maka kita harus singgah. Setelah kita singgah lalu mendapat izin dan doa, baru kita boleh berangkat kembali,” tutur Muda Waly.

Pemerintah pun baik pusat, provinsi dan kota, lebih mengakui bahwa makam Syekh Hamzah Fansuri berada di Desa Oboh.

Ini terbukti dengan pemberian anugerah kebudayaan dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono kepada keluarga Hamzah Fansuri yang diterima Walikota Subulussalam, Merah Sakti, SH Selasa 13 Agustus 2013 yang lalu.

Hidup di Hati
Terlepas dari kontroversial dan keberadaan makam ini sampai sekarang masih dibalut misteri, yang jelas  Syekh Hamzah Fansuri telah begitu banyak memberikan sumbangan terhadap peradaban Islam di Nusantara. Meskipun paham sufinya ditentang beberapa kalangan.

Sekarang bahkan ke depan, diakui atau tidak. Hamzah Fansuri selalu hidup di hati generasi muda. Diyakini, namanya tidak akan lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan.

Kendati pun Syekh Hamzah Fansuri telah tiada, ia tetap ulama yang tersohor sejak dulu sampai sekarang. Bahkan karya-karyanya, baik puisi maupun yang lain, telah  menginspirasi generasi sesudahnya.

Hamzah Fansuri boleh wafat. Keberadaan makamnya boleh dimana saja dan mengundang berjuta misteri. Tapi nama dan karyanya tetap lekat dan hidup di hati anak negeri. []

Sadri Ondang Jaya, Peminat Sejarah dan Satra
Berdomisili di Aceh Singkil, Nagari Fansuri.