Oleh
: Sadri Ondang Jaya
Menjelang peringatan Hari Jadi Aceh Singkil ke-19
tahun, (27 April 1999-27 April 2018) dan di saat Aceh Singkil telah mendapat legitamasi
dari pemerintah pusat sebagai daerah “4 Ter”: Terpencil, termarginal,
termiskin, plus terbanjir (lihat Peraturan Presiden Nomor 131 tahun 2015). Saya
teringat dengan keadaan Aceh Singkil tahun
90-an dan 80-an.
Keadaan itulah yang ingin saya
refleksikan dalam tulisan singkat ini. Untuk melihat itu semua, agaknya kita perlu
sejenak memutar mundur jarum jam Aceh
Singkil dengan cara memasuki dan
menelusur lorong-lorong waktu.
Aceh Singkil di era 90-an dan 80-an
bahkan jauh sebelumnya, terdapat sejumlah perusahaan kayu yang besar dan
bonafid. Termasuk juga perusahaan swamill yang tak terhitung jumlah dan tak
tahu apa namanya.
Kehadiran perusahaan-perusahaan itu,
diakui atau tidak bagi kalangan tertentu, terutama pemilik dan orang yang
bekerja di perusahaan, sangat mengembirakan dan menyejaterakan. Sehingga ada
ungkapan, untuk mendapatkan uang banyak, jadilah pemilik perusahaan kayu di
Aceh Singkil, minimal menjadi pekerja di perusahaan tersebut.
Ada anekdot, saking banyaknya uang
pemilik perusahaan kayu dan swamill di Aceh Singkil—termasuk karyawan-karyawannya--mereka
tidak tahu lagi menggunakan dan menyimpan uangnya. Uang itu, tidak dibawa
dengan tas atau diisi dalam dompet, melainkan dimasukkan dalam karung goni bekas
tepung terigu cap segitiga. Karung goni itulah yang ditenteng ke pasar atau ke
toko, saat mau belanja, misalnya.
Ada cerita lucu, jika uang yang berjibun
diminta, tak bakal dikasih. Tetapi kalau uangnya dicuri, tidak apa-apa, asal
jangan ketahuan. Karena sipemilik uang, tidak pernah menghitung berapa jumlah
uang yang disimpannya.
Uang itu, berasal dari hasil penjualan
kayu-kayu ke luar daerah. Sebab ketika itu, perusahaan-perusahaan kayu di Aceh
Singkil dengan peralatan modern, menebang, dan mengelola ribuan batang kayu yang
sangat berkualitas. Ada jenis kayu meranti, kapur, damar laut, lagan, krueing,
dan jenis kayu lainnya. Batang kayu itu dirambah dari kebun rimba raya Aceh Singkil
termasuk Subulussalam dengan mengatas namakan HPH-HGU milik mereka.
Setelah kayu yang berukuran besar
(gelondongan-balok) itu ditebang dan diolah, lalu truk-truk besar mengangkut
dan menumpuknya di padang-padang luas, dekat pinggir sungai yang notabene tak
jauh dari pemukiman warga.
Kemudian, kayu gelondongan (balok) dan
olahan (beroti) tadi didorong dan dijatuhkan oleh alat-alat berat pula, seperti
PH, traktor, exavator dll ke sungai. Oleh tangan-tangan cekatan nan terampil, dirakit
dengan menggunakan balabek dan rotan.
Sejurus kemudian, kayu-kayu itu dijejarkan dan ditambatkan di sepanjang sungai,
sejak hulu hingga hilir. Bahkan, sampai ke muara.
Tak lama kemudian, kayu yang telah
dirakit digandeng dan dimuat ke kapal atau tongkang besar yang telah berlabuh
di teluk perairan laut Aceh Singkil. Adanya juga yang langsung dimuat ke boat
yang bisa sandar ke steker-steker yang terbuat dari kayu.
Setelah petak dan lambung, boat, kapal
atau tongkang penuh berisi kayu, boat, kapal, dan tongkang tersebut pun berangkat
ke luar daerah. Konon katanya, kayu-kayu itu ada yang dibawa sampai Singapura,
Jepang, dan negara-negara Eropa.
Sebagai ilustrasi banyaknya balok dan
beroti di Aceh Singkil, ketika itu, apabila rakit-rakit tadi disusun rapi, maka
susunan rakit itu akan sampai ke perairan Jepang, akan bisa menjadi jembatan. Apabila
orang Singkil mau ke Jepang, mereka cukup meniti di rakit balok-balok tadi.
Sekarang setelah perusahaan-perusahaan
kayu itu hengkang dari bumi titisan darah Syekh Abdurrauf, dalam pikiran saya
muncul selaksa tanya. Pertanyaan yang teramat mengelitik nurani saya, adalah mengapa
keberadaan puluhan perusahaan kayu di
aceh Singkil, ketika itu, belum bisa mengentaskan endemik kemiskinan dan
keterbelakangan warga Aceh Singkil.
Padahal omset yang diterima perusahaan
tadi, setiap tahunnya, dari penjualan kayu, mencapai triliunan. Kemana uang
itu? Mengapa agak sedikit tidak menetes dan mengalir pada warga atau berbekas
dalam bentuk bangunan-bangunan yang monumental di Aceh Singkil.
Hutan yang digarap perusahan kayu ini
sudah berpuluh tahun. Lalu, hasil hutan itu milik siapa? Kok warga
sekelilingnya hidup melarat dan hanya menjadi penonoton belaka.
Bisa diduga, uang tadi, hanya
dinikmati “orang-orang tertentu” dan
umumnya berdomisli di luar daerah sana. Sementara warga Aceh Singkil menjadi
penonton. Menggigit jari dan hanya mereguk angan belaka.
Bahkan, uang sosial kemasyarakatan yang
seharusnya diberikan perusahaan secara berkala setiap tahun, tidak pernah dirasakan
dan dinikmati warga. Padahal lokasi operasional perusahaan begitu dekat dengan
pemukiman mereka.
Sekarang, justru warga menanggung dampak
dari keberadaan perusahaan-perusahaan itu setelah hutan yang ditebangnya tanpa
reboisasi: “Jika musim kemarau, panas
terik memanggang. Kalau musim penghujan, pemukiman diterjang banjir dan banyak
rumah warga direndam air.”
Orang-orang tertentu yang telah
menikmati kekayaan alam Aceh Singkil, dalam keadaan banjir ini, hanya berumah “di
atas angin” sambil tertawa-tawa sembari mengucapkan kalimat, “Memang gue
pikirin. Rasain lu.”
Padahal kekayaan alam
Indonesia--termasuk di Aceh Singkil-- seluruhnya diperuntukan demi
kesejahteraan dan hajat hidup orang banyak. Begitu amanah UUD Negara Republik
Indonesia tahun 1945. Namun apakah amanat itu, hanya sekadar utopia belaka (?)
Memang, ketika itu, ada beberapa warga pribumi
yang menjadi buruh atau dipekerjakan di perusahaan tersebut. Tetapi, mereka hanya buruh lepas
(BHL), dengan memeroleh gaji “alakadar”. Perusahaan, tak pernah memberikan
tunjangan kesejahteraan, uang lebaran, apalagi pesangon dan uang pensiun kepada
mereka.
Jika ada buruh yang kritis,
mempertanyakan hal ini, buruh tadi digrogok
dengan ancaman diberhentikan kerja. Pemuda-pemuda yang berani dan cerdas
kala itu, mulutnya dibungkam dengan cara diberikan beberapa helai kustum, bola
kaki, dan bola voli. Ada juga yang diajak “pesta” akhir tahun.
Paling hebat, sebagai pembujuk,
perusahaan hanya memberikan beberapa potong pekayuan untuk merehap masjid atau
mushala. Ironis memang.
Sekarang perusahaan kayu itu telah hengkang
dari Aceh Singkil. Rasanya, tak ada satu pun kenangan yang monumental dan
membekas yang ditinggalkan perusahaan. Ia hanya menyisahkan daerah yang setiap
tahun diterjang banjir. Dan telah pula menjadikan Aceh Singkil sebagai daerah “4
Ter”. Malah, supremasi itu masih tetap bertengger dalam usia Kabupaten Aceh
Singkil ke-19 ini.
Apakah kehadiran perusahaan perkebunan
kelapa sawit yang ada sekarang bertebaran di Aceh Singkil akan demikian pula? Apakah
bisa menyejaterakan dan bisa mengangkat harkat dan martabat warga Aceh Singkil
secara signifikan?
Bukan justru sebaliknya, memerlebar dan
menciptakan jurang pemisah (gap) antara warga dengan pihak perusahaan. Dengan
kata lain, warga Aceh Singkil hanya menjadi penonton budiman dibalik “keangkuhan
tembok” perusahaan. Perusahaan ada dan banyak, tapi di sekeliling pemuda
pemudinya menjadi penganggur. Dan Aceh Singkil tetap berada di titik nadir
kemiskinan.
Untuk menjawab itu, warga Aceh Singkil
harus bergerak serempak dan mengarah pada perubahan. Terutama yang lebih urgen,
perubahan cara berpikir. Harus meninggalkan cara berpikir lama nan usang.
Ada nasihat Peter Drucker, “Bahaya terbesar dalam turbelensi (menimbulkan
gangguan, keresahaan, dan ketidaknyamanan) bukan turbelensi itu sendiri,
melainkan ‘cara berpikir kemarin’ yang masih dipakai untuk memecahkan masalah
sekarang.”
Warga Aceh Singkil hari ini, jangan pernah
mengulang kesalahan masa lalu. Keledai saja, tak pernah terperosok dua kali
dalam lubang yang sama. Mengapa kita manusia harus terperosok? Jangankan
terperosok dua kali, sekali pun jangan. Camkan itu! []
Sadri Ondang Jaya, adalah guru dan Penulis
Buku Singkil
Dalam Konstelasi
Sejarah Aceh (SDKSA).