Oleh : Sadri
Ondang Jaya
Dimanakah terletak makam Syekh Hamzah Fansuri? Di
Ujung Pancukah? Di Ma’ala? Di Langkawi atau di Oboh? Mana yang benar? Entahlah!
Jasad Syekh Hamzah Fansuri diyakini satu. Makamnya kata orang, tersebar di
mana-mana.
Sampai hari ini, berbagai kalangan, masih berdebat
tentang keberadaan pusara Syekh Hamzah Fansuri itu. Ada yang mengatakan, makam
Hamzah Fansuri berada di Ujung Pancu, Peukan Bada, Aceh Besar.
Ada pula yang menyebut, di pemakaman Ma’ala, Kota
Mekah. Versi lain mengatakan, di
Langkawi, Malaysia. Kebanyakan sejarawan mengatakan, makam Hamzah Fansuri ada
di Oboh, Runding, Kota Subulussalam.
Sebenarnya letak makam itu, bukanlah persoalan yang
mengherankan. Sebab seiring dengan itu, kisah hidup dan karir keulamaan Syekh
Hamzah Fansuri pun, sampai hari ini, masih berliku dan belum tersingkap. Wajar,
jika keberadaan makamnya pun tak kalah
misterius, fenomenal, dan kontraversial.
Mungkin ini disebabkan, Syekh Hamzah Fansuri
menganut aliran Tarekat Wahdatul Wujud. Sebuah aliran tarekat yang susah
dimengerti dan dipahami kalangan awam. Sehingga keberadaan pusaranya terbawa
rendong “susah dimegerti dan dipahami” pula.
Apalagi kalangan sufi menganggap, Syekh Hamzah
Fansuri, adalah waliyullah (dekat dengan Allah) yang tentu saja memiliki
berbagai karamah.
Menurut Yusuf bin Ismail An-Nabhani dalam kitabnya Jaamiu Karaamatil Aulia. Apabila
seseorang dekat pada Allah disebabkan ketaatan dan keikhlasannya, Allah pun
dekat kepadanya dengan melimpahkan rahmat, kebajikan, dan karuni-Nya.
Jika ditelisik dari literatur sejarah, sekarang ini ada
empat lokasi makam Syekh Hamzah Fansuri. Keempat lokasi tersebut, masing-masing
memiliki bukti dan alasan kuat.
Ujung
Pancu
Dalam sejarah ada menyebutkan, makam Syekh Hamzah
Fansuri terdapat di Ujung Pancu, Gampong Lampageu, Peukan Bada, Aceh Besar.
Ketika saya berkunjung dan menelusur ke Ujung Pancu,
warga di sana menuturkan jasad yang bersemayam di Ujung Pancu, adalah makam Tengku
Gle Ujung.
“Tengku Gle Ujung, merupakan sosok ulama yang
disebut-sebut bergelar Tengku Tujoh Blah (Tengku 17). Tengku Tujoh Blah, ya
Syekh Hamzah Fansuri,” ungkap warga.
Makam ini terawat dengan baik yang panjangnya
diperkirakan sekitar 17 hasta atau 9 -12 meter.
Tidak jauh dari makam, terdapat pula makam dua orang
muridnya. Di dekat tiga makam itu, di lereng gunung, tengah-tengah persawahan
terdapat sebuah kubah masjid yang hanyut diterpa air tatkala peristiwa gempa
tsunami melanda Aceh, 26 Desember 2004 lalu.
Konon, Syekh Hamzah Fansuri alias Tengku Tujoh Blah
(Tengku 17) yang jasadnya bersemayam di Ujung Pancu dihukum pancung di Desa
Deah Geulumpang Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh.
Ada juga
referensi yang menyebut, ulama itu dipenggal
dan kitabnya dibakar di depan halaman Masjid Raya Baiturrahman Banda
Aceh.
Konon abu-arang kitab Syekh Hamzah Fansuri itu,
ketika dibuang ke Krueng Aceh, di depan Masjid Raya Baiturrahman, aliran air
sungai itu terhenti. Begitu gambaran, banyaknya jumlah kitab yang dibakar
bersama tubuh Syekh Hamzah Fansuri.
Setelah meninggal, jasad Syekh Hamzah Fansuri dibawa
oleh murid-muridnya menyusuri pantai. Setiba di Ujung Pancu, jasad Hamzah
Fansuri diturunkan. Lalu, ditunaikan fardhu kipayahnya. Setelah itu, ia pun dimakamkan
di sana.
Peristiwa ini terjadi, di masa Sultan Iskandar Tsani
berkuasa (1636-1641). Ketika itu, Syekh Nuruddin Ar-Raniry memfatwakan bahwa
ajaran wujudiah yang dikembang Syekh Hamzah Fansuri, termasuk ajaran dan aliran
sesat dan menyesatkan.
Karena itu, ia mempengaruhi Sultan Iskandar Tsani,
supaya memberikan hukuman pancung pada Syekh Hamzah Fansuri dan beberapa orang
pengikut serta membakar kitab-kitab yang ditulisnya. Eksekusi itu pun
dilaksanakan oleh algojo kerajaan.
Pendapat ini dibantah oleh, seorang peneliti muda,
Hilmy Bakar Almascaty dalam tulisannya Misteri Syekh Hamzah Fansuri, Serambi
edisi Minggu, 3 Maret 2013.
Menurut Hilmy Bakar Almascaty yang juga Presiden
Al-Hilal Internasional Grouf: Yang
dibunuh di depan Halaman Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, bukanlah Syekh Hamzah
Fansuri.
Melainkan, Syekh Jamaluddin atau menurut Takesi
namanya Syekh Maldin. Ia seorang murid sekaligus pengganti Syekh Syamsuddin As-Sumaterani
sebagai Qadhi Malik al-Adhil sejak tahun 1630 yang berpaham wujudiah.
Alasan ini diperkuat, adanya perbedaan tahun saat
terjadinya peristiwa dengan tahun eksistensi, kisah hidup dan kiprah Hamzah
Fansuri di belantara keilmuan Nusantara. Syekh Hamzah Fansuri diperkirakan
hidup di seputar abad ke-15.
Apalagi direlevansikan dengan tahun wafatnya Syekh
Hamzah Fansuri yaitu tahun 1527 M. Ini berarti, Hamzah Fansuri bukan hidup pada
masa Pemerintahan Sultan Iskandar Tsani atau masa Syekh Ar-Raniry menjabat
Qadhi Malik al-Adhil di Kerajaan Aceh Darussalam (1637-1644 M).
“Kurun waktu perbedaan masa hidup antara Syekh
Hamzah Fansuri dengan Syekh Ar-Raniry lebih seratus tahun. Bagaimana mungkin
algojo Ar-Raniry dapat mengeksekusi jasad yang telah terbaring tenang ratusan
tahun,” tegas Hilmy Bakar Almascaty.
Di
Ma’ala Mekah
Di Mekah, banyak terdapat komplek pemakaman umum. Salah satu di
antaranya yang terkenal dan istimewa, adalah komplek pemakaman Ma’ala.
Dikatakan istimewa, karena di sinilah jasad isteri Rasulullah SAW, Siti
Khadijah dimakamkan.
Ma’ala ini, terletak menghadap kiblat di sebelah
Timur Masjidil Haram dan jaraknya dari Masjidil Haram, tidak terlalu jauh. Bisa
ditempuh berjalan kaki selama 15 minit.
Saat musim haji, banyak jamaah yang menyempatkan
diri berziarah ke Ma’ala selama 30-60 minit. Kebanyakan berziarah adalah kaum
ibu.
Selain menjadi lokasi makam isteri Rasulullah, Siti
Khadijah, sejumlah ulama terkenal di Mekah juga dimakamkan di komplek ini.
Konon dulu, banyak jamaah haji dari Indonesia dikuburkan di sini. Sebelum
pemerintahan Arab Saudi membangun komplek pemakaman umum yang baru.
Salah satu ulama Indonesia yang jasadnya terbujur di
pemakaman Ma’ala ini, adalah Syekh Hamzah Fansuri. Seorang ulama sufi yang
berasal dari Aceh Singkil.
Keberadaan makam Hamzah Fansuri di Ma’ala ini, di
jelaskan Hilmy Bakar Almascaty dalam
tulisanya Misteri Syekh Hamzah Fansuri, Serambi edisi Minggu, 3 Maret 2013.
Hilmy mengungkapkan, ia lebih cenderung makam Syekh
Hamzah Fansuri yang wafat pada tahun 1527 bukan di Ujung Pancu, Peukan Bada,
Aceh Besar. Syekh Hamzah Fansuri, menurutnya dimakamkan di komplek pemakaman
Ma’ala, Mekah, Arab Saudi.
Argumen Hilmy ini, diperkuat dengan tesis Claude
Guillot dan Ludvik Kalus yang menyebutkan, bahwa Syekh Hamzah Fansuri wafat
pada tahun 1527 M dan dimakamkan di perkuburan Ma’ala Mekah.
Di
Langkawi
Di Malaysia, terdapat sebuah kepulauan yang
diberinama Langkawi. Ia termasuk dalam
distrik negara bagian Keudah Darul Aman. Kepulauan Langkawi, memiliki
panorama alam teramat indah dan banyak
misteri, mitos, dan legenda masa silam di sana.
Salah satu legendanya, adalah makam Syekh Hamzah
Fansuri. Hal ini pernah diakui mantan Wakil Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, saat
berkunjung ke makam Syekh Hamzah Fansuri di Kampung Oboh, Runding, Kota
Subulussalam.
Ia tidak menyangka kalau makam Syekh Hamzah Fansuri
itu terdapat di Indonesia apalagi di Aceh
dalam hal ini Subulussalam.
“Saya tidak tahu kalau makam Syekh Hamzah Fansuri
juga ada di sini. Soalnya waktu ke Langkawi, Malaysia, di sana juga ada,” ujar
Wakil Gubernur Aceh Muzakkir Manaf.
Apa yang dikatakan Muzakir Manaf ini, terang bagi
kita, bahwa makam Syekh Hamzah Fansuri berada di Kepulauan Langkawi. Muzakir
Manaf mengatakan demkian karena ia telah pernah berkunjung ke sana.
Di
Oboh.
Dari berbagai pendapat, keberadaan dan letak makam Syekh Hamzah
Fansuri yang patut dipercayai adalah yang
berada di sebuah delta hulu Sungai Singkil yang bernama Desa Oboh, Simpang Kiri,
Kota Subulussalam yang notabene kampung halamannya sendiri. Pada bangunan makam
tertulis : Inilah makam Hamzah Fansuri Mursyid Syekh Abdurrauf.
Dari kisah sejarah yang berkembang, setelah Syekh
Hamzah Fansuri melanglang buana ke seantero Nusantara bahkan ke manca negara.
Ia pulang ke kampungnya Singkil tepatnya Desa Oboh.
Di sana beliau membuka pengajian atau dayah.
Kemudian setelah mengajar beberapa lama, tahun 1016 H/1607 M, Syekh Hamzah
Fansuri pun berpulang kerahmatullah dan makam di Oboh bersama keluarga dan
murid-muridnya.
Dalam sebuah kisah, tatkala Abuya Syekh Muda Waly
melakukan perjalanan dakwah ke Singkil tahun 1953, ia sempat singgah di makam
Syekh Hamzah Fansuri itu.
“Tempat yang kita singgahi tadi, adalah makam Syekh
Hamzah Fansuri. Beliau sudah menanti dan mengajak saya untuk singgah sebentar,
maka kita harus singgah. Setelah kita singgah lalu mendapat izin dan doa, baru
kita boleh berangkat kembali,” tutur Muda Waly.
Pemerintah pun baik pusat, provinsi dan kota, lebih
mengakui bahwa makam Syekh Hamzah Fansuri berada di Desa Oboh.
Ini terbukti dengan pemberian anugerah kebudayaan
dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono kepada keluarga Hamzah Fansuri yang
diterima Walikota Subulussalam, Merah Sakti, SH Selasa 13 Agustus 2013 yang lalu.
Hidup
di Hati
Terlepas dari kontroversial dan keberadaan makam ini
sampai sekarang masih dibalut misteri, yang jelas Syekh Hamzah Fansuri telah begitu banyak
memberikan sumbangan terhadap peradaban Islam di Nusantara. Meskipun paham
sufinya ditentang beberapa kalangan.
Sekarang bahkan ke depan, diakui atau tidak. Hamzah
Fansuri selalu hidup di hati generasi muda. Diyakini, namanya tidak akan lekang
oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan.
Kendati pun Syekh Hamzah Fansuri telah tiada, ia
tetap ulama yang tersohor sejak dulu sampai sekarang. Bahkan karya-karyanya,
baik puisi maupun yang lain, telah
menginspirasi generasi sesudahnya.
Hamzah Fansuri boleh wafat. Keberadaan makamnya
boleh dimana saja dan mengundang berjuta misteri. Tapi nama dan karyanya tetap
lekat dan hidup di hati anak negeri. []
Sadri Ondang Jaya, Peminat Sejarah dan
Satra
Berdomisili di Aceh Singkil, Nagari
Fansuri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar