Sabtu, 17 Maret 2018

Budaya Literasi




Ada Apa Dengan Budaya Literasi Kita?
Oleh : Sadri Ondang Jaya, S.Pd**

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
yang menciptakan,
Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah
Bacalah, dan Tuhanmulah
yang maha pemurah,
Yang mengajar (manusia)
dengan perantara kalam
Dia mengajar manusia apa yang
tidak diketahuinya.
Ketahuilah!
Sesungguhnya manusia
benar-benar melampui batas.
Karena melihat dirinya
serba cukup.” (QS. Al-Alaq)

***

“Telah kubaca biografi  dan kujumpai ratusan
orang-orang hebat, politisi, negarawan,
ekonom, teknograt, dan orang-orang berilmu,
tak satu pun dari mereka yang
tak cinta buku.”

***

“Lima tahun lagi Anda
akan sama seperti sekarang
kecuali ada dua hal :
Dengan siapa Anda bergaul
Dan buku apa yang Anda baca.”

***

Kutipan di atas, adalah kalam Ilahi Rabbi dan kalimat ‘bijak’. Tujuan kalimat ini dikutip,  untuk menggugah sekaligus memicuh semangat  kita agar mau mencintai dan mengaplikasi budaya literasi dalam kehidupan. Baik dalam kehidupan rumah tangga, lingkungan masjid, masyarakat, maupun di lingkungan kampus. Lebih utama lagi, di lingkungan sekolah.

Mengapa budaya literasi ini perlu dicintai dan diaplikasi dalam kehidupan? Apa manfaatnya bagi kehidupan berbangsa? Dan apa pula yang dimaksud dengan budaya literasi? Untuk menjawab pertanyaan mendasar itu, perlu ditelusuri tulisan ini lebih lanjut.

                                                                        ***
Budaya literasi di Indonesia, sebenarnya bukanlah hal yang baru. Dulu budaya literasi ini, telah hidup subur dan berkembang serta dipraktikkan oleh tokoh-tokoh besar dan hebat Indonesia. Sebut saja di antaranya, Syekh Abdurrauf Al-Singkili, Syekh Hamzah Fansuri, Bung Karno, Bung Hatta, Moh Yamin, Buya Hamka, M. Natsir,  Kihajar Dewantara, KH Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari, dan H Agussalim. Mereka ini, adalah sosok ilmuan dan pejuang yang sangat gigih dan selalu menjunjung tinggi budaya literasi di zamannya.

Dengan budaya literasi yang mereka terapkan dalam kehidupan, telah berhasil memutus mata rantai kebodohan, keterbelakangan, dan mata rantai kemiskinan. Bahkan, mata rantai penjajahan di Indonesia.

Dengan kecintaan tokoh-tokoh nasional ini terhadap buku dan kemudian membacanya, lalu mereka goreskan dalam bentuk tulisan dan orasi, membuat sikap patriotisme dan nasionalisme terhujam, tumbuh, dan berkembang serta bergelora dalam jiwa raga bangsa Indonesia. Sikap inilah yang menjadi modal utama bangsa Indonesia melawan penjajah. Sehingga ketika itu, penjajah Belanda  menjadi takut dan kucar-kacir.

Akibat Lunturnya Budaya Literasi
Namun, seiring dengan perkembangan zaman, budaya literasi di Indonesia mengalami kelunturan dan stagnasi. Dengan kata lain, budaya ini  tidak terwariskan dengan sempurna pada generasi berikutnya.

Secara faktual anak-anak Indonesia sekarang, lebih senang bermain games, playstation, menikmati beragam gadget dan menonton televisi dari pada membaca, menulis, berorasi (pidato), atau menekuni literasi dalam pengertian luas.

Padahal dalam permainan tekonologi tadi, anak-anak hanya diam pasif, menerima segala yang disuguhkan. Mereka tidak kreatif dan inovatif. Sedangkan ketika membaca, menulis, dan berorasi, pikiran anak-anak menjadi aktif, daya nalar menjadi tinggi, dan imajinasi mereka akan berkembang.

Karena itu tak mengheran, jika dalam beberapa survei tentang literasi yang dilakukan lembaga internasional, posisi Indonesia selalu menempati nomor buncit. Seperti data yang dilansir Organisasi Pengembangan Kerja sama Ekonomi– Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), budaya baca masyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur (tahun 2009).

Tahun 2011 berdasarkan survei United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) rendahnya minat baca ini, dibuktikan dengan indeks membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 (dari seribu penduduk, hanya ada satu orang yang memiliki minat baca tinggi. Data United Nations Development Programme (UNDP) angka melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5% (2012).

Lebih menyedihkan lagi, berdasarkan data Center for Social Marketing (CMS). Perbandingan jumlah buku yang dibaca siswa SMA di 13 negara, termasuk Indonesia adalah: di Amerika Serikat, jumlah buku yang wajib dibaca sebanyak  32 judul buku, di Belanda 30 buku, Prancis 30 buku. Sedangkan Jepang 22 buku, Swiss 15 buku, Kanada 13 buku, Rusia 12 buku, Brunei Darussalam 7 buku, Singapura 6 buku,  Thailan 5 buku. Sementara  Indonesia 0 buku. 

Selain itu, berdasarkan hasil progress in International Reading Literacy Study        (PIRLS) dan Programme for International Student Assesment (PISA), bahwa kemampuan literasi anak-anak Indonesia masih berada di nomor terakhir. Yaitu, menempati urutan ke 64 dari 65 anggota PISA dengan skor 396 dari standar 496.

Mencermati hasil survei dan ekspose lembaga-lembaga literasi di atas, membuat kita bergidik, takut dan  prihatin. Karena hal ini, bertolak belakang dengan amanat dan tujuan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20/2003 pasal 4 ayat 5 yang menekankan budaya membaca, menulis, dan berhitung.

Kemudian, rendahnya literacy awareness  bangsa Indonesia ini, berbanding lurus dengan kualitas sumber daya manusia yang kita miliki, melemahnya daya saing dalam percaturan pergaulan global dan merendahkan peradaban bangsa. Artinya, kalau tingkat literasi bangsa rendah, maka kualitas bangsa itu tergolong rendah pula. Muaranya, dalam jangka panjang peradaban bangsa kita menjadi lemah bahkan absur.

Menyadari hal itu, sudah saatnya kita keluar dari kondisi tersebut. Perlu tindakkan nyata bukan sekadar wacana semata. Diperlukan intervensi secara sistemik, masif, dan berkelanjutan. Lalu,  berbuat dan mendorong  terciptanya budaya literasi di sekeliling kita.

Salah satu lingkungan yang paling urgen diterapkannya gerakan literasi ini, yaitu di sekolah. Karena sekolah adalah lembaga keilmuan yang warganya selalu bergelut dalam  dunia bacaan dan tulisan.

Program Pemerintah
Untuk menjawab itu semua,  pada tanggal 18 Agustus 2015 lalu, pemerintah Indonesia melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) telah  meluncurkan sebuah gerakan yang dinamakan, “Gerakan Literasi Sekolah (GLS)” ‘Bahasa Penumbuh Budi Pekerti’.

 Gerakan Literasi Sekolah, merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bersifat   partisipatif  untuk menumbuh-kembangkan dan mendorong agar peserta didik mau membaca, menulis, dan keterampilan berpikir lainnya. Dalam gerakan ini melibatkan berbagai elemen secara lintas sektoral, yaitu berupa warga sekolah. Seperti, peserta didik, guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, pengawas sekolah, komite sekolah, dan orangtua/wali peserta didik.

Bahkan, termasuk di dalamnya, para akademisi, penerbit, media massa, tokoh masyarakat, dunia usaha, dan pemangku kepentingan. GLS ini berada di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Tujuan yang paling utama, diluncurkannya GLS, adalah dapat menginternalisasikan nilai-nilai peradaban, nilai-nilai budaya, dan  budi pekerti luhur  melalui literasi sesuai dengan amanat Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.

‘Penumbuh’ yang dimaksudkan di sini. Yaitu, hanya menumbuhkan, bukan menanamkan budi pekerti. Menumbuhkan budi pekerti, maknanya jauh berbeda dengan menanamkan budi pekerti. Kalau menanamkan berarti kita memasukkan dari luar diri si anak. Padahal dalam diri anak secara alamiah dan naluriah, ia telah memiliki modal dasar budi pekerti.

Sisi lain,  dengan Gerakan Literasi Sekolah (GLS), seluruh warga sekolah akan selalu membiasakan dan memotivasi dirinya untuk mau membaca dan menulis yang selalu dilandasi dengan keterampilan atau kiat untuk mengubah, meringkas, memodifikasi, menceritakan kembali, dan seterusnya.

Sebab, peserta didik masa mendatang, di samping dituntut memiliki akhlak atau budi pekerti yang baik, pengetahuan dan penguasaan teknologi yang tinggi, andal dan mumpuni. Mereka harus menguasai literasi numerasi, sains, teknologi informasi, finansial, budaya, dan kewarganegaraan.

Apalagi  gerakan literasi ini  merupakan hal yang sangat dianjurkan oleh Islam, yaitu dengan turunnya surat Al-Alaq. Ayat pertamanya, berbunyi : Iqra’, bacalah. Membaca di sini bukanlah dalam pengertian sempit. Melainkan, memiliki makna yang luas. Dalam konteks ini sama dengan literasi. Termasuk di dalamnya, kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan informasi dengan cerdas.

Jika peserta didik, saban hari melakukan Iqra’ dalam artinya yang luas. Diyakini mereka akan menjadi orang-orang yang memiliki akhlak atau budi pekerti yang baik, menguasai pengetahuan dan teknologi yang tinggi, andal dan mumpuni. Ini semua nanti, akan menjadi modal dalam kehidupan mereka. Baik kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhirat kelak.

Menerapkan Kembali Budaya Literasi
Lalu, bagaimana cara menyadarkan warga sekolah akan pentingnya budaya literasi. Paling tidak, budaya membaca dan menulis. Untuk itu, dalam GLS ini sangat dibutuhkan sosok inisiator, eksekutor, dan controller.

Inisiator tersebut tidak harus seorang pemimpin. Bisa saja dari kalangan seorang guru biasa. Tetapi, guru tersebut harus memiliki kepedulian, dedikasi, dan integritas yang tinggi terhadap budaya literasi.

Jika penggagasnya, seorang pemimpin. Misalnya, Gubernur, Bupati atau Kepala Dinas, akan mempunyai nilai lebih. Karena sosok pemimpin  itu, mempunyai kekuatan mengeksekusi–dalam melaksanakan program ini.

Penggagas literasi ini harus mampu menyuntikkan ke dalam sistem agar budaya literasi tidak berjalan sendiri. Setelah dieksekusi, kemudian dilakukan  kontroling agar tujuan program tercapai.

Bentuk ril program ini. Pertama,  sekolah mengadakan sosialisasi kepada seluruh warga sekolah. Termasuk dengan cara pemasangan spanduk di setiap sudut sekolah dan banner sehingga menambah marak gerakan ‘Ayo Membaca’ ini. Kemudian mengadakan seminar dan workshop.

Kedua, guru bersama peserta didik diberikan buku terutama buku yang dapat menumbuhkan budi pekerti.  Berupa cerita atau dongeng lokal, buku-buku yang menginspirasi seperti biografi tokoh lokal dan biografi anak bangsa yang berprestasi, buku sejarah yang membentuk semangat kebangsaan atau cinta tanah air, dan buku-buku lainnya.

Ketiga, peserta didik meluangkan waktu khusus untuk membaca buku tiap hari, sebelum memulai pelajaran selama 15 menit. Durasi 15 menit ini hanya pancingan untuk menumbuhkan kecintaan terhadap buku dengan kata lain sustained Silent Reading.

Apabila, peserta didik tidak membawa buku, ia diperkenankan menulis apa saja yang diinginkannya. Bisa puisi, Cerpen, artikel, resensi, cuplikan  atau apa saja. Keempat, jika ada peserta didik telah menamatkan satu atau beberapa buah buku dan menang dalam aneka lomba literasi bisa diberikan hadiah semacam literacy award.

Lima, mengadakan beda buku, jumpa penulis buku, pameran atau bajar buku, latihan menulis dan membuat penerbitan berkala.

Apabila ini bisa terwujud, tingkat literasi peserta didik akan meningkat. Indek kualitas bangsa kita akan naik dan budi pekerti generasi pun menjadi luhur dan mulia. Akhirnya, bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang berperadaban tinggi. Semoga![]

Angkat Telur


“Angkat Telur”
Oleh : Sadri Ondang Jaya

Di kalangan masyarakat, perilaku hipokrit, opurtunis, menjilat atau dalam bahasa aktivis acap disebut “angkat telur”, semakin merajalela. Bahkan belakangan ini, terlihat tambah marak, menggila, dan fenomenal.

Sehingga tak mengherankan, banyak muncul kalimat apoligia, ‘jika tak mau angkat telur, hidup akan terseok-seok. Takkan mendapat jabatan, keuntungan, dan penghargaan.’

Jadi, tujuan angkat telur, di samping ingin diperhatikan secara khusus. Juga ingin mendapat promosi jabatan atau kedudukan.

Pokoknya, perilaku angkat telur implementasinya demi meraih material atau finansial semata.
Untuk memuluskan aksinya, si pengangkat telur rela mengultus seseorang (cult of personality). Apa pun yang dikatakan orang yang telah dikultuskanya tadi, semuanya benar.

Meskipun yang disampaikan itu, secara logika dan nalar jungkir balik, ia tak berani membantah apalagi mengkritisi. Demi sesuatu, si pengangkat telur hanya membebek saja.

Tidak itu saja, dengan saudara seiman, seorganisasi si pengangkat telur tak pernah kompromis. Ia selalu menyikut teman seiring dan mengunting dalam lipatan.

Tragisnya, si pengangkat telur kerap merampas hak orang lain dengan cara menyakiti hatinya. Seperti, menjelek-jelekkan, memfitnah, dan menzalimi.

Kalimat adagium ‘tidak ada teman yang abadi tapi kepentingan yang abadi’ menjadi sesuatu yang sangat berlaku baginya. Dipraktikannya tanpa tedeng aling-aling dan basa-basi.

Baginya, rekan kerja bukanlah teman seperjuangan. Melainkan saingan yang harus dibabat habis.
Teman-temannya yang memiliki kelebihan, baik kelebihan fisik, pendidikan, daya pikir, kemampuan finansial, maupun yang punya potensi untuk menjadi orang hebat, berkembang, dan maju melebihi dirinya, dianggap sebagai rival terberat.

Ia gelisah. Lalu,  kambuhlah penyakitnya, susah melihat orang senang dan senang melihat orang susah, alias “penyakit” SMS.

Seorang pengangkat telur, adalah sosok reportase andal nan profesional. Ia selalu berperan, bak juru bicara. Apalagi tentang hal-hal yang mengenai kesalahan rekan kerja termasuk saingannya. Ia terus mengipas-ngipas, mengompori, dan memprofokasi.

Dengan retorika hebat dan berapi-api, si pengangkat telur memberikan opini dan stigma yang buruk tentang rekannya kepada semua orang. Termasuk pada atasan

Ia tak peduli apakah laporan itu sesuai fakta atau hanya rekayasa. Yang penting, jika temannya tadi “terjungkal”, ia senang alang kepalang.

Seorang pengangkat telur merupakan wujud jelmaan dari kutu loncat dan bunglon. Ia sering berpindah-pindah dan berubah warna. Penuh kepura-puraan.

Lain di mulut lain di hati, alias hipokrit, haus perhatian, haus eksistensi, haus pujian, dan ular berkepala seribu. Dalam bahasa agama si pengangkat telur, diberi gelar munafikun. Orang munafik.

Bahaya Angkat Telur
Perilaku angkat telur alias munafik, tidak boleh dianggap remeh, ia sangat berbahaya. Terjadinya, kekacauan dan kehancuran dalam birokrasi, organisasi, perusahaan bahkan dalan kehidupan berbangsa dan negara, banyak disebabkan oleh si pengangkat telur.

Ia musuh dalam selimut. Mengaku teman, mengaku bersaudara, mengaku toleran, cinta sesama, mengaku senasip  sepenanggungan. Padahal sesungguhnya, tidak. Ia bertopeng karena ada maksud-maksud tertentu.

Sosok pengangkat telur, umumnya, cerdas dan pintar. Lihai berdebat, punya retorika yang bagus dan memiliki analisa yang tajam.

Tetapi kemampuannya ini, bukan digunakannya untuk tujuan positif. Melainkan, untuk menghancurkan tatanan yang ada. Semuanya, untuk kepentingan pribadi dan para pemimpin sesat yang telah dikultuskannya.

Ucapannya terdengar hebat, dan logis. Diksi yang diucapkannya terdengar menarik dan aduhai. Membuat semua orang yang mendengarkan terkesimah dan terhifnotis.

Tetapi, sesungguhnya akalnya busuk, licik, dan untuk tujuan-tujuan material dan prakmatis semata. Pengangkat telur inilah musuh yang sebenarnya:

Allah berfirman : “Dan apabila kamu melihat tubuh-tubuh mereka, kamu menjadikan kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya). Waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?” (QS. Al-Munafiqun : 4)

Kerusakan yang ditimbulkan oleh si pengangkat telur punya tahapan. Pertama, perilaku mengangkat telur merusak diri sendiri.

Allah tidak pernah menzalimi manusia, tapi manusia yang merusak dirinya sendiri. Semua kezaliman akan ditanggung pelakunya.

Kedua, si pengangkat telur merusak orang lain, minimal keluarganya. Ketiga, merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam tataran inilah, si pengangkat telur sangat berbahaya.

Pengangkat telur, penjilat, pencari muka,  hipokrit, munafik atau apapun istilahnya merupakan penyakit hati. Penyakit ini, sangat dibenci oleh Rasulullah:
“Seburuk-buruknya manusia adalah manusia munafik, sosok pengangkat telur atau penjilat”.

Orang pengangkat telur takkan memeroleh pertolongan Allah SWT. Bahkan, tempat tinggal orang pengangkat telur di kerak neraka:
“Sesungguhnya orang-orang pengangkat telur (munafik) itu akan dicampakkan ke dalam kerak neraka. Dan kamu tidak akan melihat mereka memperoleh penolong.” (QS. An Nisaa: 145).

Pemulihan

Kendati tujuan dan motivasi menggangkat telur berbeda. Namun, sejak  zaman nabi, era feodalis, dan zaman modernis, perilaku mengangkat telur, tidak pernah hilang. Orang-orang pengangkat telur selalu muncul.

Biasanya, sosok pengangkat telur tidak mempan disadarkan dengan cara dinasihati, apa lagi dengan sindiran halus. Hatinya telah bebal dan busuk.

Kendati begitu, al-Quran, al-Hadist, dan para ulama  menyarankan agar yang suka mengangkat telur dan munafik, hendaknya: Satu, selalu mendirikan shalat berjama’ah di masjid dengan tepat waktu.
“Siapa yang menunaikan shalat berjama’ah selama 40 hari dengan memperoleh takbiratul ihram imam, maka ia akan ditetapkan terbebas dari dua hal, yakni terbebas dari neraka dan terbebas dari kemunafikan.”(HR At-Tirmidzi).

Dua, memerbanyak sedekah.“Sedekah merupakan bukti” (HR Muslim). Bukti di sini maksudnya adalah bukti akan keimanan.

Tiga, memperbanyak zikir. Si pengangkat telur hatinya lalai dari mengingat Allah. Oleh sebab itu, supaya terhindar dari perilaku mengangkat telur, hendaknya memperbanyak zikir, mengingat Allah SWT. Baik di tengah keramaian maupun di kala sendirian.

Empat, membiasakan akhlak terpuji. “Ada dua sifat yang tidak akan pernah tergabung dalam hati si pengangkat telur: perilaku luhur dan pemahaman dalam agama”(HR At-Tirmidzi).

Akhirnya, semua terpulang  pada diri si pengangkat telur. Apakah dia mau berubah atau tidak. Yang pasti, perilaku mengangkat telur tidak akan pernah mendatangkan kebahagiaan, ketentraman, dan kesuksesan .

Sebab, si pengangkat telur sandarannya pada keuntungan yang direkayasa, materialis, dan prakmatis. Tidak berdasarkan keikhlasan dan jauh dari spirit ajaran agama, nilai kemanusian, dan nilai kebangsaan.

Marilah selalu kita tumbuh kembang nilai-nilai religius, kemanusian, kebangsaan, dan sprit kebersamaan. Tapi, tidak dengan perilaku mengangkat telur atau menjilat![]

Ali Djauhari Laki-Laki Penembus Batas


Ali Djauhari
Laki-Laki Penembus Batas*
Oleh : Sadri Ondang Jaya**

Saya tahu nama Bang Ali Djauhari di tahun 1990-an. Adiknya, Salman Alfarisi yang memberitahukannya. Kebetulan Salman Alfarisi itu, teman saya yang sama-sama berasal dari Singkil. Plus tetangga saya pula di Banda Aceh. Tepatnya, kami tinggal di Kelurahan Bandar Baru-Lamprit.

Sebagaimana lazimnya teman dan tetangga, Salman Alfarisi yang ketika itu kuliah bersama saya di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) tapi beda fakultas, tergolong sosok yang acap beranjangsana ke kediaman saya.

Dalam aktivitas anjangsananya itulah, Salman Alfarisi membeber dan memerkenalkan keluarganya. Termasuk Abangnya Ali Djauhari. Ia juga kerap menyebut-nyebut  kiprah abangnya itu di dunia bisnis.

“Saya dengan Abang Ali Djauhari, hanya dua bersaudara. Yang sulung dia. Sedangkan yang bungsu saya. Abang saya Ali Djauhari sangat suka bergelut dengan dunia bisnis,” tutur Salman Alfarisi.

Mendengar tuturan Salman Alfarisi putera dari H. Aliswan dan Hj. Salmah dan dari berbagai referensi yang ada, saya mulai mengenal sekaligus penasaran dan kagum dengan sosok Ali Djauhari.

Ditambah lagi teman-teman lain banyak mengatakan, bahwa Ali Djauhari pernah menjadi promotor dan sponsor pertandingan tinju yang digelar di Lhokseumawe, Aceh Utara. Termasuk juga sponsor berbagai pertandingan olahraga lainnya dan even seni-budaya di berbagai tempat di Indonesia.

“Ali Djauhari, termasuk salah seorang promotor dan impresario Indonesia yang berkiprah dalam berbagai pementasan dan pertujukan seniman dan olahragawan kenamaan Indonesia,” begitu informasi dari teman-teman saya.

Sejak itu, gerak-gerik dan sepak terjang Bang Ali Djauhari saya intip dan endus. Buah pikiran, ide-ide, dan statemennya selalu saya amati dan ikuti dari “kejauhan”.

Malah, pernyataan-pernyataan Bang Ali Djauhari yang cemerlang nan bernas acap saya kutip. Saya jadikan bahan tulisan. Kemudian, saya publis ke Harian Serambi Indonesia, salah satu harian terbitan di Aceh.

Suatu ketika, untuk keperluan bahan menulis buku, saya memberanikan diri mewawancari Bang Ali Djauhari melalui telepon genggam (hand phone). Ia pun menjawab wawancara itu dengan baik.

Mulai dari situ, persaudaraan kami tambah erat dan hangat. Selanjutnya, saya dengan Bang Ali Djauhari terus berkomunikasi dan berinteraksi secara intens melalui hand phone dan media sosial.

Dalam sebuah kesempatan, barulah saya dengan pria beranak tiga itu  bersua dan bertatap muka. Kami ngobrol banyak. Bercakap-cakap dari “Sabang sampai Meuroke sambung menyambung menjadi satu”.

Singkatnya, pembicaraan saya dengan Bang Ali Djauhari, tidak hanya mengenai satu masalah. Tetapi, melebar pada persoalan-persoalan lain. Termasuk masalah kampung halaman. Menyangkut dengan seni, budaya, dan peradaban, masalah ini menjadi bahan yang serius kami perbincangkan.

Ngobrol dengan Bang Ali Djauhari sangat berkesan. Ia rendah hati, ramah, baik, dan berwawasan. Bagi saya omongannya, seperti bumbu penyedap yang menggugah, menyengat, menawarkan inspirasi, mencerahkan serta membawa kesan yang mendalam. Pokoknya, sangat interes.

Terakhir saya jumpa Bang Ali Djauhari bersama isteri dan anak-anaknya pada lebaran Idul Fitri 1438 H (tahun 2017 M) di sebuah penginapan milik Dr. Fadjri Alihar, Sapo Belen, Pulo Sarok, Aceh Singkil.

***
Bang Ali Djauhari dalam sebuah pembicaraan dengan saya mengatakan, Singkil termasuk daerah yang pertama kali dibangun sekolah dasar di Aceh. Keterangan ini didapatkan dari neneknya Isyrin Nasifah.

“Kita orang Singkil jangan lupa. Sekolah dasar pertama kali dibangun di Aceh, ya di Singkil. Murid perempuan pertama sekolah tersebut, termasuk nenek saya, Isyrin Nasifah,” ungkap Ali Djauhari.
Dengan dibangunnya sekolah pertama di Singkil, ini salah satu bukti bahwa Singkil termasuk daerah di Indonesia yang  telah memiliki peradaban tinggi.

Berbicara tentang peradaban, tanpaknya Bang Ali Djauhari, sangat fasih dan khatam. Ia mengatakan, peradaban tak mungkin bisa dibangun dengan orientasi bersifat materialis semata. Artinya, terlalu mementingkan pengumpulan harta dan  kekuasaan.

Jika itu yang terjadi, maka peradaban tadi akan mengalami kemerosotan bahkan lambat laun akan hancur. “Peradaban manusia yang unggul harus dilandasi oleh rasa cinta, kasih sayang, berbagi, keikhlasan, dan kejujuran,” tandas Bang Ali Djauhari.

Berkaitan dengan perkembangan kampungnya, Singkil. pria kelahiran 20 Agustus 1963 itu pernah memerotes kecendrungan pola pikir dan sikap warga Singkil dalam memilih pekerjaan.

“Sebagian besar warga Singkil  dalam memilih pekerjaan lebih mau  menjadi pegawai negeri atau bergelut dengan dunia politik. Enggan menggeluti sektor bisnis, perdagangan, wirausaha atau saudagar. Jika pun ada yang berwiraswasta, hanya menjadi kontraktor,” tutur Ali Djauhari bisnisman nasional itu.

Padahal, kata Ali Djauhari, orang Singkil dari dulu lebih suka menekuni pekerjaan wirausaha, dagang, dan saudagar. Sehingga sejarah membuktikan, aktivitas dagang mereka sampai ke manca negara.

Singkil itu, dari dulu lebih dikenal dengan kota dagang. Ada tiga unit pelabuhan terbesar di Singkil merupakan tempat sandar dan transaksi dagang.

Orang Singkil punya perahu atau boat besar yang digunakan untuk berdagang ke berabagai daerah. Termasuk ke manca negara, seperti Malaysia, Singapura, dan negara-negara Asia lainnya.

“Apabila di sebuah daerah terdapat 2,5 persen dari warga daerah  itu memiliki semangat wirausaha, maka daerah tersebut akan cepat maju dan berkembang. Aceh Singkil menjadi daerah tertinggal dan termiskin, karena warganya lebih disibukkan oleh kegiatan politik semata. Sementara aktivitas wirausaha diabaikan,” begitu tutur Ali Djauhari pada saya.

***

Dari beberapa kali diskusi baik secara tatap muka maupun melalui hand phone dan media sosial, ada satu karakter yang menurut saya, sangat menonjol pada diri Bang Ali Djauhari.

Ia memiliki intuisi, pengetahuan, kecerdasan, dan wawasan luas yang menembus batas, berorientasi ke masa depan. Dengan kata lain, ia memiliki visi untuk menapaki kehidupan yang lebih baik.

Karena itu, saya melihat Bang Ali Djauhari, sosok yang selalu mampu mengumpulkan mozaik yang terpecah-pecah menjadi sebuah gambar yang utuh yang membentuk sesuatu di masa depan.

Yang lebih penting lagi, Bang Ali Djauhari memercayai gambar yang dilihatnya sebagai suatu kebenaran dan ia bergerak cepat meresponnya.

Ia bisa dan begitu cepat melakukan perubahan dalam hidup. Karena ia memiliki ‘indera ke enam’ dalam melihat perubahan itu. Lalu, ia bergerak dan menyelesaikan perubahan itu sampai tuntas.

Itulah yang membuat Bang Ali Djauhari sosok yang tak pernah berhenti,  tak pernah surut langka dalam menularkan ide-ide cemerlang dan bernas. Kemudian ide-ide tersebut diwujudkannya dalam alam nyata dengan hasil yang gemilang.

Di antaranya banyak karakter Bang Ali Djauhari, saya melihat sifat forward-looking inilah yang harus kita tiru. Setidaknya, ia telah mengajari kita untuk menjadi diri sendiri agar tidak pantang menyerah dalam menghadapi kegagalan-kegagalan hidup.

Bang Ali Djauhari pernah mengatakan pada saya,  kendati kita lahir di kampung, wawasan kita harus luas dan visi kita merambah jauh ke depan.

Anda bisa mengubah sesuatu menjadi baik ketika Anda telah berhasil mengubah diri sendiri menjadi baik. You can change all thing for the better when you change your self for the better.

“Ini semua bisa kita lakukan dengan banyak belajar pada sejarah dan peradaban bangsa-bangsa yang telah duluan maju,” ujar Bang Ali Djauhari.

Pernyataan itu, telah dibuktikan Ali Djauhari. Tatkala beliau menjadi mahasiswa Faultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Ia tak pernah tenang dan selalu “gelisah” serta bergerak membuat perubahan.

Lalu kegelisahan dan perubahan itu diwujudkannya dengan keluar dari gelanggang kampus dan memilih mendirikan dan membuka usaha Lembaga Bisnis Manajemen Komputer (LBMK) di Medan.

Tidak lama berkutat di LBMK, ia mengembangkan usaha bisnis lainnya hingga merambah ke manca negara dan bercokol nyaris ke segala sektor. Termasuk suplier berbagai  perlengkapan senjata, trading bahan kimia dan minyak.

Malah, saat digelar pemilu masa Presiden Republik Indonesia ketiga Prof. Dr. Ing H. Bacharuddin Jusuf Habibie, tahun 1999, Ali Djauhari dipercayakan sebagai pemasok tinta pemilu. Sehingga pemilu masa itu, tergolong pemilu yang sukses di Indonesia.

Perusahaan Bang Ali Djauhari tidak saja bermitra dengan berbagai perusahaan lokal dan nasional. Melainkan juga bermitra dengan berbagai perusahaan minyak dunia. Seperti, perusahaan minyak Bayegan Turki, Panama Oil India.

Dalam kerja sama dengan Panama Oil dan Bayagen, Bang Ali Djauhari, kata Salman Alfarisi kepada saya, langsung sebagai representatif marketing di Indonesia.

“Bang Ali Djauhari yang mewakili kedua perusahaan itu di Indonesia. sebagai representatif marketing,” terang Salman.

Di samping itu, Bang Ali Djauhari juga mengelola atau sebagai CEO di PT Equator Media Vaganza, sebuah usaha yang bergerak di bidang penerbitan atau media online.

Bukan itu, Bang Ali Djauhari juga berkecimpung dalam dunia sosial dan kemasyarakatan. Lebih inten pada pergerakkan budaya dan seni.

Bang Ali Djauhari, figur yang getol mengorganisasi dan membiayai sebuah pagelaran konser, permainan drama; Dapat dianalogikan pekerjaan ini serupa dengan manajer artis atau produser film atau produser televisi. Pekerjaan seperti ini dikenal dengan istilah impresario.

Bahkan Bang Ali Djauhari, tergolong impresario Indonesia yang kawakan dan bertangan dingin. Ia acap berkiprah dalam berbagai pementasan penting seniman kenamaan Indonesia, seperti WS Rendra, Sawung Djabo, dan yang lainnya.

Pernah pula mensponsori kegiatan Tour Sumatera Iwan Fals-Kantata Takwa. Membawa dan menampilkan tari-tarian Singkil di Taman Ismail Marzuki (TIM) yang dibawa anak-anak dari Sanggar Gelanggang Bhakti-Singkil.

Tidak itu saja, tahun 1989 pernah pula jadi sponsor pertunjukan Teater Koma di Medan dengan judul Sampek Engtay yang disutradarai N Riantiarno. Petunjukkan ini mendapat respon dan hangat dibicarakan di kalangan seniman.

Karena itu, tidaklah berlebihan, jika Bang Ali Djauhari kita sebut salah satu pengusaha papan atas Indonesia. Atau sebagai the rising star-nya Indonesia yang selalu melalang buana dan berpetualang ke berbagai daerah dan negara.

Hari ini, ia berada di Dubai, besok sudah terbang ke India. Lalu lusanya di London. Kembali ke Jakarta kemudian berangkat ke negara bagian Amerika Serikat, lalu ke Malaysia dan negara-negara lain di dunia. Semua itu dilakukan untuk urusan bisnis dan “membaca peradaban”.

Kemudian peradaban yang disaksikannya itu, setiap saat selalu dipostingnya di status facebook dan menjadi bahan diskusi berbagai teman. Lalu menjadi simpul-simpul pemikiran yang kemudian diejawantahkan dalam alam nyata.

Berkat kerja keras dan ketekunannya, sosok Ali Djauhari berhasil menciptakan sekian usaha yang bermanfaat bagi dirinya, keluarganya, dan banyak orang.

Nyatalah bahwa Bang Ali Djauhari, sosok yang sering menggulirkan ide-ide cemerlang yang menembus batas ‘yang apabila tersentuh tangannya berubah menjadi emas’.

Ia figur yang tak mengenal kata akhir dalam berjuang. Mesin pembakar perjuangan Bang Ali Djauhari, hanya kepercayaan, ikhlas, jujur, visi, dan kerja keras serta tuntas.

Bang Ali Djauhari pernah memberikan nasihat pada saya dengan mengutip surat ke-94 Al-Insyirah ayat 5-8 : “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain). Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.”[]

Gosong Telaga, 9 Maret 2018

*Tulisan ini dibuat untuk memenuhi keinginan panitia sebagai     bahan penerbitan buku memoar Ali Djauhari
** Sadri Ondang Jaya seorang guru yang saat ini berdomisili di Gosong Telaga, Aceh Singkil.