Ada Apa Dengan Budaya Literasi Kita?
Oleh : Sadri Ondang Jaya, S.Pd**
“Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu
yang
menciptakan,
Dia
telah menciptakan manusia
dari
segumpal darah
Bacalah,
dan Tuhanmulah
yang
maha pemurah,
Yang
mengajar (manusia)
dengan
perantara kalam
Dia
mengajar manusia apa yang
tidak
diketahuinya.
Ketahuilah!
Sesungguhnya
manusia
benar-benar
melampui batas.
Karena
melihat dirinya
serba
cukup.” (QS. Al-Alaq)
***
“Telah
kubaca biografi dan kujumpai ratusan
orang-orang
hebat, politisi, negarawan,
ekonom,
teknograt, dan orang-orang berilmu,
tak
satu pun dari mereka yang
tak
cinta buku.”
***
“Lima
tahun lagi Anda
akan
sama seperti sekarang
kecuali
ada dua hal :
Dengan
siapa Anda bergaul
Dan
buku apa yang Anda baca.”
***
Kutipan di atas,
adalah kalam Ilahi Rabbi dan kalimat ‘bijak’. Tujuan kalimat ini dikutip, untuk menggugah sekaligus memicuh
semangat kita agar mau mencintai dan
mengaplikasi budaya literasi dalam kehidupan. Baik dalam kehidupan rumah
tangga, lingkungan masjid, masyarakat, maupun di lingkungan kampus. Lebih utama
lagi, di lingkungan sekolah.
Mengapa budaya literasi ini perlu dicintai dan diaplikasi dalam
kehidupan? Apa manfaatnya bagi kehidupan berbangsa? Dan apa pula yang dimaksud
dengan budaya literasi? Untuk menjawab pertanyaan mendasar itu, perlu
ditelusuri tulisan ini lebih lanjut.
***
Budaya literasi di Indonesia, sebenarnya bukanlah hal yang baru.
Dulu budaya literasi ini, telah hidup subur dan berkembang serta dipraktikkan
oleh tokoh-tokoh besar dan hebat Indonesia. Sebut saja di antaranya, Syekh
Abdurrauf Al-Singkili, Syekh Hamzah Fansuri, Bung Karno, Bung Hatta, Moh Yamin,
Buya Hamka, M. Natsir, Kihajar
Dewantara, KH Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari, dan H Agussalim. Mereka ini, adalah
sosok ilmuan dan pejuang yang sangat gigih dan selalu menjunjung tinggi budaya
literasi di zamannya.
Dengan budaya literasi yang mereka terapkan dalam kehidupan, telah
berhasil memutus mata rantai kebodohan, keterbelakangan, dan mata rantai
kemiskinan. Bahkan, mata rantai penjajahan di Indonesia.
Dengan kecintaan tokoh-tokoh nasional ini terhadap buku dan kemudian
membacanya, lalu mereka goreskan dalam bentuk tulisan dan orasi, membuat sikap
patriotisme dan nasionalisme terhujam, tumbuh, dan berkembang serta bergelora
dalam jiwa raga bangsa Indonesia. Sikap inilah yang menjadi modal utama bangsa
Indonesia melawan penjajah. Sehingga ketika itu, penjajah Belanda menjadi takut dan kucar-kacir.
Akibat Lunturnya Budaya
Literasi
Namun, seiring dengan perkembangan zaman, budaya literasi di
Indonesia mengalami kelunturan dan stagnasi. Dengan kata lain, budaya ini tidak terwariskan dengan sempurna pada
generasi berikutnya.
Secara faktual anak-anak Indonesia sekarang, lebih senang bermain games, playstation, menikmati beragam gadget dan menonton televisi dari pada
membaca, menulis, berorasi (pidato), atau menekuni literasi dalam pengertian
luas.
Padahal dalam permainan tekonologi tadi, anak-anak hanya diam pasif,
menerima segala yang disuguhkan. Mereka tidak kreatif dan inovatif. Sedangkan
ketika membaca, menulis, dan berorasi, pikiran anak-anak menjadi aktif, daya
nalar menjadi tinggi, dan imajinasi mereka akan berkembang.
Karena itu tak mengheran, jika dalam beberapa survei tentang
literasi yang dilakukan lembaga internasional, posisi Indonesia selalu
menempati nomor buncit. Seperti data yang dilansir Organisasi Pengembangan
Kerja sama Ekonomi– Organization for Economic Cooperation and Development
(OECD), budaya baca masyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52
negara di kawasan Asia Timur (tahun 2009).
Tahun 2011 berdasarkan survei United Nations Educational,
Scientific and Cultural Organization (UNESCO) rendahnya minat baca ini,
dibuktikan dengan indeks membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 (dari seribu
penduduk, hanya ada satu orang yang memiliki minat baca tinggi. Data United
Nations Development Programme (UNDP) angka melek huruf orang dewasa
Indonesia hanya 65,5% (2012).
Lebih
menyedihkan lagi, berdasarkan data Center for Social Marketing (CMS).
Perbandingan jumlah buku yang dibaca siswa SMA di 13 negara, termasuk Indonesia
adalah: di Amerika Serikat, jumlah buku yang wajib dibaca sebanyak 32 judul buku, di Belanda 30 buku, Prancis 30
buku. Sedangkan Jepang 22 buku, Swiss 15 buku, Kanada 13 buku, Rusia 12 buku,
Brunei Darussalam 7 buku, Singapura 6 buku,
Thailan 5 buku. Sementara
Indonesia 0 buku.
Selain itu, berdasarkan hasil progress
in International Reading Literacy Study
(PIRLS) dan Programme for International Student Assesment (PISA), bahwa kemampuan literasi anak-anak Indonesia
masih berada di nomor terakhir. Yaitu, menempati urutan ke 64 dari 65 anggota
PISA dengan skor 396 dari standar 496.
Mencermati hasil survei dan ekspose lembaga-lembaga literasi di
atas, membuat kita bergidik, takut dan
prihatin. Karena hal ini, bertolak belakang dengan amanat dan tujuan
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20/2003 pasal 4 ayat 5 yang
menekankan budaya membaca, menulis, dan berhitung.
Kemudian, rendahnya literacy
awareness bangsa Indonesia ini,
berbanding lurus dengan kualitas sumber daya manusia yang kita miliki,
melemahnya daya saing dalam percaturan pergaulan global dan merendahkan
peradaban bangsa. Artinya, kalau tingkat literasi bangsa rendah, maka kualitas
bangsa itu tergolong rendah pula. Muaranya, dalam jangka panjang peradaban
bangsa kita menjadi lemah bahkan absur.
Menyadari hal
itu, sudah saatnya kita keluar dari kondisi tersebut. Perlu tindakkan nyata
bukan sekadar wacana semata. Diperlukan intervensi secara sistemik, masif, dan
berkelanjutan. Lalu, berbuat dan
mendorong terciptanya budaya literasi di
sekeliling kita.
Salah satu
lingkungan yang paling urgen diterapkannya gerakan literasi ini, yaitu di
sekolah. Karena sekolah adalah lembaga keilmuan yang warganya selalu bergelut
dalam dunia bacaan dan tulisan.
Program Pemerintah
Untuk menjawab itu semua, pada tanggal 18 Agustus 2015 lalu,
pemerintah Indonesia melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud)
telah meluncurkan sebuah gerakan yang
dinamakan, “Gerakan Literasi Sekolah (GLS)” ‘Bahasa Penumbuh Budi Pekerti’.
Gerakan Literasi Sekolah,
merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bersifat partisipatif
untuk menumbuh-kembangkan dan mendorong agar peserta didik mau membaca,
menulis, dan keterampilan berpikir lainnya. Dalam gerakan ini melibatkan
berbagai elemen secara lintas sektoral, yaitu berupa warga sekolah. Seperti,
peserta didik, guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, pengawas sekolah,
komite sekolah, dan orangtua/wali peserta didik.
Bahkan, termasuk di dalamnya, para akademisi, penerbit, media massa,
tokoh masyarakat, dunia usaha, dan pemangku kepentingan. GLS ini berada di
bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan.
Tujuan yang paling utama, diluncurkannya GLS, adalah dapat
menginternalisasikan nilai-nilai peradaban, nilai-nilai budaya, dan budi pekerti luhur melalui literasi sesuai dengan amanat
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 21 Tahun 2015
tentang Penumbuhan Budi Pekerti.
‘Penumbuh’ yang dimaksudkan di sini. Yaitu, hanya menumbuhkan, bukan
menanamkan budi pekerti. Menumbuhkan budi pekerti, maknanya jauh berbeda dengan
menanamkan budi pekerti. Kalau menanamkan berarti kita memasukkan dari luar
diri si anak. Padahal dalam diri anak secara alamiah dan naluriah, ia telah
memiliki modal dasar budi pekerti.
Sisi lain, dengan Gerakan
Literasi Sekolah (GLS), seluruh warga sekolah akan selalu membiasakan dan memotivasi
dirinya untuk mau membaca dan menulis yang selalu dilandasi dengan keterampilan
atau kiat untuk mengubah, meringkas, memodifikasi, menceritakan kembali, dan
seterusnya.
Sebab, peserta didik masa mendatang, di samping dituntut memiliki
akhlak atau budi pekerti yang baik, pengetahuan dan penguasaan teknologi yang
tinggi, andal dan mumpuni. Mereka harus menguasai literasi numerasi, sains,
teknologi informasi, finansial, budaya, dan kewarganegaraan.
Apalagi gerakan literasi ini merupakan hal yang sangat dianjurkan oleh
Islam, yaitu dengan turunnya surat Al-Alaq. Ayat pertamanya, berbunyi : Iqra’,
bacalah. Membaca di sini bukanlah dalam pengertian sempit. Melainkan, memiliki
makna yang luas. Dalam konteks ini sama dengan literasi. Termasuk di dalamnya,
kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan informasi dengan cerdas.
Jika peserta
didik, saban hari melakukan Iqra’ dalam artinya yang luas. Diyakini mereka akan
menjadi orang-orang yang memiliki akhlak atau budi pekerti yang baik, menguasai
pengetahuan dan teknologi yang tinggi, andal dan mumpuni. Ini semua nanti, akan
menjadi modal dalam kehidupan mereka. Baik kehidupan di dunia maupun kehidupan
di akhirat kelak.
Menerapkan Kembali Budaya Literasi
Lalu, bagaimana
cara menyadarkan warga sekolah akan pentingnya budaya literasi. Paling tidak,
budaya membaca dan menulis. Untuk itu, dalam GLS ini sangat dibutuhkan sosok inisiator,
eksekutor, dan controller.
Inisiator tersebut tidak harus seorang pemimpin. Bisa saja dari kalangan
seorang guru biasa. Tetapi, guru tersebut harus memiliki kepedulian, dedikasi,
dan integritas yang tinggi terhadap budaya literasi.
Jika
penggagasnya, seorang pemimpin. Misalnya, Gubernur, Bupati atau Kepala Dinas,
akan mempunyai nilai lebih. Karena sosok pemimpin itu, mempunyai kekuatan mengeksekusi–dalam
melaksanakan program ini.
Penggagas
literasi ini harus mampu menyuntikkan ke dalam sistem agar budaya literasi
tidak berjalan sendiri. Setelah dieksekusi, kemudian dilakukan kontroling
agar tujuan program tercapai.
Bentuk ril
program ini. Pertama, sekolah mengadakan sosialisasi kepada seluruh
warga sekolah. Termasuk dengan cara pemasangan spanduk di setiap sudut sekolah
dan banner sehingga menambah marak
gerakan ‘Ayo Membaca’ ini. Kemudian mengadakan seminar dan workshop.
Kedua, guru bersama peserta didik diberikan buku terutama buku yang dapat
menumbuhkan budi pekerti. Berupa cerita
atau dongeng lokal, buku-buku yang menginspirasi seperti biografi tokoh lokal
dan biografi anak bangsa yang berprestasi, buku sejarah yang membentuk semangat
kebangsaan atau cinta tanah air, dan buku-buku lainnya.
Ketiga, peserta didik meluangkan waktu khusus untuk membaca buku tiap
hari, sebelum memulai pelajaran selama 15 menit. Durasi 15 menit ini hanya
pancingan untuk menumbuhkan kecintaan terhadap buku dengan kata lain sustained Silent Reading.
Apabila, peserta didik tidak membawa buku, ia diperkenankan menulis
apa saja yang diinginkannya. Bisa puisi, Cerpen, artikel, resensi,
cuplikan atau apa saja. Keempat, jika ada peserta didik telah
menamatkan satu atau beberapa buah buku dan menang dalam aneka lomba literasi bisa
diberikan hadiah semacam literacy award.
Lima, mengadakan beda buku, jumpa penulis buku, pameran atau bajar buku,
latihan menulis dan membuat penerbitan berkala.
Apabila ini bisa terwujud, tingkat literasi peserta didik akan
meningkat. Indek kualitas bangsa kita akan naik dan budi pekerti generasi pun
menjadi luhur dan mulia. Akhirnya, bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang
berperadaban tinggi. Semoga![]