Sabtu, 17 Maret 2018

Budaya Literasi




Ada Apa Dengan Budaya Literasi Kita?
Oleh : Sadri Ondang Jaya, S.Pd**

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
yang menciptakan,
Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah
Bacalah, dan Tuhanmulah
yang maha pemurah,
Yang mengajar (manusia)
dengan perantara kalam
Dia mengajar manusia apa yang
tidak diketahuinya.
Ketahuilah!
Sesungguhnya manusia
benar-benar melampui batas.
Karena melihat dirinya
serba cukup.” (QS. Al-Alaq)

***

“Telah kubaca biografi  dan kujumpai ratusan
orang-orang hebat, politisi, negarawan,
ekonom, teknograt, dan orang-orang berilmu,
tak satu pun dari mereka yang
tak cinta buku.”

***

“Lima tahun lagi Anda
akan sama seperti sekarang
kecuali ada dua hal :
Dengan siapa Anda bergaul
Dan buku apa yang Anda baca.”

***

Kutipan di atas, adalah kalam Ilahi Rabbi dan kalimat ‘bijak’. Tujuan kalimat ini dikutip,  untuk menggugah sekaligus memicuh semangat  kita agar mau mencintai dan mengaplikasi budaya literasi dalam kehidupan. Baik dalam kehidupan rumah tangga, lingkungan masjid, masyarakat, maupun di lingkungan kampus. Lebih utama lagi, di lingkungan sekolah.

Mengapa budaya literasi ini perlu dicintai dan diaplikasi dalam kehidupan? Apa manfaatnya bagi kehidupan berbangsa? Dan apa pula yang dimaksud dengan budaya literasi? Untuk menjawab pertanyaan mendasar itu, perlu ditelusuri tulisan ini lebih lanjut.

                                                                        ***
Budaya literasi di Indonesia, sebenarnya bukanlah hal yang baru. Dulu budaya literasi ini, telah hidup subur dan berkembang serta dipraktikkan oleh tokoh-tokoh besar dan hebat Indonesia. Sebut saja di antaranya, Syekh Abdurrauf Al-Singkili, Syekh Hamzah Fansuri, Bung Karno, Bung Hatta, Moh Yamin, Buya Hamka, M. Natsir,  Kihajar Dewantara, KH Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari, dan H Agussalim. Mereka ini, adalah sosok ilmuan dan pejuang yang sangat gigih dan selalu menjunjung tinggi budaya literasi di zamannya.

Dengan budaya literasi yang mereka terapkan dalam kehidupan, telah berhasil memutus mata rantai kebodohan, keterbelakangan, dan mata rantai kemiskinan. Bahkan, mata rantai penjajahan di Indonesia.

Dengan kecintaan tokoh-tokoh nasional ini terhadap buku dan kemudian membacanya, lalu mereka goreskan dalam bentuk tulisan dan orasi, membuat sikap patriotisme dan nasionalisme terhujam, tumbuh, dan berkembang serta bergelora dalam jiwa raga bangsa Indonesia. Sikap inilah yang menjadi modal utama bangsa Indonesia melawan penjajah. Sehingga ketika itu, penjajah Belanda  menjadi takut dan kucar-kacir.

Akibat Lunturnya Budaya Literasi
Namun, seiring dengan perkembangan zaman, budaya literasi di Indonesia mengalami kelunturan dan stagnasi. Dengan kata lain, budaya ini  tidak terwariskan dengan sempurna pada generasi berikutnya.

Secara faktual anak-anak Indonesia sekarang, lebih senang bermain games, playstation, menikmati beragam gadget dan menonton televisi dari pada membaca, menulis, berorasi (pidato), atau menekuni literasi dalam pengertian luas.

Padahal dalam permainan tekonologi tadi, anak-anak hanya diam pasif, menerima segala yang disuguhkan. Mereka tidak kreatif dan inovatif. Sedangkan ketika membaca, menulis, dan berorasi, pikiran anak-anak menjadi aktif, daya nalar menjadi tinggi, dan imajinasi mereka akan berkembang.

Karena itu tak mengheran, jika dalam beberapa survei tentang literasi yang dilakukan lembaga internasional, posisi Indonesia selalu menempati nomor buncit. Seperti data yang dilansir Organisasi Pengembangan Kerja sama Ekonomi– Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), budaya baca masyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur (tahun 2009).

Tahun 2011 berdasarkan survei United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) rendahnya minat baca ini, dibuktikan dengan indeks membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 (dari seribu penduduk, hanya ada satu orang yang memiliki minat baca tinggi. Data United Nations Development Programme (UNDP) angka melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5% (2012).

Lebih menyedihkan lagi, berdasarkan data Center for Social Marketing (CMS). Perbandingan jumlah buku yang dibaca siswa SMA di 13 negara, termasuk Indonesia adalah: di Amerika Serikat, jumlah buku yang wajib dibaca sebanyak  32 judul buku, di Belanda 30 buku, Prancis 30 buku. Sedangkan Jepang 22 buku, Swiss 15 buku, Kanada 13 buku, Rusia 12 buku, Brunei Darussalam 7 buku, Singapura 6 buku,  Thailan 5 buku. Sementara  Indonesia 0 buku. 

Selain itu, berdasarkan hasil progress in International Reading Literacy Study        (PIRLS) dan Programme for International Student Assesment (PISA), bahwa kemampuan literasi anak-anak Indonesia masih berada di nomor terakhir. Yaitu, menempati urutan ke 64 dari 65 anggota PISA dengan skor 396 dari standar 496.

Mencermati hasil survei dan ekspose lembaga-lembaga literasi di atas, membuat kita bergidik, takut dan  prihatin. Karena hal ini, bertolak belakang dengan amanat dan tujuan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20/2003 pasal 4 ayat 5 yang menekankan budaya membaca, menulis, dan berhitung.

Kemudian, rendahnya literacy awareness  bangsa Indonesia ini, berbanding lurus dengan kualitas sumber daya manusia yang kita miliki, melemahnya daya saing dalam percaturan pergaulan global dan merendahkan peradaban bangsa. Artinya, kalau tingkat literasi bangsa rendah, maka kualitas bangsa itu tergolong rendah pula. Muaranya, dalam jangka panjang peradaban bangsa kita menjadi lemah bahkan absur.

Menyadari hal itu, sudah saatnya kita keluar dari kondisi tersebut. Perlu tindakkan nyata bukan sekadar wacana semata. Diperlukan intervensi secara sistemik, masif, dan berkelanjutan. Lalu,  berbuat dan mendorong  terciptanya budaya literasi di sekeliling kita.

Salah satu lingkungan yang paling urgen diterapkannya gerakan literasi ini, yaitu di sekolah. Karena sekolah adalah lembaga keilmuan yang warganya selalu bergelut dalam  dunia bacaan dan tulisan.

Program Pemerintah
Untuk menjawab itu semua,  pada tanggal 18 Agustus 2015 lalu, pemerintah Indonesia melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) telah  meluncurkan sebuah gerakan yang dinamakan, “Gerakan Literasi Sekolah (GLS)” ‘Bahasa Penumbuh Budi Pekerti’.

 Gerakan Literasi Sekolah, merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bersifat   partisipatif  untuk menumbuh-kembangkan dan mendorong agar peserta didik mau membaca, menulis, dan keterampilan berpikir lainnya. Dalam gerakan ini melibatkan berbagai elemen secara lintas sektoral, yaitu berupa warga sekolah. Seperti, peserta didik, guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, pengawas sekolah, komite sekolah, dan orangtua/wali peserta didik.

Bahkan, termasuk di dalamnya, para akademisi, penerbit, media massa, tokoh masyarakat, dunia usaha, dan pemangku kepentingan. GLS ini berada di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Tujuan yang paling utama, diluncurkannya GLS, adalah dapat menginternalisasikan nilai-nilai peradaban, nilai-nilai budaya, dan  budi pekerti luhur  melalui literasi sesuai dengan amanat Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.

‘Penumbuh’ yang dimaksudkan di sini. Yaitu, hanya menumbuhkan, bukan menanamkan budi pekerti. Menumbuhkan budi pekerti, maknanya jauh berbeda dengan menanamkan budi pekerti. Kalau menanamkan berarti kita memasukkan dari luar diri si anak. Padahal dalam diri anak secara alamiah dan naluriah, ia telah memiliki modal dasar budi pekerti.

Sisi lain,  dengan Gerakan Literasi Sekolah (GLS), seluruh warga sekolah akan selalu membiasakan dan memotivasi dirinya untuk mau membaca dan menulis yang selalu dilandasi dengan keterampilan atau kiat untuk mengubah, meringkas, memodifikasi, menceritakan kembali, dan seterusnya.

Sebab, peserta didik masa mendatang, di samping dituntut memiliki akhlak atau budi pekerti yang baik, pengetahuan dan penguasaan teknologi yang tinggi, andal dan mumpuni. Mereka harus menguasai literasi numerasi, sains, teknologi informasi, finansial, budaya, dan kewarganegaraan.

Apalagi  gerakan literasi ini  merupakan hal yang sangat dianjurkan oleh Islam, yaitu dengan turunnya surat Al-Alaq. Ayat pertamanya, berbunyi : Iqra’, bacalah. Membaca di sini bukanlah dalam pengertian sempit. Melainkan, memiliki makna yang luas. Dalam konteks ini sama dengan literasi. Termasuk di dalamnya, kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan informasi dengan cerdas.

Jika peserta didik, saban hari melakukan Iqra’ dalam artinya yang luas. Diyakini mereka akan menjadi orang-orang yang memiliki akhlak atau budi pekerti yang baik, menguasai pengetahuan dan teknologi yang tinggi, andal dan mumpuni. Ini semua nanti, akan menjadi modal dalam kehidupan mereka. Baik kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhirat kelak.

Menerapkan Kembali Budaya Literasi
Lalu, bagaimana cara menyadarkan warga sekolah akan pentingnya budaya literasi. Paling tidak, budaya membaca dan menulis. Untuk itu, dalam GLS ini sangat dibutuhkan sosok inisiator, eksekutor, dan controller.

Inisiator tersebut tidak harus seorang pemimpin. Bisa saja dari kalangan seorang guru biasa. Tetapi, guru tersebut harus memiliki kepedulian, dedikasi, dan integritas yang tinggi terhadap budaya literasi.

Jika penggagasnya, seorang pemimpin. Misalnya, Gubernur, Bupati atau Kepala Dinas, akan mempunyai nilai lebih. Karena sosok pemimpin  itu, mempunyai kekuatan mengeksekusi–dalam melaksanakan program ini.

Penggagas literasi ini harus mampu menyuntikkan ke dalam sistem agar budaya literasi tidak berjalan sendiri. Setelah dieksekusi, kemudian dilakukan  kontroling agar tujuan program tercapai.

Bentuk ril program ini. Pertama,  sekolah mengadakan sosialisasi kepada seluruh warga sekolah. Termasuk dengan cara pemasangan spanduk di setiap sudut sekolah dan banner sehingga menambah marak gerakan ‘Ayo Membaca’ ini. Kemudian mengadakan seminar dan workshop.

Kedua, guru bersama peserta didik diberikan buku terutama buku yang dapat menumbuhkan budi pekerti.  Berupa cerita atau dongeng lokal, buku-buku yang menginspirasi seperti biografi tokoh lokal dan biografi anak bangsa yang berprestasi, buku sejarah yang membentuk semangat kebangsaan atau cinta tanah air, dan buku-buku lainnya.

Ketiga, peserta didik meluangkan waktu khusus untuk membaca buku tiap hari, sebelum memulai pelajaran selama 15 menit. Durasi 15 menit ini hanya pancingan untuk menumbuhkan kecintaan terhadap buku dengan kata lain sustained Silent Reading.

Apabila, peserta didik tidak membawa buku, ia diperkenankan menulis apa saja yang diinginkannya. Bisa puisi, Cerpen, artikel, resensi, cuplikan  atau apa saja. Keempat, jika ada peserta didik telah menamatkan satu atau beberapa buah buku dan menang dalam aneka lomba literasi bisa diberikan hadiah semacam literacy award.

Lima, mengadakan beda buku, jumpa penulis buku, pameran atau bajar buku, latihan menulis dan membuat penerbitan berkala.

Apabila ini bisa terwujud, tingkat literasi peserta didik akan meningkat. Indek kualitas bangsa kita akan naik dan budi pekerti generasi pun menjadi luhur dan mulia. Akhirnya, bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang berperadaban tinggi. Semoga![]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar