Sabtu, 23 Desember 2017

Qua Vadis Pemuda Aceh Singkil: Menyulap Daerah “4 Ter” Menjadi Daerah Satelit



Menjelang Musda DPD II KNPI Aceh Singkil

Qua Vadis Pemuda Aceh Singkil: Menyulap
Daerah “4 Ter” Menjadi Daerah Satelit
Oleh : Sadri Ondang Jaya


18 tahun lalu, Aceh Singkil ditetapkan pemerintah RI menjadi daerah otonom. Ia mekar dari kabupaten induknya, Aceh Selatan. Hal ini sebagaimana termantuf dalam Undang-Undang Nomor: 14 Tahun 1999.
           
Kendati usia Aceh Singkil telah beranjak dewasa. Namun, daerah yang berjuluk nagari Syekh Abdurrauf itu belum bisa dikategorikan daerah berkembang. Ia masih tergolong daerah nelangsa. Alias daerah “tersingkir”.

Ketersingkiran Aceh Singkil itu,  telah dilegitimasi  pula oleh Peraturan Presiden Nomor 131 tahun 2015. Isinya menyatakan, Aceh Singkil termasuk salah satu daerah miskin di Indonesia.

Tak cukup itu saja, Aceh Singkil pun di kalangan masyarakat ‘tertentu’ telah mendapat stigma sebagai daerah “4 Ter”. Terpencil, termarginal, termiskin, plus terbanjir.

Pelabelan Aceh Singkil sebagai daerah 4 Ter, membuat banyak orang terkesiap dan gusar. Pedih rasanya, bak daging tersayat sembilu.

Di antara elemen masyarakat yang paling gusar tadi, adalah kalangan mahasiswa dan pemuda. Yang notabene, merekalah sesungguhnya pemilik sah Aceh Singkil ke depan.

***
Apa yang membuat Aceh Singkil mendapat gelar 4 Ter? Setelah ditelusuri, rupanya, pemberian gelar itu berdasarkan hasil surve statistik dengan menggunakan sejumlah indikator.

Salah satu indikator itu adalah, Aceh Singkil memiliki pertumbuhan ekonomi dan geliat pembangunan sarana dan prasarana yang masih minim.

Ditambah lagi, kemampuan keuangan dan aksesbilitas Aceh Singkil, berada di bawah rata-rata nasional.

***
Sebenarnya, jika ditilik dan dicermati dari potensi yang dimiliki Aceh Singkil dan letaknya yang sangat strategis, mustahil Aceh Singkil menyandang stigma daerah 4 Ter.




Aceh Singkil menjadi daerah 4 Ter, menurut saya, karena
potensi sumberdaya yang dimiliki Aceh Singkil selama ini, belum dikelola, garap, dan diberdayakan dengan baik, serius, dan optimal.

Untuk mengelola potensi Aceh Singkil atau mengekspolatasi  rahmat menjadi nikmat, bukanlah pekerjaan mudah. Para pendahulu kita, telah berusaha mewujudkannya.

Namun, apa daya : “Mereka telah coba apa yang mereka bisa. Tapi kerja belum selesai. Belum apa-apa.”

Jadi, untuk memupuskan gelar daerah 4 Ter. Dengan kata lain, menciptakan Aceh Singkil yang makmur dan sejahtera. Pemudanya tak boleh berpangku tangan. Apalagi diam.

Pemuda Aceh Singkil, harus bangkit, tegak, dan bergerak. Bekerja, dan bekerja. Melanjutkan ‘kerja yang masih terbangkalai dan belum apa-apa’.

***
Menyiasati hal itu, tak boleh ditawar-tawar lagi, hari ini dan seterusnya, pemuda harus memainkan peran dengan cara bersinergi dengan elemen masyarakat terutama Pemkab. Aceh Singkil dalam menggali, menggarap, dan memberdayakan segala potensi yang dimiliki Aceh Singkil.

Kemudian turut serta menyeting, menggerakkan, dan memacu pembangunan.

Jangan pernah mengatakan, tak bisa. Pemuda Aceh Singkil harus percaya diri: “Aceh Singkil itu hebat.” Hebat sejarahnya, hebat budayanya. Hebat etos kerjanya.

***
Lalu, pemuda yang bagaimana dibutuhkan menggarap potensi alam, menggeliatkan ekonomi Aceh Singkil dan menyulap daerah 4 Ter menjadi daerah satelit itu?

Pemuda yang berhati dan berpikir jernih, serius, dan punya sikap mental yang elok dan mumpuni.

Terutama, pemuda tadi harus cerdas, jujur, energik, dan berani. Jika perlu, sosok pemuda yang  “rada-rada gila”.

Artinya, pemuda itu memiliki personality, behaviour, dan the sense of power. Sanggup sebagai agen of change.

Setelah itu, pemuda harus pula punya inovasi dan kreatifitas. Ia memiliki visi, misi, dan strategi yang jelas.
Selalu menciptakan harapan atau impian-impian baru. Tak kalah pentingnya, ia harus selalu optimis dan memiliki pemikiran yang terbuka.

Sebab, harapan baru, rasa optmisme yang tinggi, dan keterbukaan berpikir, akan memberikan dorongan dan menggelorakan semangat perubahan. 

Untuk memelihara harapan agar terus hidup dan berkembang, pemuda harus menunjukkan progres melalui hal-hal yang dapat dilihat secara kasat mata. Tidak  ‘cet langit’  atau omong doang.

Ia harus mampu mengajak orang lain melihat apa yang ia “lihat”, lalu bergerak dan menuntaskannya.

***
Memang, mencari sosok pemuda yang demikian, sangat susah. Apalagi di tengah-tengah menguatnya budaya pragmatisme seiring dengan mengglobalnya dunia.

Budaya di kalangan orang tua Aceh Singkil pun, belum kondusif. Mereka belum terbiasa memberikan dukungan, kesempatan, dan peluang kepada pemuda untuk mewujudkan ide-ide cemerlang. Pemuda itu baru berbuat, terus dipatahkan. Kapan mereka bisa?

Akibatnya, pemuda Aceh Singkil kekinian terjebak pada kepercayaan diri yang berlebihan yang muaranya pada kepentingan prakmatis, materialis, dan berorientasi pada kelompok dan etnis.
***
Kendati begitu, kita tak perlu pesimis. Masih banyak pemuda-pemudi Aceh Singkil  yang baik. Mereka cerdas, pemikirannya idealis dan brillyan.

Malah, sekarang banyak pemuda Aceh Singkil yang beraninya luar biasa, urat takut telah hilang. Mereka pun memiliki komitmen tinggi untuk membangun Aceh Singkil.

Mereka-mereka itu, pasti mampu menghilang stigma Aceh Singkil dari daerah 4 Ter menjadi daerah satelit yang berkembang dan maju. Bahkan, tidak mustahil menjadi daerah Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Itu semua bisa dilakukan dengan syarat: Qua vadis pemuda Aceh Singkil, harus bergerak serempak dan mengarah pada perubahan. Sekali perubahan.

Syarat lainnya, pemuda Aceh Singkil harus meninggalkan cara berpikir lama nan usang.

Karena Peter Drucker pernah mengatakan,“Bahaya terbesar dalam turbulensi (menimbulkan gangguan, keresahan, dan tidak nyaman....) bukan turbulensi itu sendiri, melainkan ‘cara berpikir kemarin’ yang masih dipakai untuk memecahkan masalah sekarang.”

“Pemuda Aceh Singkil hari ini, jangan pernah mengulang kesalahan masa lalu. Keledai saja, tak pernah terperosok dua kali dalam lubang yang sama.”

Nah, mari kita sambut pemuda Aceh Singkil sebagai agen of change. Sehingga Aceh Singkil menjadi daerah yang gilang gemilang.

Bung Karno, presiden Indonesia pertama mengungkapkan: “Berikan kepadaku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, tetapi berikan kepadaku 10 pemuda, akan kuguncangkan dunia ini.”[]

Senin, 12 Juni 2017

Kenangan di Pantai; Dari Memetik Pidara Hingga Nangkap Ambe-Ambe




Salah satu pemukiman yang elok dan rancak di Aceh Singkil, Aceh, adalah pemukiman Gosong Telaga.

Kerancakkan Gosong Telaga ini, bukan saja karena penataan rumah-rumah yang teratur, apik, dan merik. Melainkan juga, pemukiman ini sangat aduhai dan rupawan. Ia memiliki pantai yang indah nan eksotis.

Keindahan Pantai Gosong Telaga ini, menyimpan kenangan tersendiri dalam relung hati saya. Anehnya, kenangan masa silam itu pun, mencuat kembali dalam ingatan, tatkala beberapa hari lalu saya duduk ‘nyantai’ di pondok tepi Pantai Cemara Indah (PCI) Gosong Telaga.

***
Dulu, ketika saya masih bocah, bersama teman-teman saya acap bermain-main di Pantai Gosong Telaga.

Di pantai itu, kami mandi-mandi dibirunya air laut sembari berkejar-kejaran atau sering kami sebut dengan main nenek-nenek.

Jika yang dikejar berhasil ditangkap. Ia akan mengambung, yaitu dengan cara menaikkan kakinya ke atas pundak lalu melemparkan ke udara. Ada pula ‘bayarannya” dengan mengendong sesuai jarak yang disepakati.

Kejar-kejaran terus berlangsung, yang mengejar dan dikejar bergilir, bergantian-gantian. Main kejar-kejaran sangat mengasyikkan. Bisa pula menguat dan membugarkan fisik. Karena dalam permainan ini, ada unsur renang, menyelam, lari, dan unsur mengangkat beban.

Apabila sudah capek mandi-mandi dan bermain kejar-kejaran, kami mengubur badan di pasir, hanya kepala saja yang kelihatan. Ini dimaksudkan, supaya penat di badan hilang. Juga diyakini ampuh membasmi kalau-kalau di badan ada gejala penyakit tulang.

Banyak pula yang mengatakan, menanam badan di pasir apalagi saat panas terik, sangat cocok mengobati penyakit struk dan rematik.

***
Tidak ketinggalan, ada pula di antara kami, bermain luncuran menggunakan potongan papan berukuran setengah-satu meter. Papan tadi dipegang, lantas begitu ombak besar menghadang, papan dinaiki dengan cara memeluk dan mengarakan ke tepi pantai bersamaan dengan derasnya arus air laut.

Kalau sudah demikian, badan pun meluncur dan dibiarkan diterpa ombak hingga  hanyut  ke bibir  pantai.

Saat di ketinggian, nikmatnya tak terkira, seolah-olah kita berada di udara. Ada perasaan gigil dan gamang. Namun, mengasyikan.

***
Selain itu, kami juga mencari buah pidara (bidara/pidaro) yang batangnya banyak merimbun, tumbuh di sepanjang  pinggir pantai. Batang pidaro ini, pohonnya merampak, bercabang-cabang kecil, dan tak terlalu tinggi.

Jika musim berbuah, buahnya sangat lebat. Nyaris sama banyak dengan daunnya yang bewarna kuning kehijau-hijauan.

Kalau mau memetik buah, cukup menjulurkan tangan. Namun, mesti hati-hati karena cabang dan ranting-ranting pidara ini banyak ditumbuhi duri.

Kalau buahnya sudah matang, waduh enaknya bukan kepalang. Rasanya manis, asam, asin, dan kelat, bak permen Nano-Nano yang di perjual-belikan di kios-kios.

Pokoknya, rasanya banyak orang  suka. Belum dicicipi, mencium aromanya saja telah membangkitkan selera, mengundang  air liur pasang dan meleleh.

Buah pidara ini, bentuknya bulat, kecil sebesar buah kelengkeng dan tak berkulit. Permukaan buahnya, itulah daging buah, yang tebalnya beberapa milimeter saja.

Daging buah inilah yang banyak digemari orang, terutama wanita-wanita yang sedang hamil muda dan orang yang mulutnya dalam keadaan pahit sehabis demam.

Sesudah daging buah, lalu bijinya yang ditutupi  tempurung. Biji inilah, yang kemudian yang akan berkecamba, membentuk  pohon pidara baru.

***
Konon pidara ini, asal mulanya bukanlah tanaman tepi pantai. Melainkan, tumbuhan semak yang banyak tumbuh di pinggir oase-oase di Negara Timur Tengah. Entah siapa yang membawanya ke Gosong Telaga, tak tahulah kita. Yang jelas, tumbuhan ini berkembang biak dan tumbuh subur di Gosong Telaga.

“Dari sekian banyak pinggir pantai yang  telah saya kunjungi, saya tidak pernah menemui dan mendengar ada pohon pidara seperti di Gosong Telaga itu,” ucap Rosalita.

Rosalita (32 tahun) yang katanya berasal dari Sulawesi ini mengisahkan pengalaman pertama kali makan buah pidara. 

“Semulanya saya enggan memakannya, seperti makanan burung saja.  Tetapi ketika saya lihat keponaan saya memakan dengan lahapnya sambil mencecah dengan bumbu garam diaduk dengan cabe rawit, saya menjadi selera, lantas mencicipinya. Setelah saya makan. Eheem enak tak terkira. Makan lagi, dua, tiga dan empat buah. Saya pun langsung kesemsem. Enaaak ah,” tutur Rosalita.

Namun sayang, tumbuhan khas Gosong Telaga ini, sudah mulai langka. Populasinya mulai berkurang karena dihantam oleh gelombang tsunami yang terjadi 26 Desember 2004 dan gempa Nias yang terjadi 28 Maret 2005 silam.

Di samping itu, banyak yang sudah ditebang dan penanam kembali tak pernah ada. Kalau ini tidak cepat dilestarikan dengan cara reboisasi, maka buah pidara akan menjadi kenangan. Bibir takkan bisa lagi mencicipinya.

Selain mandi-mandi dan mencari buah pidara di pantai Gosong Telaga, kami juga acap mencari dan menangkap burung. Ada burung punai (keroco), burung balam, berujuk, pipit, dan jenis lainnya.

Umumnya, burung-burung itu, membuat sarang dan bermain-main di seputar semak-semak. Kalau burung-burung itu berhasil kami tangkap, ada yang memeliharanya dengan cara mengurung di sangkar pelepah rumbia.

Burung-burung tadi,  ada juga yang kami potong. Lalu dibakar. Setelah matang, kami pun memakan dengan lahapnya. Waduh rasa dagingnya, luar biasa gurihnya. Enaaak tenan.

***
Di bibir pantai Gosong Telaga ini, juga banyak jenis kepiting yang kami sebut dengan ambe-ambe dan sigugu. Biota laut ini, acap bersenda gurau dan bekejar-kejaran dengan gerigi air. Mereka bersarang dengan cara menggali tanah yang tidak terlalu jauh dengan bibir pantai.

Ambe-ambe itu kami tangkap dan lalu kami laga. Setelah kepiting capek dan enggan berlaga, kami pun membuangnya begitu saja. Ada yang kembali ke laut dan ada pula yang mati.

Sementara sigugu kami bakar. Saat memakannya, mulut serasa memakan udang. Kata orang kandungan gizinya ok banget dan bisa sebagai obat “penguat”.

Suasana bermain-main  masa anak-anak di pantai Gosong Telaga itu, sungguh mengasyikkan, melambungkan angan menyirat kenangan.[]

Shalat Berjamaah

Akhir-akhir ini, banyak kalangan umat Islam yang mulai gandrung meninggalkan shalat berjamaah.
Mereka, lebih suka memilih shalat sendirian di rumah.

Padahal, shalat berjamaah itu adalah perintah Allah SWT.
Hal ini sebagaimana firman-Nya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.” (Qs. Al-Baqarah 2 : 43).

“... Berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu ( di masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah memersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang bersaudara...” (QS Al Imran 3 : 103).

Banyak lagi ayat-ayat dalam al-Quran yang menganjurkan pentingnya mengerjakan shalat berjamaah ini.

Sementara itu, hadis Nabi Muhammad SAW juga sangat menekankan pentingnya mendirikan shalat jamaah.
Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barang siapa mendenggar adzan, kemudian ia tidak datang (untuk berjamaah), maka tidak sah shalatnya, kecuali kalau ada udzur.’ Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apakah udzurnya?” Nabi menjawab, “Takut atau sakit.” (Hr. Abu Dawud).

Abdullah bin Masud berkata, “ Sungguh, kami tahu bahwa tidak ada yang meninggalkan jamaah selain munafik yang jelas kemunafikannya...” (Hr. Tirmizi).

Rasulullah Muhammad SAW bersabda, “Salamlah kalian kepada orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani dan jangan salam kepada orang-orang Yahudi umatku.” Beliau ditanya, “Siapa yang diamksud Yahudi umatku itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang-orang mendengar adzan dan iqamat akan tetapi tidak mau menghadiri shalat jamaah.” (Durratun Nasshihin 2 : 181).

Kemudian hadis lain, “Jibril Alaissalam mendatangiku, lalu berkata, “Ya Muhammad, Allah mengirim salam untukmu dan Dia berfirman : ummatmu yang meninggalkan jamaah tidak akan mencium wangi syurga, meski amalnya lebih banyak dari amal seluruh penduduk bumi, dan yang meninggalkan jamaah itu terkutuk di dunia dan akhirat.”

Nah, dari paparan di atas, tidakkah tergerak hati kita mengerjakan shalat secara berjamaah?[]

Sabtu, 29 April 2017

                                      Perarakan Bunga Pada Hari Maulid Nabi Besar Muhammad SAW

IRONISNYA TAMBATAN PERAHU NELAYAN GOSONG TELAGA

Masyarakat Kemukiman Gosong Telaga, Singkil Utara, Aceh Singkil, mayoritas bermata pencarian nelayan.
Pekerjaan mencari nafkah keluarga itu, telah mereka lakoni ratusan tahun lalu dan berlangsung secara turun temurun.

Kendati begitu, ada hal yang menyesakkan dada, sangat ironis, dan memperihatinkan.
Paling tidak bagi saya, anak seorang nelayan dan dibesarkan dari tetesan darah "sambam" ikan.

Betapa tidak, jika kita tengok tempat tambatan perahu nelayan Gosong Telaga yang umumnya terletak di gerigi tepian sungai perkampungan, masih ala kadarnya, rentah, papah, dan alamiah.

Atap dan galangan tambatan perahu nelayan itu, masih terbuat dari daun dan batang kelapa. Tiang-tiangnya pun hanya kayu bulat seadanya.

Hal ini membuat perahu yang ditambat di tempat itu, cepat lapuk ditelan hujan dan panas.
Sehingga perahu-perahu para nelayan tadi yang terbuat dari kayu cepat rusak sebelum waktunya.

Diperparah lagi banyaknya binatang sungai, seperti kapang dan teritit, yang selalu  menggerogoti.
Ironisnya lagi, tambatan perahu yang dibuat nelayan dari dana kantong sendiri, tidak tersedia tempat penyimpanan mesin robin, barang-barang, dan alat tangkap nelayan.

Tak ayal, perlengkapan yang lumayan berat ini, terpaksa dibawa nelayan ke rumah dengan memikulnya setiap hari. Saat berangkat dan pulang ke dan dari laut.

Jika ditinggalkan diperahu, perlengkapan tadi akan raib. Dicuri orang.

***
Biasanya, nelayan berangkat dan pulang melaut serta aktivitas di tempat tambatan perahu acap berlangsung pada malam hari.

Lagi-lagi disayangkan, alat penerang semacam listrik tidak tersedia di sana.
Apabila para nelayan beraktivitas, mereka hanya diterangi bolos. Paling banter senter. Kalau ini tak ada, alamat mereka meraba-raba di kegelapan malam.

***
Era sekarang telah maju dan modern plus banyaknya dana pembangunan yang tersedia--termasuk dana desa.

Mengapa sarana dan prasarana serta fasilitas untuk para nelayan seperti tambatan perahu ini, tidak menjadi prioritas didanai dan dibangun?

Mengapa  kita belum berkeinginan "memanjakan" para nelayan dengan menyediakan berbagai fasilitas yang maju dan modern?

Bukankah nelayan itu, adalah kita? Paling tidak, mereka punya andil menghidupi kita.
Jika pun itu tidak kita akui.  Bukankah pembangunan sejatinya untuk kepentingan rakyat termasuk di dalamnya para nelayan Gosong Telaga.

Uang desa itu, adalah uang mereka dan diprogramkan pemerintah untuk kesejahteraan mereka.

***
Apabila kita bertanya pada nelayan, seiring dengan banyak dana desa, pasti mereka mendambakan tempat tambatan perahu  yang repsentatif.

Atapnya terbuat dari seng, dan galangan perahu "berhidrolik". Ada pula tersedia gudang tempat penyimpanan mesin robin dan  perlengkapan alat tangkap lainnya.

Plus terdapat pula beranda atau balai-balai tempat nelayan menyirat jaring jika rusak.
Ditambah lagi penerangan listrik yang memadai meskipun bukan lampu mercuri.

Dengan berjibunnya dana desa sehingga tidak tahu lagi cara "menghabiskannya".
Sangat pantas kiranya jika kita membangun sarana prasarana untuk memanjakan nelayan yang notabene adalah saudara kita.

Kita rindu dan senang, apabila para nelayan Gosong Telaga tak pernah mengeluh.
Tidak lagi berputus asa dan bermuram durja karena minimnya hasil tangkapan atau saat haleon (paceklik) tiba.

Kita sangat senang apabila nelayan Gosong Telaga hidupnya sejahtera,  tak merasa sengsara.
Senang melihat rumah tangga mereka rukun dan damai. Jauh dari rongrongan "repetan" isteri setiap hari. Karena belanja sehari-hari dan isi lemari belum mencukupi.

Bukankah kita gembira, jika wajah nelayan Gosong Telaga,  selalu ceria. Aura dan gurat wajah mereka tidak terlihat tua padahal usianya masih muda.

Kita patut bermohon pada Allah agar dalam usia yang masih produktif, fisik para nelayan kita itu masih segar-bugar.

Tidak terlalu cepat sakit-sakitan dan berpulang kerahmatullah.
Kita tak ingin nelayan kita seakan "bergegas" meninggalkan anak yatim dan janda.

Padahal anak yatim dan janda tadi masih membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari sosok ayah dan suami tercinta.

Apabila kita cinta dan sayang pada nelayan. Karena nelayan itu adalah kita dan saudara kita.
Ayo kita keluarkan sejumput dana desa yang ada untuk membangun tambatan perahu nelayan.
Nah, setujukah Anda?-[]

Minggu, 23 April 2017

Menyambut HUT Ke 18 Tahun Aceh Singkil


Gosong Telaga--Dalam rangka memperingati Hari Jadi Kabupaten Aceh Singkil yang ke-18, ratusan dari PNS, anggota TNI Kodim 0109, dan warga lainnya, Minggu (23/04/2017) pagi,  mengikuti senam massal di Gelanggang Olahraga (GOR) Kasim Tagok, Aceh Singkil.

Para peserta sangat bersemangat mengikuti senam jantung sehat yang telah dimodifikasi dengan irama musik populer.

Amatan di lapangan, selain melaksanakan senam, panitia juga menyediakan kupon untuk peserta senam dalam bentuk hadiah doorprize dari sponsor tunggal Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Senam yang berlangsung kurang lebih satu jam yang dipandu instruktur senam yang ada di Aceh Singkil, selain dihadiri warga juga hadir Wakil Bupati, Dulmusrid, Kasdim 0109 Mayor Inf Trijoko Purnomo, Setdakab Aceh Singkil Drs Azmi, para Asisten, dan berbagai Kepala SKPD Aceh Singkil.

Wakil Bupati Aceh Singkil Dulmusrid mengatakan, senam massal itu dilaksanakan dalam rangkaian memperingati hari jadi kabupaten Aceh Singkil yang bakal dihelat 27 April 2017.

Dengan menggelar senam ini, tambah Dulmusrid, kita akan menjadi sehat. “Jika sudah sehat, Insya Allah kita lebih bergairah melaksanakan aktivitas,” ucap Dulmusrid.

Seusai senam dan pembagian hadiah, peserta dihiburkan berbagai artis lokal yang diringi oleh musik keyboard hingga menjelang siang.

Pameran Pembangunan
Memeringati Hari Jadi Kabupaten Aceh Singkil tahun ini, selain mengadakan senam massal, Pemkab Aceh Singkil juga akan menggelar pameran pembangunan selama sepekan, bakti sosial, pagelaran seni-budaya, dan upacara peringatan.

Menjelang tiga hari lagi peringatan hari jadi, satuan kerja perangkat kabupaten (SKPK), intansi vertikal, BUMD, perusahaan swasta telah membangun stand pameran mereka.

Puluhan tukang dan beberapa orang PNS terlihat sedang mengerjakan dan membenahi stand pameran.
“Sekarang kami sedang membenahi dan menghiasi stan pameran. Insya Allah beberapa hari lagi akan rampung,” ucap H Syamsul Bahri SH Kadis Dinas Syariat Islam Aceh Singkil.

Begitu juga dengan ratusan pedagang, mereka telah mulai mendirikan kios-kios untuk tempat berjualan di pelataran luar GOR, tempat dihelatnya upacara hari jadi dan pameran pembangunan.

Masyarakat Aceh Singkil pun, sepertinya sudah tak sabar menunggu perayaaan tahunan itu.
Mereka sudah terlihat antusias berduyun-duyun mendatangi lokasi perhelatan.[]

Rabu, 15 Maret 2017

Menanti Jalan Singkil-Trumon

Wed, Apr 27 th 2011, 08:03

Sadri Ondang Jaya - Opini
HARI ini, Rabu, 27 April 2011, Kabupaten Aceh Singkil memperingati hari jadi ke-XII. Selama kabupaten ini berdiri, ada salah satu keinginan masyarakat yang belum terealisasi. Yaitu, pembangunan ruas jalan baru Singkil-Bulusema, Trumon (Aceh Selatan) melalui lintas Kuala Baru.

Pembangunan infrastruktur ini, agaknya perlu mendapat respons dan dukungan positif dari semua pihak. Terutama, dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh. Kalau bisa ini menjadi “kado istimewa” untuk Aceh Singkil dalam usianya yang ke dua belas tahun ini.

Sebab, pembangunan jalan di ceruk pesisir pantai ini, sangat strategis, urgensi dan segala-galanya bagi masyarakat Aceh Singkil. Dengan adanya jalan ini bukan saja membuka Aceh Singkil dan Aceh Selatan dari keterisoliran. Tetapi juga akan menumbuhkan sentra-sentra baru perekonomian rakyat.

Masyarakat yang ingin menjual hasil cocok tanam dan alam ke daerah lain pun menjadi lebih mudah. Sehingga pertumbuhan dan perkembangan ekonomi rakyat kawasan jalan di dua daerah itu, akan lebih cepat dan signifikan. Dan rakyat pun semakin makmur.

Karena ketidakadaan jalan terebos, yang datang ke Aceh Singkil, selama ini, adalah orang Singkil sendiri. Oleh sebab pulang kampung--melihat sanak famili--atau karena setelah bepergian dari daerah lain. Kalau pun ada orang lain yang berkunjung ke Singkil sangat minim dan karena ada keperluan. Misalnya, keperluan dinas. Setelah urusan selesai, mereka balik kanan, pulang ke daerah asal, dengan melalui pintu masuk (datang).

Datang ke Singkil ibarat menuju rumah di gang buntu, masuk dari gang itu dan keluar dari gang itu lagi. Aceh Singkil tidak mempunyai jalan penghubung (punya akses) dengan daerah-daerah lain di Aceh. Singkil bagaikan kota yang kurang gairah. Akibatnya, membuat akselerasi dan dinamika penduduk dan pertumbuhan ekonomi masyarakat lambat serta akses informasi dan transpotasi minim. Sehingga dari aspek ini, daerah yang berjuluk negeri Syekh Abdurrauf, tergolong daerah terbelakang dari 23 kabupaten/kota yang ada di Aceh.

Jika ruas jalan baru sepanjang 50,8 km ini dibangun, Singkil tidak lagi terisolir. Ia akan menjadi kota transit antara beberapa kabupaten/kota. Masyarakat pesisir pantai Sumatera Utara yang mau berpergian ke daerah pesisir pantai Barat Aceh menjadi lebih mudah. Jarak dan waktu tempuh pun menjadi sangat dekat dan singkat dibandingkan melalui jalan Subulussalam-Aceh Selatan.

Kalau dari Singkil menuju Tapaktuan melalui Kota Sibulussalam mencapai jarak tempuh sekitar 157 km, sedangkan dari Singkil ke Tapaktuan melalui jalan yang bakal dibangun (Kuala Baru-Bulusema), hanya 50 km saja. Jadi bisa diperpendek jarak mencapai 107 km.

Pembangunan ruas jalan ini, sebagiannya melintasi kawasan ekosistem Leuser (KEL). Sehingga ada pihak-pihak “menghadangnya” dengan mengatasnamakan “cinta lingkungan”. Mereka berkampanye, bila jalan ini dibangun lingkungan akan rusak. KEL merupakan paru-paru dunia.

Propaganda itu benar. Namun selama ini, mereka lupa dengan kemiskinan yang telah berpuluh-puluh tahun mendera masyarakat karena ketidakadaan akses ke luar (terisolir). Maunya, ada keseimbangan. Manusia sejahtera lingkungan tetap lestari.

Dulu, Papua disebut sebagai bola Asia-Pasifik yang harus diselamatkan dan dijaga kelestarian hutannya. Kanyataan hari ini di sana hutan telah rusak, karena telah berdiri Freeport yang keuntungannya sangat minim bagi rakyat.

Seorang teman nyeletuk, jangan-jangan “pahlawan” lingkungan dan orang luar (Eropa) itu, menganjurkan pelestarian kawasan Ekosistem Leuser, bertujuan, agar potensi alam tidak pernah dinikmati rakyat. Akhirnya, rakyat tetap miskin, kerdil, dan lemah. Sehingga, mudah dijajah.

Bijak
Dari diskursus di atas, pembangunan ruas jalan baru ini, memerlukan pertimbangan, analisa yang matang dan bijak. Prinsif kearifan dan kehati-hatian perlu diterapkan. Sebab, itu tadi, sebagian ruas jalan yang mau dibangun, akan melalui titik hutan suaka marga satwa.

Karena ini kawasan hutan lindung, paling tidak terlebih dulu harus dilakukan pertimbangan aspek hukum, teknis, sosial, ekonomi, dan risiko yang terkait dengan kondisi sekitarnya.Tegasnya, pembangunan jalan ini, harus selaras dengan faktor ekologis, sosiologis, aspek formil dan teknisnya.

Ini dilakukan karena pembangunan jalan terkait dengan kondisi lahan dan geologi serta isu internasional tentang pelestarian lingkungan hidup. Banyak sekali aturan-aturan dan “opini” yang menganjal pembangunan jalan ini. Kalau pembangunan jalan dilanjutkan semata-mata mengandalkan “semangat” membangun agar terbebas dari keterisoliran, dan keinginan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat, tanpa memperhatikan aspek-aspek lain. Hal ini akan menjadi, preseden buruk. Bahkan “bumerang”.

Bisa-bisa kita akan digugat. Sebab, pembangunan jalan ini telah berbenturan dengan berbagai kepentingan dan pemanfaatan kawasan hutan lindung negara. Apalagi KEL, sudah menjadi isu dan milik dunia internasional. Dari aspek pertumbuhan ekonomi dan sosiologis, pembangunan ruas jalan Singkil-Blusema sangat urgensif dan mendesak. Kalau dipertanyakan pada masyarakat, pembangunan jalan ini sangat penting. Masyarakat berasumsi, sejatinya tujuan pembangunan, adalah membangun manusia. Bukan hewan atau tumbuhan. Apa artinya kemerdekaan dan pembangunan, kalau hidup masyarakatnya melarat, terlunta-lunta, dan miskin papa. Sementara monyet, harimau, gajah, tumbuhan, dan satwa lainnnya hidup dalam kesenangan. Ini jelas, sesuatu yang absurd.

Solusi
Tidak bisa dipungkiri, adanya akses transportasi di kawasan hutan, dapat menyebabkan maraknya pencurian kayu dan KEL akan luluh lantak. Namun, ilegal loging ini, tidak perlu dikuatirkan. Justru masyarakat Aceh Singkil, secara turun-temurun telah menjaga dan melestarikan hutan (Leuser).

Kalau hutan Aceh Singkil rusak, yang pertama menderita adalah masyarakat setempat. Apalagi pembangunan ruas jalan Singkil-Bulusema merupakan kebutuhan dan kehendak yang kuat dari masyarakat. Jadi segala konsekuensi dan solusi yang konstruktif pasti mendapat dukungan dari mereka.

Kemudian ada tawaran jalan keluar yang saling menguntungkan (win-win solusion). Pertama, pembangunan ruas jalan disesuaikan saja dengan kebutuhan publik. Tidak usah lebar jalan sampai 12 meter. Cukup 6 meter atau 4,5 meter saja. Dua, sepanjang jalan, di pingir kanan dan kirinya, dibuat pagar. Agar masyarakat tidak merambah kawasan hutan. Tiga, perlu partisipasi masyarakat dalam menjaga dan melestarikan hutan. Empat, dibuat perangkat aturan yang sifatnya memberikan penghargaan kepada yang melestarikan dan menanam hutan. Kemudian memberikan hukuman denda bagi siapa yang merambah hutan.

Prinsif keseimbangan harus menjadi “panglima”, pembangunan jalan Singkil-Bulusema tetap jadi. Satwa di KEL pun tidak terganggu. Pepatah “ibarat mengambil rambut dalam tepung” berlaku di sini.

* Penulis adalah pengurus KNPI Aceh Singkil.

Sumber : Serambinews.com

Selasa, 14 Maret 2017

AKTIFIS LUPA SEJARAH ; "BESAR KEPALA"

Sabtu, 04 Maret 2017

Cerpen PRAHARA DI JEMBATAN PELANGI Oleh : Sadri Ondang Jaya



Di kampungku, ada sebuah jembatan berkonstruksi kayu. Oleh para pemuda, jembatan itu dilumuri cat warna-warni. Sehingga menyerupai warna pelangi.
Karena menyerupai pelangi, warga menamai jembatan itu dengan sebutan Jembatan Pelangi.
Nama itu pun, telah kesehor ke kampung-kampung tetangga. Bahkan, telah mendunia.  Masuk dalam road map Google.
***
Setiap hari, apalagi menjelang rembang petang. Jembatan sepanjang 45 meter, banyak dikunjungi para kaum abege.
Tak jarang, kalangan brondong tua pun acap datang ke sini dengan berbagai dalih.
Ketika berada di jembatan, ada-ada saja tingkah mereka. Ada yang bershelfie ria mengggunakan camera hp smart phone dengan membidikan vokus cameranya ke berbagai objek.
Termasuk objek ‘makhluk hidup’ sang abege-abege yang baru mekar. Mereka berpose dengan berbagai gaya.
Tak jarang menampilkan gestur dan mimik tubuh dengan lingkaran senyum yang yahud nan aduhai.
Ada pula yang menampakkan aura wajah  yang mengudang sejuta pesona. Pokoknya,  gaya mereka bak peragawati yang telah go publik.
Ada pula bergaya foto model yang berlenggak-lenggok, memeragakan karya seorang desainer di atas catwalk.
Selain itu, di jembatan tadi, pengunjung tak sedikit yang hanya duduk-duduk saja. Sekadar ngaso, melepas penat, dan lelah.
Tak mengherankan, ada juga pengunjung Jembatan Pelangi, yang menjuntai-juntaikan sambil mencecahkan kakinya ke air yang mengalir. Sehingga air bergemericik membentuk pusaran kiambang bertaut-tautan.
***
Bila rembang petang semakin temaram. Angin sepoi membelai gigilnya senja, Jembatan Pelangi seolah-olah mengajak pengunjung untuk berlama-lama “bercumbu”. Dengan titik klimak, lembayung senja jatuh kepangkuan.
Pokoknya, sejak dibangunnya Jembatan Pelangi, telah menjadi destinasi wisata murah meriah di kampungku. Nama kampung pun terviralisasi. Terkenal ke seantero negeri.
Karena setiap kali pengunjung datang dan bershelfie, hasil shelfie mereka  di upload  ke facebook, instagram, twitter atau bloger.
***
Beberapa hari lalu, Jembatan Pelangi, menjadi trending topik. Bukan karena jembatan telah ditata semakin apik, indah, dan menarik atau pungunjungnya semakin membludak
 Melainkan, ada warga yang memprovokasi keberadaan Jembatan Pelangi. Akibatnya,  menimbulkan “prahara” yang memecah belah warga.
Warga terpecah menjadi dua kubu. Ada yang pro keberadaan Jembatan Pelangi. Ada pula yang kontra.
Munculnya prahara, dipicuh sikap sosok pria setengah baya yang tak setuju dengan keberadaan Jembatan Pelangi. Tragisnya, ia ingin mengganti cat jembatan dengan warna hitam.
Alasannya, jembatan yang dicat menyerupai pelangi, telah mengundang mudharat. Orang berbondong-bondong berkunjung ke kampungku, telah membawa sial.
Jika ini berlangsung lama, pengunjung tidak saja mendatangi jembatan. Melainkan, akan  terus merangsek ke bibir pantai yang berjarak terpaut 800 meter saja dari jembatan.
Tak jauh dari bibir pantai,  ada pula terdapat arena yang suci dan sakral, yakni makam Syekh Aulia DiTampat.
Makam Syekh Aulia DiTampat yang panjangnya 9 meter dan dianggap warga keramat, bisa-bisa dikotori dengan maksiat ala dajjal.
Sedangkan warga yang pro terhadap cat jembatan warna-warni, tetap menginginkan dan berharap supaya pengunjung terus berdatangan.
Kampung menjadi ramai, jika ramai, aktifitas ekonomi warga akan berdenyut kencang. Warga pun menjadi makmur.
Tinggal lagi, bagaimana menyiasati agar orang yang berkunjung tak berbuat maksiat dan apa yang dikuatirkan tak terjadi. Tentu ini, perlu regulasi atau paso-paso.
***
Sikap pro dan kotra terhadap Jembatan Pelangi, terus bergelinding di tengah-tengah warga. Ibarat bola panas. Jika tak cermat menyiasatinya, ia akan membakar negeri.
Kepala desa, sebagai pimpinan warga, mulai mencium riak-riak sosial ini. Ia tak tinggal diam. Lalu, mengumpulkan dan mengajak tokoh-tokoh dan warga yang pro dan kontra untuk urun rembuk membahas persoalan ini.
***
Saat  sedang kumpul-kumpul di balai desa yang tak jauh dari Jembatan Pelangi, tiba-tiba segerombolan warga mendatangi jembatan dan berteriak-teriak:
 “Ganti cat jembatan. Ubah dengan dengan warna hitam. Pengunjung tak boleh datang lagi ke sini,” teriak Wasila seorang warga seakan baru mendapat wangsit dari ruh leluhurnya.
Massa yang jumlahnya tak seberapa itu, terus merangsek menuju jembatan. Ada juga di antara mereka yang  mulai mengecat papan jembatan dengan warna hitam.
Mendengar dan melihat teriakan dan tingkah laku kubu yang kontra, kubu yang pro terutama para pemuda, datang menghadang dan melarang pengecatan.
Jembatan menjadi ramai. Antara warga yang kontra dan pro berteriak-teriak dan berhadap-hadapan. Saling membelalakan mata. Tolak-tolakan pun terjadi. Suasana menjadi panas dan tegang. Adu jotos pun tak terelakkan.
Kepala desa, tokoh-tokoh masyarakat, dan warga lain yang melihat dan mendengar praha itu, tergopo-gopo menaiki jembatan. Ingin melerai perkelahian.
Lalu jembatan dinaiki sehingga kelebihan tonase. Membuat tiang-tiang jembatan melentur, berderak, dan sempoyongan.
“Awas jembatan roboh,” teriakku dari kejauhan. Belum sempat lima minit aku ngomong. Jembatan Pelangi pun ambruk, roboh.
Warga, tokoh-tokoh masyarakat termasuk kepala desa, tercebur ke sungai. Untunglah mereka terampil berenang sehingga tak ada yang tenggelam. Namun, pakaian mereka basah kuyub.
***
Esok harinya, heboh. Jembatan Pelangi telah roboh. Media massa termasuk sosmed, memberitakan dari berbagai sudut pandang. Tak lupa, melampirkan foto-foto.
Sedangkan aku, sebagai wartawan media online, menulis sisi lain. Yaitu, dari hasil wawancara dengan tukang jembatan.
Tukang mengatakan, jembatan ambruk, bukan karena kelebihan tonase. Tetapi, karena tiang-tiang penyanggah jembatan belum dipasang baut. Hanya baru dililit dengan kawat saja.
Sementara Wasila sang provokator, saat ditanya mengapa ia menggerakkan massa. Ia pun menjawab enteng, “Ini bukan sensasi. Ini adalah cara saya mengungkap supaya pembangunan jembatan ini tak asal-asalan.
***
Alamak. Entengnya jawaban dan alasan Wasila sang provokator. Padahal, prahara telah terjadi. Warga terpecah. Dendam terenda. Jembatan Pelangi telah roboh. Warga yang ke ladang dan berziarah terpaksa mengurut dada. Apakah jembatan kembali dibangun atau akan kembali naik perahu seperti sedia kala? Hanya alam nyata yang menjawabnya.[]