Di kampungku, ada sebuah jembatan berkonstruksi kayu.
Oleh para pemuda, jembatan itu dilumuri cat warna-warni. Sehingga menyerupai warna
pelangi.
Karena menyerupai pelangi, warga menamai jembatan
itu dengan sebutan Jembatan Pelangi.
Nama itu pun, telah kesehor ke kampung-kampung
tetangga. Bahkan, telah mendunia. Masuk
dalam road map Google.
***
Setiap hari, apalagi menjelang rembang petang. Jembatan
sepanjang 45 meter, banyak dikunjungi para kaum abege.
Tak jarang, kalangan brondong tua pun acap datang ke sini dengan berbagai dalih.
Ketika berada di jembatan, ada-ada saja tingkah mereka.
Ada yang bershelfie ria mengggunakan camera
hp smart phone dengan membidikan vokus
cameranya ke berbagai objek.
Termasuk objek ‘makhluk hidup’ sang abege-abege yang
baru mekar. Mereka berpose dengan berbagai gaya.
Tak jarang menampilkan gestur dan mimik tubuh dengan
lingkaran senyum yang yahud nan aduhai.
Ada pula yang menampakkan aura wajah yang mengudang sejuta pesona. Pokoknya, gaya mereka bak peragawati yang telah go publik.
Ada pula bergaya foto model yang berlenggak-lenggok,
memeragakan karya seorang desainer di atas catwalk.
Selain itu, di jembatan tadi, pengunjung tak sedikit
yang hanya duduk-duduk saja. Sekadar ngaso,
melepas penat, dan lelah.
Tak mengherankan, ada juga pengunjung Jembatan
Pelangi, yang menjuntai-juntaikan sambil mencecahkan kakinya ke air yang mengalir.
Sehingga air bergemericik membentuk pusaran kiambang bertaut-tautan.
***
Bila rembang petang semakin temaram. Angin sepoi
membelai gigilnya senja, Jembatan Pelangi seolah-olah mengajak pengunjung untuk
berlama-lama “bercumbu”. Dengan titik klimak, lembayung senja jatuh kepangkuan.
Pokoknya, sejak dibangunnya Jembatan Pelangi, telah
menjadi destinasi wisata murah meriah di kampungku. Nama kampung pun terviralisasi.
Terkenal ke seantero negeri.
Karena setiap kali pengunjung datang dan bershelfie,
hasil shelfie mereka di upload ke facebook,
instagram, twitter atau bloger.
***
Beberapa hari lalu, Jembatan Pelangi, menjadi trending topik. Bukan karena jembatan
telah ditata semakin apik, indah, dan menarik atau pungunjungnya semakin membludak
Melainkan, ada
warga yang memprovokasi keberadaan Jembatan Pelangi. Akibatnya, menimbulkan “prahara” yang memecah belah warga.
Warga terpecah menjadi dua kubu. Ada yang pro keberadaan
Jembatan Pelangi. Ada pula yang kontra.
Munculnya prahara, dipicuh sikap sosok pria setengah
baya yang tak setuju dengan keberadaan Jembatan Pelangi. Tragisnya, ia ingin mengganti
cat jembatan dengan warna hitam.
Alasannya, jembatan yang dicat menyerupai pelangi, telah
mengundang mudharat. Orang berbondong-bondong
berkunjung ke kampungku, telah membawa sial.
Jika ini berlangsung lama, pengunjung tidak saja mendatangi
jembatan. Melainkan, akan terus
merangsek ke bibir pantai yang berjarak terpaut 800 meter saja dari jembatan.
Tak jauh dari bibir pantai, ada pula terdapat arena yang suci dan sakral,
yakni makam Syekh Aulia DiTampat.
Makam Syekh Aulia DiTampat yang panjangnya 9 meter
dan dianggap warga keramat, bisa-bisa dikotori dengan maksiat ala dajjal.
Sedangkan warga yang pro terhadap cat jembatan
warna-warni, tetap menginginkan dan berharap supaya pengunjung terus berdatangan.
Kampung menjadi ramai, jika ramai, aktifitas ekonomi
warga akan berdenyut kencang. Warga pun menjadi makmur.
Tinggal lagi, bagaimana menyiasati agar orang yang
berkunjung tak berbuat maksiat dan apa yang dikuatirkan tak terjadi. Tentu ini,
perlu regulasi atau paso-paso.
***
Sikap pro dan kotra terhadap Jembatan Pelangi, terus
bergelinding di tengah-tengah warga. Ibarat bola panas. Jika tak cermat
menyiasatinya, ia akan membakar negeri.
Kepala desa, sebagai pimpinan warga, mulai mencium
riak-riak sosial ini. Ia tak tinggal diam. Lalu, mengumpulkan dan mengajak tokoh-tokoh
dan warga yang pro dan kontra untuk urun rembuk membahas persoalan ini.
***
Saat sedang kumpul-kumpul
di balai desa yang tak jauh dari Jembatan Pelangi, tiba-tiba segerombolan warga
mendatangi jembatan dan berteriak-teriak:
“Ganti cat
jembatan. Ubah dengan dengan warna hitam. Pengunjung tak boleh datang lagi ke
sini,” teriak Wasila seorang warga seakan baru mendapat wangsit dari ruh leluhurnya.
Massa yang jumlahnya tak seberapa itu, terus merangsek
menuju jembatan. Ada juga di antara mereka yang mulai mengecat papan jembatan dengan warna
hitam.
Mendengar dan melihat teriakan dan tingkah laku kubu
yang kontra, kubu yang pro terutama para pemuda, datang menghadang dan melarang
pengecatan.
Jembatan menjadi ramai. Antara warga yang kontra dan
pro berteriak-teriak dan berhadap-hadapan. Saling membelalakan mata. Tolak-tolakan
pun terjadi. Suasana menjadi panas dan tegang. Adu jotos pun tak terelakkan.
Kepala desa, tokoh-tokoh masyarakat, dan warga lain
yang melihat dan mendengar praha itu, tergopo-gopo menaiki jembatan. Ingin
melerai perkelahian.
Lalu jembatan dinaiki sehingga kelebihan tonase. Membuat
tiang-tiang jembatan melentur, berderak, dan sempoyongan.
“Awas jembatan roboh,” teriakku dari kejauhan. Belum
sempat lima minit aku ngomong. Jembatan Pelangi pun ambruk, roboh.
Warga, tokoh-tokoh masyarakat termasuk kepala desa,
tercebur ke sungai. Untunglah mereka terampil berenang sehingga tak ada yang
tenggelam. Namun, pakaian mereka basah kuyub.
***
Esok harinya, heboh. Jembatan Pelangi telah roboh. Media
massa termasuk sosmed, memberitakan dari berbagai sudut pandang. Tak lupa,
melampirkan foto-foto.
Sedangkan aku, sebagai wartawan media online, menulis sisi lain. Yaitu, dari hasil
wawancara dengan tukang jembatan.
Tukang mengatakan, jembatan ambruk, bukan karena
kelebihan tonase. Tetapi, karena tiang-tiang penyanggah jembatan belum dipasang
baut. Hanya baru dililit dengan kawat saja.
Sementara Wasila sang provokator, saat ditanya
mengapa ia menggerakkan massa. Ia pun menjawab enteng, “Ini bukan sensasi. Ini
adalah cara saya mengungkap supaya pembangunan jembatan ini tak asal-asalan.
***
Alamak. Entengnya jawaban dan alasan Wasila sang
provokator. Padahal, prahara telah terjadi. Warga terpecah. Dendam terenda. Jembatan
Pelangi telah roboh. Warga yang ke ladang dan berziarah terpaksa mengurut dada.
Apakah jembatan kembali dibangun atau akan kembali naik perahu seperti sedia
kala? Hanya alam nyata yang menjawabnya.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar