Jumat, 24 Februari 2017

KISAH SYEKH JALALUDDIN PADANG GANTING MELAWAN DUKUN SAKTI Oleh : Sadri Ondang Jaya

Di Aceh Singkil, ada sebuah pemukiman. Namanya, Gosong Telaga. Di pemukiman Gosong Telaga itu, terdapat kampung nelayan kembar tiga. Kerennya village twins three. Desa kembar tersebut, yaitu : Gosong Telaga Utara, Gosong Telaga Selatan, dan Gosong Telaga Timur. 

Tiga desa ini, sangat unik. Keunikan ini terlihat dari panorama alamnya yang rancak nan eksotis. Daratan kampungnya, dikelilingi sungai berbentuk angkare yang sebelah Baratnya ada Muara Anak Laut. Sedangkan sebelah Timurnya ada Muara Saragian. Penataan perkampungan, letak, dan kontruksi rumah-rumahnya pun teratur, bersih, nyaman, apik dan menarik.

Tiga ratus tahun lalu, di pemukiman itu pernah tinggal seorang ulama besar yang bernama Syekh Jalaluddin. Karena beliau berasal dari Padang Ganting, Sumatera Barat, masyarakat menambah lakap namanya menjadi Syekh Jalaluddin Padang Ganting.

Jalaluddin datang ke Gosong Telaga, semulanya sebagai pedagang berbagai komoditi antar pulau. Dalam persinggahannya beberapa kali di Gosong Telaga, sang guru menyaksikan perkembangan kehidupan keagamaan yang sangat memprihatinkan dan ganjil alias rada aneh.

Masyarakat Gosong Telaga, ketika itu, bukan saja malas melaksanakan ajaran Islam. Namun, adat-istiadat, budaya serta hidup dan kehidupan mereka sangat jauh melenceng dari ajaran Islam yang kaffah. Mereka percaya pada hal-hal yang syirik, takhyul, bid’ah, dan khurafat.

Untuk meluruskan hal tersebut, terpaksa Syekh Jalaluddin Padang Ganting menetap dan berdomisili di Gosong Telaga. Ia membangun rumah dan membuka pengajian di sebuah surau yang didirikannya sekaligus beliau menjadi guru dalam pengajian itu.

Selain mengajarkan ilmu syariat kepada murid-muridnya. Syekh Jalaluddin juga, mengajar ilmu aqidah, fikih, dan ilmu keislaman lainnya termasuk tarekat.

Dalam usaha mengembangkan ajaran Islam di Gosong Telaga, Syekh Jalaluddin Padang Ganting, sempat berdebat dengan dukun-dukun yang menganut aliran ilmu hitam.

Sebab, sebelum Syekh Jalaluddin datang ke Gosong Telaga, ilmu pendukunan aliran ilmu hitam (black magic) berkembang pesat dan merajalela di Gosong Telaga. Ada sijunde atau burung tuju, tuju galang-galang, gadam, gayung, santet, tinggam, dan berbagai macam penyakit ilmu sihir lainnya.

***
Ketika itu, di Gosong Telaga ada sosok dukun yang maha sakti. Kemampuan ilmu anta berantahnya luar biasa. Ia dukun yang melegenda. Raja ilmu gaib, biang semua keganjilan dan muara semua ilmu aneh.
Konon, salah satu “kelebihan” sang dukun ini, apabila ia pergi melaut, dengan kesaktian ilmunya, sang dukun bisa memanggil kawanan ikan supaya merapat ke perahunya. Kalau kawanan ikan telah menghampiri perahu dan berjibun datang, membuat si dukun yang juga pawang jaring ini, gembira alang kepalang.

Saat itulah sang dukun memerintahkan anak buahnya segera menebarkan jaring, setelah beberapa lama jaring mengendap di laut, jaring dicabut. Benar saja, hampir setiap mata jaring dipenuhi ikan atau jaring sudah temu ruang.

Lantas, mereka membibil (melepaskan ikan dari jaring). Setelah itu menebar jaring lagi, ribuan ikan pun nyangkut di jaring. Setelah puas dan palka hingga ke ceruk biduk sarat dengan ikan.

Nelayan yang dikumandoi sang dukun ini berangkat pulang, kembali ke perkampungan, sedangkan kawanan ikan di permukaan air laut masih berlaso-laso (laksa) mengitari biduk.

Yang namanya dukun, pasti memiliki sifat syirik. Sifat syirik alias dengki nan tercelah itu rupanya merasuki hati sang dukun. Lantas sang dukung menjuntaikan kakinya ke permukaan laut sembari mulutnya komat-kamit membaca mantera.

Anehnya, setelah sang dukun membaca mantera kawanan ikan yang tadinya tampak berlaksa-laksa di permukaan laut, hilang seketika, entah pergi ke mana. Seperti lenyap ditelan pusaran air laut.

Nelayan lain yang sudah terlambat atau tidak bersamaan menebar jaring dengan sang dukun, menjadi kecewa. Jaringnya, tidak seekor pun ditempuh ikan.

Keesokan harinya, begitu pulang melaut, yang berhasil menangkap ikan dalam jumlah banyak hanya biduk jaring yang dipawangi sang dukun saja. Sementara perahu jaring lain, kosong melompong.

Perkara ini, sering menimbulkan perselisihan yang tajam antar pawang. Bahkan, menjurus pada perkelahian dan dendam kusumat. Kalau seperti ini yang terjadi, sudah barang tentu berbagai ilmu mistik pun bergetayangan di jagat pertempuran antar dukun.

“Keinginan tertolak; Dukun pun bertindak.” Kalimat ini mewujud di pusaran asmosfir Kampung Gosong Telaga. Sehingga tak pelak lagi, penampak-penampakan dan penyakit-penyakit ‘aneh’ yang tidak bisa diterawang ilmu medis, bermunculan. Baik pada benda maupun pemilik benda itu.

***
Seorang pawang lain, dengan anggotanya pergi melaut. Malang bagi mereka, di tengah laut lepas, tiba-tiba ombak mendadak murkah dan langit mulai reduk. Perahu mereka oleng dan meliuk-liuk diterpa ombak dan badai dasyat.

Semua awak biduk menjadi ngerih ketakutan. Sementara itu, gumpalan halimun dan awan gelap terus bergerak menuju perahu dengan kilatan-kilatan petir yang membahana sambung menyambung dan tingkah-meningkah dengan suara guruh. Tanpa henti.

Dalam suasana seperti itu, tak ada pilihan bagi mereka kecuali menyonsong awan kelam itu untuk pulang atau mencari pulau, tempat berlindung. Hati mereka ketika itu, remuk redam tak berdaya. Seumpama diombang-ambingkan oleh tangan raksasa dan tangan itu seperti mengumpan perahu pada badai.

Dalam waktu singkat badai besar pecah dan angin puting beliung menggoyangkan perahu, membahana, tanpa ampun. Hujan sangat lebat dan suasana menjadi gelap gulita. Sambaran-sambaran kilat yang sangat dekat dengan perahu menimbulkan pemandangan yang menciutkan nyali.

Apalagi di laut lepas, sangat menyeramkan. Begitu perahu tenggelam, ombak terus menelan. Kalau sudah dalam perut laut, sudah barang tentu hati mulai ketakutan. Apalagi banyak hiu, lumba-lumba, dan ikan-ikan predator lainnya berkeliaran. Haup…! tubuh pun akan dicabik-cabiknya. Kemudian mulut ikan besar itu menelan kepingan-kepingan tubuh. Sungguh mengerihkan.

Semua anak buah jaring ketakutan. Ada yang teringat keluarga. Pokoknya, mereka betul-betul sadar, nyawa sudah berada di tangan malaikat maut.

Dengan suasana hati yang sangat ciut, tiba-tiba datang gelora angin puting beliung meliuk-liuk seperti rambut panjang yang digerai seorang dara jelita. Begitu angin yang berputar, meliuk-liuk menghujam mendekati perahu. Eeeat… sang dukun seenaknya dan dengan enteng memotong dengan tangannya angin yang menyerupai rambut tadi. Angin puting beliung pun putus menghilang, lenyap.

Kemudian, dengan enteng sang pawang berkata, “Ayo dayung perahu, sembari mendayung pejamkan mata. Nanti setelah saya suruh buka mata, baru dibuka.” Anak jaring pun mengikuti arahan pawangnya. Mendayung perahu sembari memejamkan mata. Tidak berapa lama mata terpejam, paling sepersekian menit, sang pawang menyuruh buka mata kembali.

Begitu pejaman mata terbuka. Aneh sungguh aneh, perahu sudah berada ke balik pulau yang aman dari badai. Padahal sekitar laut, awan hitam masih menebal, angin kencang masih membahana, belum ada tanda-tanda akan surut. Karena sudah berada di dekat pulau, awak jaring tidak merasa kuatir lagi dengan keadaan. Mereka bisa berlabuh, menunggu badai redah.

Begitulah, masyarakat sangat terpukau dengan ilmu pendukunan. Antara ilmu hitam dengan ilmu putih di Gosong Telaga, ketika itu, susah untuk dibedakan. Telah bercampur aduk.

Bahkan masyarakat beranggapan seolah-olah dukun yang menentukan segala hidup dan kehidupan manusia. Termasuk mematikan.

Namun, dengan ketekunan dan dakwah yang dilakukan dengan gencar oleh Abuya Syekh Jalaluddin Padang Ganting. Dibarengi pula dengan sifat-sifat mulia yang ditunjukkannya. Dukun-dukun tadi, takluk dan bertobat serta meninggalkan ilmu hitam.

Kemudian mereka menuntut ilmu keislaman pada Syekh Jalaluddin.Tuan Syekh mengajarkan ilmu keislaman pada masyarakat Gosong Telaga siang dan malam. Selama lebih kurang 40 tahun.

Untuk meyakinkan murid-murid terhadapnya, kebenaran Islam, Syekh Jalaluddin menyampaikan petuah.
“Kalau hidup mau selamat, hiduplah dengan dan dari ajaran al-Quran, al-Hadis, dan pendapat-pendapat ulama. Jangan mendekati syirik, takhyul dan pendukunan. Karena itu sama seperti kita menyembah berhala. Menyembah berhala, adalah perbuatan sesat. Kalau kita telah sesat iblis akan terus mengoda sampai kita terperosok ke dalam pelukannya. Hal ini membuat segala amal baik yang telah dikerjakan lenyap dan dosa kita pun akan menggunung. Dosa seperti ini, jelas tidak akan pernah diampuni Allah.”

Untuk meyakinkanan murid-muridnya yang sudah terlanjur mempercayai ilmu pedukunan aliran hitam. Abuya memberikan wasiat gaib. Yaitu, bila beliau wafat, murid-muridnya dipersilahkan menggali kuburannya.

“Kalian akan menyaksikan, ungkapan terbang burung, tinggal sangkarnya,” kata Syekh Jalaluddin.
Tujuh hari tuan Syekh wafat, tepatnya 2 Safar 1324 H, murid-muridnya membuktikan ucapan “bersayap” sang guru. Murid-muridnya menggali makam.

Benar saja, ternyata jasad guru tak ada lagi dalam liang lahat, raib entah kemana. Yang tinggal hanya papan keranda dan kain kafan saja.

Melihat fakta ini, murid-muridnya terperangah dan semakin takjub pada sang guru. Lantas, murid-muridnya tadi bertobat nasuha dan mengeramatkan makam Syekh Jalaluddin Padang Ganting yang secara jahir terletak di Gosong Telaga.

Karena itu, banyak orang mengakui bahwa yang menginsyafkan dan menobatkan masyarakat Gosong Telaga kepada ajaran Islam yang benar dan kaffah, adalah Syekh Jalaluddin.

Syekh Jalaluddin pulalah yang menggubah tradisi-tradisi, adat-istiadat dan peradaban di Gosong Telaga menjadi sesuatu yang islami. Sehingga semangat keagamaan di Gosong Telaga menjadi bergairah sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasulullah.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar