Rabu, 15 Maret 2017

Menanti Jalan Singkil-Trumon

Wed, Apr 27 th 2011, 08:03

Sadri Ondang Jaya - Opini
HARI ini, Rabu, 27 April 2011, Kabupaten Aceh Singkil memperingati hari jadi ke-XII. Selama kabupaten ini berdiri, ada salah satu keinginan masyarakat yang belum terealisasi. Yaitu, pembangunan ruas jalan baru Singkil-Bulusema, Trumon (Aceh Selatan) melalui lintas Kuala Baru.

Pembangunan infrastruktur ini, agaknya perlu mendapat respons dan dukungan positif dari semua pihak. Terutama, dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh. Kalau bisa ini menjadi “kado istimewa” untuk Aceh Singkil dalam usianya yang ke dua belas tahun ini.

Sebab, pembangunan jalan di ceruk pesisir pantai ini, sangat strategis, urgensi dan segala-galanya bagi masyarakat Aceh Singkil. Dengan adanya jalan ini bukan saja membuka Aceh Singkil dan Aceh Selatan dari keterisoliran. Tetapi juga akan menumbuhkan sentra-sentra baru perekonomian rakyat.

Masyarakat yang ingin menjual hasil cocok tanam dan alam ke daerah lain pun menjadi lebih mudah. Sehingga pertumbuhan dan perkembangan ekonomi rakyat kawasan jalan di dua daerah itu, akan lebih cepat dan signifikan. Dan rakyat pun semakin makmur.

Karena ketidakadaan jalan terebos, yang datang ke Aceh Singkil, selama ini, adalah orang Singkil sendiri. Oleh sebab pulang kampung--melihat sanak famili--atau karena setelah bepergian dari daerah lain. Kalau pun ada orang lain yang berkunjung ke Singkil sangat minim dan karena ada keperluan. Misalnya, keperluan dinas. Setelah urusan selesai, mereka balik kanan, pulang ke daerah asal, dengan melalui pintu masuk (datang).

Datang ke Singkil ibarat menuju rumah di gang buntu, masuk dari gang itu dan keluar dari gang itu lagi. Aceh Singkil tidak mempunyai jalan penghubung (punya akses) dengan daerah-daerah lain di Aceh. Singkil bagaikan kota yang kurang gairah. Akibatnya, membuat akselerasi dan dinamika penduduk dan pertumbuhan ekonomi masyarakat lambat serta akses informasi dan transpotasi minim. Sehingga dari aspek ini, daerah yang berjuluk negeri Syekh Abdurrauf, tergolong daerah terbelakang dari 23 kabupaten/kota yang ada di Aceh.

Jika ruas jalan baru sepanjang 50,8 km ini dibangun, Singkil tidak lagi terisolir. Ia akan menjadi kota transit antara beberapa kabupaten/kota. Masyarakat pesisir pantai Sumatera Utara yang mau berpergian ke daerah pesisir pantai Barat Aceh menjadi lebih mudah. Jarak dan waktu tempuh pun menjadi sangat dekat dan singkat dibandingkan melalui jalan Subulussalam-Aceh Selatan.

Kalau dari Singkil menuju Tapaktuan melalui Kota Sibulussalam mencapai jarak tempuh sekitar 157 km, sedangkan dari Singkil ke Tapaktuan melalui jalan yang bakal dibangun (Kuala Baru-Bulusema), hanya 50 km saja. Jadi bisa diperpendek jarak mencapai 107 km.

Pembangunan ruas jalan ini, sebagiannya melintasi kawasan ekosistem Leuser (KEL). Sehingga ada pihak-pihak “menghadangnya” dengan mengatasnamakan “cinta lingkungan”. Mereka berkampanye, bila jalan ini dibangun lingkungan akan rusak. KEL merupakan paru-paru dunia.

Propaganda itu benar. Namun selama ini, mereka lupa dengan kemiskinan yang telah berpuluh-puluh tahun mendera masyarakat karena ketidakadaan akses ke luar (terisolir). Maunya, ada keseimbangan. Manusia sejahtera lingkungan tetap lestari.

Dulu, Papua disebut sebagai bola Asia-Pasifik yang harus diselamatkan dan dijaga kelestarian hutannya. Kanyataan hari ini di sana hutan telah rusak, karena telah berdiri Freeport yang keuntungannya sangat minim bagi rakyat.

Seorang teman nyeletuk, jangan-jangan “pahlawan” lingkungan dan orang luar (Eropa) itu, menganjurkan pelestarian kawasan Ekosistem Leuser, bertujuan, agar potensi alam tidak pernah dinikmati rakyat. Akhirnya, rakyat tetap miskin, kerdil, dan lemah. Sehingga, mudah dijajah.

Bijak
Dari diskursus di atas, pembangunan ruas jalan baru ini, memerlukan pertimbangan, analisa yang matang dan bijak. Prinsif kearifan dan kehati-hatian perlu diterapkan. Sebab, itu tadi, sebagian ruas jalan yang mau dibangun, akan melalui titik hutan suaka marga satwa.

Karena ini kawasan hutan lindung, paling tidak terlebih dulu harus dilakukan pertimbangan aspek hukum, teknis, sosial, ekonomi, dan risiko yang terkait dengan kondisi sekitarnya.Tegasnya, pembangunan jalan ini, harus selaras dengan faktor ekologis, sosiologis, aspek formil dan teknisnya.

Ini dilakukan karena pembangunan jalan terkait dengan kondisi lahan dan geologi serta isu internasional tentang pelestarian lingkungan hidup. Banyak sekali aturan-aturan dan “opini” yang menganjal pembangunan jalan ini. Kalau pembangunan jalan dilanjutkan semata-mata mengandalkan “semangat” membangun agar terbebas dari keterisoliran, dan keinginan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat, tanpa memperhatikan aspek-aspek lain. Hal ini akan menjadi, preseden buruk. Bahkan “bumerang”.

Bisa-bisa kita akan digugat. Sebab, pembangunan jalan ini telah berbenturan dengan berbagai kepentingan dan pemanfaatan kawasan hutan lindung negara. Apalagi KEL, sudah menjadi isu dan milik dunia internasional. Dari aspek pertumbuhan ekonomi dan sosiologis, pembangunan ruas jalan Singkil-Blusema sangat urgensif dan mendesak. Kalau dipertanyakan pada masyarakat, pembangunan jalan ini sangat penting. Masyarakat berasumsi, sejatinya tujuan pembangunan, adalah membangun manusia. Bukan hewan atau tumbuhan. Apa artinya kemerdekaan dan pembangunan, kalau hidup masyarakatnya melarat, terlunta-lunta, dan miskin papa. Sementara monyet, harimau, gajah, tumbuhan, dan satwa lainnnya hidup dalam kesenangan. Ini jelas, sesuatu yang absurd.

Solusi
Tidak bisa dipungkiri, adanya akses transportasi di kawasan hutan, dapat menyebabkan maraknya pencurian kayu dan KEL akan luluh lantak. Namun, ilegal loging ini, tidak perlu dikuatirkan. Justru masyarakat Aceh Singkil, secara turun-temurun telah menjaga dan melestarikan hutan (Leuser).

Kalau hutan Aceh Singkil rusak, yang pertama menderita adalah masyarakat setempat. Apalagi pembangunan ruas jalan Singkil-Bulusema merupakan kebutuhan dan kehendak yang kuat dari masyarakat. Jadi segala konsekuensi dan solusi yang konstruktif pasti mendapat dukungan dari mereka.

Kemudian ada tawaran jalan keluar yang saling menguntungkan (win-win solusion). Pertama, pembangunan ruas jalan disesuaikan saja dengan kebutuhan publik. Tidak usah lebar jalan sampai 12 meter. Cukup 6 meter atau 4,5 meter saja. Dua, sepanjang jalan, di pingir kanan dan kirinya, dibuat pagar. Agar masyarakat tidak merambah kawasan hutan. Tiga, perlu partisipasi masyarakat dalam menjaga dan melestarikan hutan. Empat, dibuat perangkat aturan yang sifatnya memberikan penghargaan kepada yang melestarikan dan menanam hutan. Kemudian memberikan hukuman denda bagi siapa yang merambah hutan.

Prinsif keseimbangan harus menjadi “panglima”, pembangunan jalan Singkil-Bulusema tetap jadi. Satwa di KEL pun tidak terganggu. Pepatah “ibarat mengambil rambut dalam tepung” berlaku di sini.

* Penulis adalah pengurus KNPI Aceh Singkil.

Sumber : Serambinews.com

Selasa, 14 Maret 2017

AKTIFIS LUPA SEJARAH ; "BESAR KEPALA"

Sabtu, 04 Maret 2017

Cerpen PRAHARA DI JEMBATAN PELANGI Oleh : Sadri Ondang Jaya



Di kampungku, ada sebuah jembatan berkonstruksi kayu. Oleh para pemuda, jembatan itu dilumuri cat warna-warni. Sehingga menyerupai warna pelangi.
Karena menyerupai pelangi, warga menamai jembatan itu dengan sebutan Jembatan Pelangi.
Nama itu pun, telah kesehor ke kampung-kampung tetangga. Bahkan, telah mendunia.  Masuk dalam road map Google.
***
Setiap hari, apalagi menjelang rembang petang. Jembatan sepanjang 45 meter, banyak dikunjungi para kaum abege.
Tak jarang, kalangan brondong tua pun acap datang ke sini dengan berbagai dalih.
Ketika berada di jembatan, ada-ada saja tingkah mereka. Ada yang bershelfie ria mengggunakan camera hp smart phone dengan membidikan vokus cameranya ke berbagai objek.
Termasuk objek ‘makhluk hidup’ sang abege-abege yang baru mekar. Mereka berpose dengan berbagai gaya.
Tak jarang menampilkan gestur dan mimik tubuh dengan lingkaran senyum yang yahud nan aduhai.
Ada pula yang menampakkan aura wajah  yang mengudang sejuta pesona. Pokoknya,  gaya mereka bak peragawati yang telah go publik.
Ada pula bergaya foto model yang berlenggak-lenggok, memeragakan karya seorang desainer di atas catwalk.
Selain itu, di jembatan tadi, pengunjung tak sedikit yang hanya duduk-duduk saja. Sekadar ngaso, melepas penat, dan lelah.
Tak mengherankan, ada juga pengunjung Jembatan Pelangi, yang menjuntai-juntaikan sambil mencecahkan kakinya ke air yang mengalir. Sehingga air bergemericik membentuk pusaran kiambang bertaut-tautan.
***
Bila rembang petang semakin temaram. Angin sepoi membelai gigilnya senja, Jembatan Pelangi seolah-olah mengajak pengunjung untuk berlama-lama “bercumbu”. Dengan titik klimak, lembayung senja jatuh kepangkuan.
Pokoknya, sejak dibangunnya Jembatan Pelangi, telah menjadi destinasi wisata murah meriah di kampungku. Nama kampung pun terviralisasi. Terkenal ke seantero negeri.
Karena setiap kali pengunjung datang dan bershelfie, hasil shelfie mereka  di upload  ke facebook, instagram, twitter atau bloger.
***
Beberapa hari lalu, Jembatan Pelangi, menjadi trending topik. Bukan karena jembatan telah ditata semakin apik, indah, dan menarik atau pungunjungnya semakin membludak
 Melainkan, ada warga yang memprovokasi keberadaan Jembatan Pelangi. Akibatnya,  menimbulkan “prahara” yang memecah belah warga.
Warga terpecah menjadi dua kubu. Ada yang pro keberadaan Jembatan Pelangi. Ada pula yang kontra.
Munculnya prahara, dipicuh sikap sosok pria setengah baya yang tak setuju dengan keberadaan Jembatan Pelangi. Tragisnya, ia ingin mengganti cat jembatan dengan warna hitam.
Alasannya, jembatan yang dicat menyerupai pelangi, telah mengundang mudharat. Orang berbondong-bondong berkunjung ke kampungku, telah membawa sial.
Jika ini berlangsung lama, pengunjung tidak saja mendatangi jembatan. Melainkan, akan  terus merangsek ke bibir pantai yang berjarak terpaut 800 meter saja dari jembatan.
Tak jauh dari bibir pantai,  ada pula terdapat arena yang suci dan sakral, yakni makam Syekh Aulia DiTampat.
Makam Syekh Aulia DiTampat yang panjangnya 9 meter dan dianggap warga keramat, bisa-bisa dikotori dengan maksiat ala dajjal.
Sedangkan warga yang pro terhadap cat jembatan warna-warni, tetap menginginkan dan berharap supaya pengunjung terus berdatangan.
Kampung menjadi ramai, jika ramai, aktifitas ekonomi warga akan berdenyut kencang. Warga pun menjadi makmur.
Tinggal lagi, bagaimana menyiasati agar orang yang berkunjung tak berbuat maksiat dan apa yang dikuatirkan tak terjadi. Tentu ini, perlu regulasi atau paso-paso.
***
Sikap pro dan kotra terhadap Jembatan Pelangi, terus bergelinding di tengah-tengah warga. Ibarat bola panas. Jika tak cermat menyiasatinya, ia akan membakar negeri.
Kepala desa, sebagai pimpinan warga, mulai mencium riak-riak sosial ini. Ia tak tinggal diam. Lalu, mengumpulkan dan mengajak tokoh-tokoh dan warga yang pro dan kontra untuk urun rembuk membahas persoalan ini.
***
Saat  sedang kumpul-kumpul di balai desa yang tak jauh dari Jembatan Pelangi, tiba-tiba segerombolan warga mendatangi jembatan dan berteriak-teriak:
 “Ganti cat jembatan. Ubah dengan dengan warna hitam. Pengunjung tak boleh datang lagi ke sini,” teriak Wasila seorang warga seakan baru mendapat wangsit dari ruh leluhurnya.
Massa yang jumlahnya tak seberapa itu, terus merangsek menuju jembatan. Ada juga di antara mereka yang  mulai mengecat papan jembatan dengan warna hitam.
Mendengar dan melihat teriakan dan tingkah laku kubu yang kontra, kubu yang pro terutama para pemuda, datang menghadang dan melarang pengecatan.
Jembatan menjadi ramai. Antara warga yang kontra dan pro berteriak-teriak dan berhadap-hadapan. Saling membelalakan mata. Tolak-tolakan pun terjadi. Suasana menjadi panas dan tegang. Adu jotos pun tak terelakkan.
Kepala desa, tokoh-tokoh masyarakat, dan warga lain yang melihat dan mendengar praha itu, tergopo-gopo menaiki jembatan. Ingin melerai perkelahian.
Lalu jembatan dinaiki sehingga kelebihan tonase. Membuat tiang-tiang jembatan melentur, berderak, dan sempoyongan.
“Awas jembatan roboh,” teriakku dari kejauhan. Belum sempat lima minit aku ngomong. Jembatan Pelangi pun ambruk, roboh.
Warga, tokoh-tokoh masyarakat termasuk kepala desa, tercebur ke sungai. Untunglah mereka terampil berenang sehingga tak ada yang tenggelam. Namun, pakaian mereka basah kuyub.
***
Esok harinya, heboh. Jembatan Pelangi telah roboh. Media massa termasuk sosmed, memberitakan dari berbagai sudut pandang. Tak lupa, melampirkan foto-foto.
Sedangkan aku, sebagai wartawan media online, menulis sisi lain. Yaitu, dari hasil wawancara dengan tukang jembatan.
Tukang mengatakan, jembatan ambruk, bukan karena kelebihan tonase. Tetapi, karena tiang-tiang penyanggah jembatan belum dipasang baut. Hanya baru dililit dengan kawat saja.
Sementara Wasila sang provokator, saat ditanya mengapa ia menggerakkan massa. Ia pun menjawab enteng, “Ini bukan sensasi. Ini adalah cara saya mengungkap supaya pembangunan jembatan ini tak asal-asalan.
***
Alamak. Entengnya jawaban dan alasan Wasila sang provokator. Padahal, prahara telah terjadi. Warga terpecah. Dendam terenda. Jembatan Pelangi telah roboh. Warga yang ke ladang dan berziarah terpaksa mengurut dada. Apakah jembatan kembali dibangun atau akan kembali naik perahu seperti sedia kala? Hanya alam nyata yang menjawabnya.[]