Kamis, 03 September 2015

Di Lapo Kopi; Dari Makan Bubur Ketan, Mehota Politik Hingga Pembangunan Karakter




Di Lapo Kopi;
Dari  Makan Bubur Ketan, Mehota Politik
 Hingga Pembangunan Karakter
Oleh : Sadri Ondang Jaya
Jangan pernah mencari buah kopi yang masih muda di Aceh Singkil. Sukar menemukannya. Bahkan, apabila buah kopi ini dipergunakan untuk obat pasien yang sedang sekarat pun: Ya ampun, untuk mendapatkannya luar biasa susah. Mengapa? Ini karena di tanah Aceh Singkil, jarang tumbuh tanaman kopi, seperti daerah tetangganya Sidikalang.
 Ada memang beberapa orang petani yang memaksakan diri menanam batang kopi. Pohon kopinya hidup. Namun pertumbuhan dan perkembangannya  tidak sempurna. Pohonnya tidak subur seperti layaknya tanaman kopi biasa. Aneh, jangankan buah kopi yang muncul, bunganya pun enggan nongol.
        Sebenarnya bukan batang kopi yang tidak mau tumbuh. Melainkan tanah titisan Syekh Abdurrauf ini yang tidak mau menerimanya. Dengan kata lain, tanah Aceh Singkil bukanlah habitat yang elok untuk tanaman kopi.

           Karena secara geografis dan ekologis, Aceh Singkil yang luasnya sekitar 2.187 km2, termasuk  daerah yang berdataran rendah, sedikit perbukitan dan berada di lekuk bibir pantai plus daerah kepulauan.

          Posisi Aceh Singkil yang demikian, membuat daerah ini berhawa panas. Suhu udaranya setiap hari mencapai 27-36 derajat Celsius. Suhu  yang demikian panas, tidak cocok ditumbuhi tanaman kopi. Apa lagi udara Aceh Singkil, banyak mengandung uap air asin yang selalu ditiup angin dari laut.

          Hamparan, dataran tanah Aceh Singkil menurut pakar botani, lebih cocok ditanam kelapa sawit dan karet. Sehingga tidak mengherankan, kelapa sawit ini telah menjadi tanaman primadona warga. Bahkan, telah menjadi icon daerah.

       Apabila kita menyelusuri jalan-jalan desa di Aceh Singkil di kiri-kanan jalan, sejauh mata memandang, kita menyaksikan berpuluh-puluh hektar  tanaman  sawit. Ada yang telah tua berbuah lebat dan banyak pula yang masih remaja yang berbunga pasir.

        Sawit ini, di samping punya masyarakat, lebih banyak lagi pula milik perusahaan. Malah di Aceh Singkil, ada enam perusahaan bonafid yang membuka usaha perkebunan kelapa sawit  lengkap dengan pabrik CPO-nya. Tersebutlah di antaranya perusahaan peninggalan penjajah Belanda, PT. Socpindo namanya.
                                                           ***
       Kendati tanaman kopi tidak mau tumbuh di Aceh Singkil. Akan tetapi, warga  yang berpenduduk sekitar seratus ribu lebih itu, tidak ada yang tidak mengenal buah kopi. Dengan kata lain, buah kopi ini bukanlah sesuatu yang asing bagi mereka.

      Lazimnya daerah-daerah pesisir pantai, termasuk di Aceh Singkil, terutama daerah Pulau Banyak, Kuala Baru, Singkil, dan Gosong Telaga, buah kopi telah dijadikan bahan penyedap minuman. Bahkan tradisi minum air memakai rempah kopi telah  menjadi budaya.

     Bagi mereka kalau tidak minum kopi sehari barang segelas, dunia ini serasa berputar. Kepala pening, nyut-nyut, dan otak tidak encer berpikir. Apalagi bagi nelayan, saat  melaut mencari ikan, kalau tidak minum kopi, badan tidak segar alias lesu saat diterpa sang bayu.

     Karena itu tidaklah sesuatu yang aneh, apabila di perkampungan-perkampungan Aceh Singkil, kita banyak menemukan kedai kopi. Warga setempat menyebutnya dengan nama lapo kopi.

      Konon, istilah Lapo kopi ini  dikutip dari akronim ‘La yang berarti lapangan dan Po berarti politik. Jadi lapo kopi, adalah lapangan politik. Tempat warga berhujah, berdiskusi, mehota dari membahas persoalan remeh temeh, berbagai perkembangan, dan isu-isu santer, tak terkecuali juga,  persoalan kemasyarakatan.

       Bahkan, berbagai masalah pemerintah, Negara, dan politik ke kinian acap “dikuliti” di lapo kopi ini. Kalau lagi musim Pemilu, kontenstan sering menjadikan lapo kopi sebagai tempat kampanye yang murah meriah.

      Minimal di lapo kopi, mereka mempersamakan persepsi terhadap persoalan yang ada. Dalam menyamakan persepsi ini kerap terjadi debat kusir atau pertengkaran kecil-kecilan. Layaknya, seperti acara talkshow di televisi. Masing-masing memainkan peran. Ada berperan sebagai pengulas, penanya, dan ada pula sebagai komentator. Pokoknya, lapo kopi ini selalu seru, riuh, dan ramai setiap hari.

       Di lapo kopi inilah, biasanya masyarakat duduk berkumpul dan berleha-leha, “membunuh rasa suntuk” baik waktu siang  maupun malam hari. Mereka menghabiskan waktu duduk berjam-jam sembari menenggak segelas kopi, mengisap beberapa batang rokok plus makan-makanan ringan berupa bubur pulut ketan,  goreng-gorengan dan lain-lain.

       Di beberapa lapo kopi yang terdapat di Gosong Telaga dan Kuala Baru, ada kuliner khas  untuk sarapan pagi. Yaitu, ketan makan dengan lauk sambam atau ada juga ketan yang dikudok dengan ikan goreng balado. Maknyusss!

       Menariknya, di lapo kopi,  di antara pengunjung, nyaris tidak terlihat adanya perbedaan status dan strata sosial. Siapa yang besar suara dan pandai mengolah kalimat serta sedikit pintar beretorika,  perkataannya sering didengar. Malah, ungkapannya pun acap dijadikan rujukan. Apalagi kalau dia mau merogoh kantongnya, membayar minum kopi dan rokok pengunjung. Ia akan menjadi ‘bintang’ di lapo kopi itu.
                                                                        ***

       Selain mehota, pengunjung ada juga yang bermain catur, main halma. Malah  akhir-akhir ini,  marak dan sedang digemari main batu domino. Entah kapan dan siapa yang membawa permainan yang membangun imajinasi ini ke Aceh Singkil, banyak orang yang tidak bisa menjawabnya dengan pasti. Yang jelas, permainan ini telah menjadi tradisi di berbagai lapo kopi yang ada di Aceh Singkil.

      ‘Tidaklah ramai dan semarak sebuah lapo kopi, kalau lapo tersebut tidak menggelar permainan batu domino. Karenanya di sebuah lapo kopi, banyak ditemukan lapak mainan batu domino.

       Permainan yang menggunakan kubus berukuran kecil empat persegi panjang dengan tulisan titik-titik yang ditafsirkan sebagai angka ini, dalam proses permainannya selalu dihempas. orang Aceh menyebutnya dengan fe batee. Batu ini terus dihempas oleh pemain yang terdiri dari empat orang. Permainan fe batee ini, oleh ibu-ibu di Aceh Singkil disebut, menokok batu batu tak salase-salase.

        “Tak…tak…tak,” begitu bunyi hempasan batu domino yang terbuat dari bahan plastik campur fiber memecah kehening malam. Suara ini pun acap terdengar  tingkah meningkah dengan bunyi jangkrik, cacing tanah atau binatang malam lainnya.

Memang, para pemain batu domino tidak bertaruh uang. Melainkan mereka hanya bertaruh jongkok. Ada juga taruhan orang yang kalah membayarkan kopi yang menang. Taruhan seperti ini lazim mereka dilakukan tanpa beban. Mereka berpandangan, hanya sekadar ‘penikmat’ permainan.

Bila dicermati lebih dalam, peran lapo kopi sangat besar dalam pembangunan. Banyak ide-ide pekerjaan besar dan monumental yang diracik, dimatangkan, dan dikemas dalam diskusi lapo kopi. Lapo kopi menjadi ajang musyawarah pembangunan (Musrenbang). Misalnya, pembangunan masjid, jalan desa dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Tidak jarang, persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan acap dibicarakan di lapo kopi.

Budaya lapo kopi ini, tanpa disadari telah membentuk karakter yang melekat pada masyarakat Aceh Singkil. Mereka kuat dalam berpikir dan daya ingat, karena pengaruh seringnya bermain catur dan main batu domino. Pintar berdebat dan beretorika, karena acap berdiskusi di lapo kopi membahas berbagai persoalan. Konon petinggi dan orang-orang hebat di Aceh Singkil banyak yang berasal dari alumni ‘sekolah’ lapo kopi ini.

Singkatnya, lapo kopi di Aceh Singkil, telah menjadi multi fungsi. Sebagai tempat jualan air kopi dan penganan lainnya, kohesi sosial, tempat mehota sekaligus Musrenbang pembangunan, sekolah sosial dan juga sebagai ajang bisnis rumahan.
***
Sebagai ajang bisnis rumahan, lapo kopi yang ada di Aceh Singkil, telah mengindikasikan bahwa dari sinilah titik  gerak ekonomi dimulai. Paling tidak, lapo kopi ini menunjukkan tingginya semangat warga dalam mencari nafkah untuk menyambung hidup atau tetap survive.

Karena lumrahnya sebuah lapo kopi dan orang-orang yang berada di dalamnya, sejak pukul empat pagi, telah bangun dan melakukan aktifitas bisnis. Dari menyalakan api, menjarang air, membuat penganan sarapan, dan membuka pintu lapo kopi hingga melayani pengunjung yang mau makan-minum di lapo kopi tersebut.

Ada sebuah falsafah hidup yang dianut pedagang lapo kopi di Aceh Singkil, ‘kalau mau jualan kopi, bersiap-siaplah membuka warung kopi sebelum orang lain bangun dan aktifitas lain dimulai. Kalau  tidak mau melakukan itu, jangan pernah membuka lapo kopi dan siap-siaplah menerima umpatan.’
                                                            ***
  
 Umumnya, tradisi minum kopi di daerah-daerah lain termasuk di Aceh disajikan dengan cara memasukkan biji kopi yang telah diracik dan dihalusi dengan mesin penggiling ke dalam cawan besar yang di dalamnya telah tersedia air panas. Lantas air yang telah dicampur bubuk kopi ini disaring lagi dengan saringan berbentuk kaus kaki. Saringan ini, secara berkala diangkat-angkat atau ditarik-tarik ke atas barang dua atau tiga kali. Kemudian barulah air kopi itu dimasukkan lagi ke dalam ceret melalui saringan yang telah dipasang.

          Lantas dari ceret inilah air kopi dituangkan pada gelas yang ditaburi gula. Lalu disajikan kepada penggunjung warung kopi yang memesan. Jadi, proses penyaringan air kopi berlangsung sebanyak dua kali.

            Berbeda dengan penyajian kopi di lapo kopi  Aceh Singkil. Biji kopi, terlebih dahulu digongseng hingga bewarna hitam arang. Setelah itu, biji kopi ini ditumbuk mengunakan alu dan lesung atau lumpang. Sebelum ditumbuk, biji kopi tadi ditaburi dengan sedikit beras pulut, barulah ditumbuk hingga halus dan menjadi serbuk. Sebuk ini diayak hingga buah kopi halus seperti tepung.

Nah, serbuk tepung kopi inilah yang disedu di lapo-lapo kopi di Aceh Singkil. Penyeduan ini, masih ala tradisional, unik, dan ala rumahan. Kopi diseduh  dengan cara memasukkan bubuk kopi dan gula secukupnya ke dalam gelas. Setelah itu, baru dituangkan air mendidik yang panasnya luar biasa. Air panas inilah secara alamiah langsung merebus kopi.

Setelah dibuat tadah berupa piring di bawah gelas, pelayan pun menghidangkan kepada pengunjung. Pengunjung mengaduk kopinya dengan sendok. Ketika diaduk bubuk kopi terasa pekat menyatu dengan air dan gula.

Jika penikmat menyerumput air kopi, ampas serbuknya turut bercampur dengan air yang diminum. Di titik inilah, minum kopi, terasa mantap dan nikmat. Kopi seperti ini, kalau di Aceh Singkil namanya kopi pakek. Di daerah lain, dinamakan lumpur atau kopi tubruk. Konon di  Arab  lebih dikenal dengan sebutan turkish coffee. Nah, bagi penggemar kopi, kunjungilah lapo kopi Aceh Singkil. Dahaga coffein Anda akan dimanjakan di sana.[]

Sadri Ondang Jaya, S.Pd
Guru dan Penulis Buku Singkil Dalam Konstelasi Sejarah Aceh (SDKSA)