Jumat, 24 Februari 2017

KISAH SYEKH JALALUDDIN PADANG GANTING MELAWAN DUKUN SAKTI Oleh : Sadri Ondang Jaya

Di Aceh Singkil, ada sebuah pemukiman. Namanya, Gosong Telaga. Di pemukiman Gosong Telaga itu, terdapat kampung nelayan kembar tiga. Kerennya village twins three. Desa kembar tersebut, yaitu : Gosong Telaga Utara, Gosong Telaga Selatan, dan Gosong Telaga Timur. 

Tiga desa ini, sangat unik. Keunikan ini terlihat dari panorama alamnya yang rancak nan eksotis. Daratan kampungnya, dikelilingi sungai berbentuk angkare yang sebelah Baratnya ada Muara Anak Laut. Sedangkan sebelah Timurnya ada Muara Saragian. Penataan perkampungan, letak, dan kontruksi rumah-rumahnya pun teratur, bersih, nyaman, apik dan menarik.

Tiga ratus tahun lalu, di pemukiman itu pernah tinggal seorang ulama besar yang bernama Syekh Jalaluddin. Karena beliau berasal dari Padang Ganting, Sumatera Barat, masyarakat menambah lakap namanya menjadi Syekh Jalaluddin Padang Ganting.

Jalaluddin datang ke Gosong Telaga, semulanya sebagai pedagang berbagai komoditi antar pulau. Dalam persinggahannya beberapa kali di Gosong Telaga, sang guru menyaksikan perkembangan kehidupan keagamaan yang sangat memprihatinkan dan ganjil alias rada aneh.

Masyarakat Gosong Telaga, ketika itu, bukan saja malas melaksanakan ajaran Islam. Namun, adat-istiadat, budaya serta hidup dan kehidupan mereka sangat jauh melenceng dari ajaran Islam yang kaffah. Mereka percaya pada hal-hal yang syirik, takhyul, bid’ah, dan khurafat.

Untuk meluruskan hal tersebut, terpaksa Syekh Jalaluddin Padang Ganting menetap dan berdomisili di Gosong Telaga. Ia membangun rumah dan membuka pengajian di sebuah surau yang didirikannya sekaligus beliau menjadi guru dalam pengajian itu.

Selain mengajarkan ilmu syariat kepada murid-muridnya. Syekh Jalaluddin juga, mengajar ilmu aqidah, fikih, dan ilmu keislaman lainnya termasuk tarekat.

Dalam usaha mengembangkan ajaran Islam di Gosong Telaga, Syekh Jalaluddin Padang Ganting, sempat berdebat dengan dukun-dukun yang menganut aliran ilmu hitam.

Sebab, sebelum Syekh Jalaluddin datang ke Gosong Telaga, ilmu pendukunan aliran ilmu hitam (black magic) berkembang pesat dan merajalela di Gosong Telaga. Ada sijunde atau burung tuju, tuju galang-galang, gadam, gayung, santet, tinggam, dan berbagai macam penyakit ilmu sihir lainnya.

***
Ketika itu, di Gosong Telaga ada sosok dukun yang maha sakti. Kemampuan ilmu anta berantahnya luar biasa. Ia dukun yang melegenda. Raja ilmu gaib, biang semua keganjilan dan muara semua ilmu aneh.
Konon, salah satu “kelebihan” sang dukun ini, apabila ia pergi melaut, dengan kesaktian ilmunya, sang dukun bisa memanggil kawanan ikan supaya merapat ke perahunya. Kalau kawanan ikan telah menghampiri perahu dan berjibun datang, membuat si dukun yang juga pawang jaring ini, gembira alang kepalang.

Saat itulah sang dukun memerintahkan anak buahnya segera menebarkan jaring, setelah beberapa lama jaring mengendap di laut, jaring dicabut. Benar saja, hampir setiap mata jaring dipenuhi ikan atau jaring sudah temu ruang.

Lantas, mereka membibil (melepaskan ikan dari jaring). Setelah itu menebar jaring lagi, ribuan ikan pun nyangkut di jaring. Setelah puas dan palka hingga ke ceruk biduk sarat dengan ikan.

Nelayan yang dikumandoi sang dukun ini berangkat pulang, kembali ke perkampungan, sedangkan kawanan ikan di permukaan air laut masih berlaso-laso (laksa) mengitari biduk.

Yang namanya dukun, pasti memiliki sifat syirik. Sifat syirik alias dengki nan tercelah itu rupanya merasuki hati sang dukun. Lantas sang dukung menjuntaikan kakinya ke permukaan laut sembari mulutnya komat-kamit membaca mantera.

Anehnya, setelah sang dukun membaca mantera kawanan ikan yang tadinya tampak berlaksa-laksa di permukaan laut, hilang seketika, entah pergi ke mana. Seperti lenyap ditelan pusaran air laut.

Nelayan lain yang sudah terlambat atau tidak bersamaan menebar jaring dengan sang dukun, menjadi kecewa. Jaringnya, tidak seekor pun ditempuh ikan.

Keesokan harinya, begitu pulang melaut, yang berhasil menangkap ikan dalam jumlah banyak hanya biduk jaring yang dipawangi sang dukun saja. Sementara perahu jaring lain, kosong melompong.

Perkara ini, sering menimbulkan perselisihan yang tajam antar pawang. Bahkan, menjurus pada perkelahian dan dendam kusumat. Kalau seperti ini yang terjadi, sudah barang tentu berbagai ilmu mistik pun bergetayangan di jagat pertempuran antar dukun.

“Keinginan tertolak; Dukun pun bertindak.” Kalimat ini mewujud di pusaran asmosfir Kampung Gosong Telaga. Sehingga tak pelak lagi, penampak-penampakan dan penyakit-penyakit ‘aneh’ yang tidak bisa diterawang ilmu medis, bermunculan. Baik pada benda maupun pemilik benda itu.

***
Seorang pawang lain, dengan anggotanya pergi melaut. Malang bagi mereka, di tengah laut lepas, tiba-tiba ombak mendadak murkah dan langit mulai reduk. Perahu mereka oleng dan meliuk-liuk diterpa ombak dan badai dasyat.

Semua awak biduk menjadi ngerih ketakutan. Sementara itu, gumpalan halimun dan awan gelap terus bergerak menuju perahu dengan kilatan-kilatan petir yang membahana sambung menyambung dan tingkah-meningkah dengan suara guruh. Tanpa henti.

Dalam suasana seperti itu, tak ada pilihan bagi mereka kecuali menyonsong awan kelam itu untuk pulang atau mencari pulau, tempat berlindung. Hati mereka ketika itu, remuk redam tak berdaya. Seumpama diombang-ambingkan oleh tangan raksasa dan tangan itu seperti mengumpan perahu pada badai.

Dalam waktu singkat badai besar pecah dan angin puting beliung menggoyangkan perahu, membahana, tanpa ampun. Hujan sangat lebat dan suasana menjadi gelap gulita. Sambaran-sambaran kilat yang sangat dekat dengan perahu menimbulkan pemandangan yang menciutkan nyali.

Apalagi di laut lepas, sangat menyeramkan. Begitu perahu tenggelam, ombak terus menelan. Kalau sudah dalam perut laut, sudah barang tentu hati mulai ketakutan. Apalagi banyak hiu, lumba-lumba, dan ikan-ikan predator lainnya berkeliaran. Haup…! tubuh pun akan dicabik-cabiknya. Kemudian mulut ikan besar itu menelan kepingan-kepingan tubuh. Sungguh mengerihkan.

Semua anak buah jaring ketakutan. Ada yang teringat keluarga. Pokoknya, mereka betul-betul sadar, nyawa sudah berada di tangan malaikat maut.

Dengan suasana hati yang sangat ciut, tiba-tiba datang gelora angin puting beliung meliuk-liuk seperti rambut panjang yang digerai seorang dara jelita. Begitu angin yang berputar, meliuk-liuk menghujam mendekati perahu. Eeeat… sang dukun seenaknya dan dengan enteng memotong dengan tangannya angin yang menyerupai rambut tadi. Angin puting beliung pun putus menghilang, lenyap.

Kemudian, dengan enteng sang pawang berkata, “Ayo dayung perahu, sembari mendayung pejamkan mata. Nanti setelah saya suruh buka mata, baru dibuka.” Anak jaring pun mengikuti arahan pawangnya. Mendayung perahu sembari memejamkan mata. Tidak berapa lama mata terpejam, paling sepersekian menit, sang pawang menyuruh buka mata kembali.

Begitu pejaman mata terbuka. Aneh sungguh aneh, perahu sudah berada ke balik pulau yang aman dari badai. Padahal sekitar laut, awan hitam masih menebal, angin kencang masih membahana, belum ada tanda-tanda akan surut. Karena sudah berada di dekat pulau, awak jaring tidak merasa kuatir lagi dengan keadaan. Mereka bisa berlabuh, menunggu badai redah.

Begitulah, masyarakat sangat terpukau dengan ilmu pendukunan. Antara ilmu hitam dengan ilmu putih di Gosong Telaga, ketika itu, susah untuk dibedakan. Telah bercampur aduk.

Bahkan masyarakat beranggapan seolah-olah dukun yang menentukan segala hidup dan kehidupan manusia. Termasuk mematikan.

Namun, dengan ketekunan dan dakwah yang dilakukan dengan gencar oleh Abuya Syekh Jalaluddin Padang Ganting. Dibarengi pula dengan sifat-sifat mulia yang ditunjukkannya. Dukun-dukun tadi, takluk dan bertobat serta meninggalkan ilmu hitam.

Kemudian mereka menuntut ilmu keislaman pada Syekh Jalaluddin.Tuan Syekh mengajarkan ilmu keislaman pada masyarakat Gosong Telaga siang dan malam. Selama lebih kurang 40 tahun.

Untuk meyakinkan murid-murid terhadapnya, kebenaran Islam, Syekh Jalaluddin menyampaikan petuah.
“Kalau hidup mau selamat, hiduplah dengan dan dari ajaran al-Quran, al-Hadis, dan pendapat-pendapat ulama. Jangan mendekati syirik, takhyul dan pendukunan. Karena itu sama seperti kita menyembah berhala. Menyembah berhala, adalah perbuatan sesat. Kalau kita telah sesat iblis akan terus mengoda sampai kita terperosok ke dalam pelukannya. Hal ini membuat segala amal baik yang telah dikerjakan lenyap dan dosa kita pun akan menggunung. Dosa seperti ini, jelas tidak akan pernah diampuni Allah.”

Untuk meyakinkanan murid-muridnya yang sudah terlanjur mempercayai ilmu pedukunan aliran hitam. Abuya memberikan wasiat gaib. Yaitu, bila beliau wafat, murid-muridnya dipersilahkan menggali kuburannya.

“Kalian akan menyaksikan, ungkapan terbang burung, tinggal sangkarnya,” kata Syekh Jalaluddin.
Tujuh hari tuan Syekh wafat, tepatnya 2 Safar 1324 H, murid-muridnya membuktikan ucapan “bersayap” sang guru. Murid-muridnya menggali makam.

Benar saja, ternyata jasad guru tak ada lagi dalam liang lahat, raib entah kemana. Yang tinggal hanya papan keranda dan kain kafan saja.

Melihat fakta ini, murid-muridnya terperangah dan semakin takjub pada sang guru. Lantas, murid-muridnya tadi bertobat nasuha dan mengeramatkan makam Syekh Jalaluddin Padang Ganting yang secara jahir terletak di Gosong Telaga.

Karena itu, banyak orang mengakui bahwa yang menginsyafkan dan menobatkan masyarakat Gosong Telaga kepada ajaran Islam yang benar dan kaffah, adalah Syekh Jalaluddin.

Syekh Jalaluddin pulalah yang menggubah tradisi-tradisi, adat-istiadat dan peradaban di Gosong Telaga menjadi sesuatu yang islami. Sehingga semangat keagamaan di Gosong Telaga menjadi bergairah sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasulullah.[]

Siti Ambia Srikandi Singkil

Kategori : Pahlawan Jumat, 06 Desember 2013 - 

PEPERANGAN Belanda dengan Aceh (1873-1942), telah menguras tenaga dan biaya, serta menewaskan ribuan prajurit dan rakyat biasa. Sejarahwan Paul van’t Veer mencatat bahwa hingga 1914 saja tak kurang dari 37.500 prajurit Belanda yang tewas di Aceh, dan 500.000 lainnya mengalami luka-luka.


Lazimnya suatu peperangan, tentu melahirkan pejuang-pejuang. Pejuang-pejuang tersebut, tidak saja pejuang pria melainkan juga memunculkan tidak sedikit pejuang-pejuang wanita, seperti Laksamana Malahayati, Cut Meutia, Cut Nyak Dhien, Tengku Fakinah, Pocut Baren Biheue.

Pejuang-pejuang wanita itu, sangat berperan dan terlibat langsung dalam kancah peperangan. Ada yang menjadi prajurit dan ada pula yang menjadi panglima perang. Paling tidak, mereka membantu kaum pria di garis belakang peperangan seperti menyediakan makanan dan memberi motivasi supaya suami dan anak-anak mereka mau berperang melawan penjajah.

Peran wanita-wanita Aceh dalam kancah peperangan ini, dinukilkan oleh Zentgraaf dalam bukunya De Achers; “Namun dari semua pemimpin perang yang telah bertempur di setiap pojok dan lubang kepulauan Indonesia ini akan mendengar bahwa tidak ada suatu bangsa yang begitu bersemangat dan fanatik dalam menghadapi musuh selain bangsa Aceh dengan wanita-wanitanya yang jauh lebih unggul daripada semua bangsa lain dalam keberanian menghadapi maut.”

Dari tulisan Zentgraaf, seorang wartawan Belanda pensiunan Bintara kolonial ini, mengakui bahwa wanita-wanita Aceh sangat gigih, tanpa rasa takut melakukan perlawanan terhadap Belanda. Sehingga wanita Aceh lebih ungggul dari semua wanita bangsa lain.

Bangsa Belanda betul-betul, kagum terhadap wanita-wanita Aceh yang terjun dalam kecamuk dan kronika perang. Karena kekaguman tersebut, Belanda menyebut para pejuang wanita Aceh itu sebagai de grootes dames (wanita-wanita agung).

Perang Batubatu

Dari penelusuran yang penulis lakukan, de grootes dames ini, ternyata juga, muncul dari kecamuk perang yang terjadi antara Belanda dengan rakyat Singkil, tepatnya dalam perang Batubatu. Pejuang wanita itu, bernama Siti Ambia.

Siti Ambia bersama dengan para prajurit pria di daerah itu, ikut berjuang melepaskan Singkil dari cengkeraman penjajah. Sehingga pertempuran adalah bagian dari kisah hidup perempuan perkasa yang dilahirkan di daerah aliran sungai Singkil ini.

Kapan lahir Siti Ambia, tidak diketahui secara pasti, diperkirakan pada 1870-an. Tentang silsilah atau asal-usul Siti Ambia dan keluarganya juga belum ditemukan referensinya. Berdasarkan tuturan dari mulut ke mulut di kalangan masyarakat mengatakan, bahwa Siti Ambia sosok wanita gagah perkasa dan sangat berani.

Dalam usia belia, Siti Ambia telah terlibat langsung bertempur dalam kancah peperangan bersama kaum laki-laki seperti Raja Batubatu, Sultan Daulat, Teuku Pane, Pa Onah, Juhur, Timang, dan para pejuang dari kerajaan-kerajaan Singkil lainnya. Dalam melawan kolonialisme, Siti Ambia memperlihatkan keberanian dan semangat heroisme yang tinggi.

Melalui kemanunggalan Siti Ambia bersama rakyat dalam perang gerilya, membuat kolonialis berputus asa. Kalau diibaratkan, kepiawaian Siti Ambiah dalam berjuang melawan Belanda, ketika itu, bagaikan kecerdikkan gerilyawan Vietnam dalam film Rambo, ketika berperang dengan Amerika.

Diceritakan, pada 1896, sejumlah pasukan Belanda dengan menaiki armada perahu, melalui sungai Singkil, menyerang Kerajaan Batubatu di daerah hulu sungai Singkil. Tetapi, serangan yang dilancarkan Belanda ini sedikit pun tidak berhasil mematahkan perlawanan  serdadu kerajaan. Armada perahu Belanda, berhasil ditenggelamkan dan dihancurkan. Prajuritnya banyak yang tewas. Sehingga, sungai Singkil, saat itu warna airnya bercampur menjadi merah darah dan banyak mayat-mayat yang mengapung hanyut ke hilir sungai.

Hancurnya armada perahu dan banyaknya tewas prajurit Belanda ini, karena kerajaan Batubatu ini menggunakan taktik perang “tebang pohon” yang sebelumnya tidak pernah terbaca dalam kamus peperangan oleh pihak Belanda. Pohon-pohon besar yang terdapat di bantaran pinggir sungai Singkil ditebang terlebih dulu, kemudian pohon ini tidak langsung direbahkan. Tetapi ditahan dengan seutas tali yang diikat pada pohon lain.

Begitu perahu tentara Belanda melaju melalui aliran sungai, tali penahan yang diikat pada pohon lain tadi diputuskan. Pohon pun bertumbangan  sehingga menimpah perahu-perahu tentara Belanda. Perahu menjadi oleng dan karam, perajurit pun kelimpungan dan banyak yang tenggelam. Dalam keadaan terapung di sungai, serangan pun datang dari serdadu kerajaan. Belanda kalah dan patah arang.

Peperangan antara Belanda dengan rakyat Singkil ini, meskipun tidak seimbang baik dari segi perlengkapan perang maupun dari segi jumlah prajurit terlatih. Namun rakyat Singkil sebagaimana rakyat Aceh lainnya, tidak pernah menyerah apalagi takluk pada Belanda. Salah satu prajurit kerajaan yang tidak pernah takluk pada Belanda itu, adalah Siti Ambia.

 Panggilan iman

Tangguh dan beraninya, Siti Ambia dalam melawan penjajah Belanda, karena ruh spritual berupa panggilan iman, telah merasuk dalam jiwa Siti Ambia. Konsep hubbul wathan minal iman pun telah tertanam dan berkobar kuat dalam dada Siti Ambia. Sehingga Siti Ambia termotivasi dan terinspirasi untuk menghadapi imprealisme Belanda.

Berbekal itulah, pertempuran demi pertempuran dapat dilakukannya dengan semangat gagah berani. Keberanian Siti Ambia berperang melawan Balanda bersama kaum pria, merupakan suatu simbol bahwa di Singkil telah terjadi gerakan emansipatif atau kesamaan gender yang kerap disuarakan oleh RA Kartini.

Siti Ambia telah mengukir tanda jasa dalam lembaran sejarah Singkil  dan Aceh khususnya serta Indonesia umumnya. Karena jasanya itu,  nama Siti Ambia ini dijadikan nama sebuah pemukiman di derah aliran sungai Kecamatan Singkil. Ini dimaksudkan agar generasi muda mengetahui bahwa di Aceh Singkil, ada srikandi yang tak kalah heroiknya dengan pejuang wanita dari daerah lain.

* oleh Sadri Ondang Jaya, S.Pd, Guru SMA Negeri 1 Singkil, Aceh Singkil. Email: ayah.abel@yahoo.co.id

Kamis, 23 Februari 2017

Generasi Muda yang Jujur; Dambaan Pemimpin Masa Depan




“Tidaklah seorang hamba di antara kalian
diberikan tanggung jawab mengurusi ummat. 
Lalu kemudian ia mencurangi rakyatnya.
Kecuali Allah SWT akan mengharamkan
 baginya surga.” (Muttafakun alaih).

                 Hadis di atas merupakan hadis yang selalu dipegang teguh oleh orang-orang hebat, para pembesar, terutama para pemimpin. Karena  hadis tersebut, mengandung makna betapa pentingnya karakter kejujuran bagi sosok pemimpin.

Sekarang ini, para pejabat apalagi pejabat  publik. Sudah mulai langka  yang berkata dan berbuat jujur. Justru yang dipertontonkan para pejabat sekarang, lebih banyak ketidakjujuran, kepura-puraan, dan kebohongan. Celakanya, hasrat berbohong dan curang ini, sudah menjadi budaya baru di kalangan pejabat. Ketika jabatan telah diraih, keinginan berbuat ketidakjujuran semakin menjadi-jadi. Ia menghalalkan segala cara, tidak peduli dengan cara menzalimi sekalipun.

Hal ini terjadi disebabkan, karakter pejabat itu dari ‘sononya’ sudah tidak jujur. Juga  sistem birokrasi yang terbangun selama ini, jauh dari sifat-sifat kejujuran alias birokrasi korup. Sehingga ketika ada seseorang yang ingin tetap teguh pada kejujuran, ada saja pihak yang berusaha menentangnya dengan dalih melawan sistem, menentang hak asasi manusia, ketidakadilan dan sebagainya. Malah, ada yang “mencemooh” dengan melontarkan kalimat sinis, “sok alim”, terhadap orang yang berbuat jujur.

Di masa lalu, kejujuran bagaikan “panglima” yang menentukan kualitas personaliti kepribadian seseorang. “Kejujuran, merupakan sifat para tokoh pejuang,  para  pemimpin negara dan orang hebat, pembesar lainnya. Malah, Nabi Muhammad SAW mendapat gelar dari sahabat al-amin karena kejujurannya.

“Tidaklah seorang hamba di antara kalian diberikan tanggung jawab mengurusi ummat. Lalu kemudian ia mencurangi rakyatnya. Kecuali Allah SWT akan mengharamkan baginya surga.” (Muttafakun alaih).  Begitu bunyi hadis Nabi Muhammad SAW yang selalu dipegang teguh oleh para orang hebat dan besar.

                                                                                                                               Jangan Pesimis
Kendati begitu, kita tak perlu pesimis. Sesuatu yang baik, yang sesuai dengan hati nurani, akan berulang dan tetap dipertahankan. Begitu juga dengan kejujuran. Salah satu contohnya, telah diperlihatkan Ketua Bappeda Aceh, Prof. Dr. Abubakar Karim MS. Ia dengan sikap jujur dan ikhlas telah membeberkan bahwa ada SKPA di Aceh yang tidak jujur dalam menyusun programpembangunan.

Dari hasil penelusuran beberapa ahli menunjukkan, kualitas pribadi yang ideal masih menempatkan kejujuran  (honesty) pada tangga teratas, selain kecakapan (competence) dan kesetian (loyality). Hal ini bermakna, kejujuran masih ditempatkan oleh setiap generasi sebagai kualitas yang sangat penting.

Sesuai dengan hasil studi Hendrick dan Ludeman (2002) yang melakukan penelitian terhadap para pengusaha dan eksekutif sukses di berbagai negara maju. Mereka menyimpulkan ada 12 nilai ciri-ciri sukses di negara maju pada abad ke 21. Hendrick dan Ludeman menempatkan kejujuran sejati pada rangking teratas. “ Rahasia pertama untuk
meraih kesuksesan, adalah dengan selalu berkata jujur. Ketidakjujuran, kata Hnedrick dan Ludeman, akan membuat diri para korporat terjebak dan berlarut-larut.

                Dalam Islam, kedudukan orang yang jujur ini lebih tinggi setingkat dari orang yang meninggal syahid atau lebih rendah  kedudukan setingkat daripada  para nabi. Allah berfirman dalam surat an-Nisa’ : 69 : “ Siapa yang taat pada Allah dan Rasul, mereka bersama orang-orang yang Allah beri nikmat. Yaitu, para nabi, orang-orang jujur, para syahid, dan orang-orang saleh. Mereka adalah sebaik-baik teman.”

                Kemudian, dalam Sabda Nabi Muhammad SAW dikatakan, “Orang yang senantiasa suka berbohong. Ia kan selalu dijauhi oleh para malaikat sejauh satu mil karena bauk busuk perbuatannya.”

                      Membangun Karakter Jujur

                Dalam suatu kesempatan, Wakil Gubernur Aceh, Muzakkir Manaf, pernah mengeluarkan statemen, akan memprioritaskan pembangunan karakter kujujuran di Aceh.  Ini artinya, Mualem,   telah melihat ada gejala ketidakjujuran di Aceh saat ini.  Apa yang menjadi keinginan Muzakkir ini, perlu kita respon dengan positif dan disambut dengan baik. Dan hendaknya segera diterjemahkan dalam bentuk konsep dan realitas di lapangan. Karena, membanguna karakter jujur, tidaklah semudah mengucapkannya.

                Tetapi membangun  karakter jujur tidak boleh berhenti, sekalipun memerlukan proses yang lama. Saya kira salah satu cara untuk membangun sikap jujur yang efektif adalah lewat internalisasi nilai-nilai kejujuran itu sendiri melalui keteladanan dan pembiasaan yang berulang-ulang secara konsisten dan berkesinambungan.

                Konsep ini, telah berhasil dipraktekkan oleh Konosuke Marsushita, pendiri grub bisnis Matsushati. Ia menerapkan metode internalisasi ini diperusahaannya yang disebut metode Repetitive Magiuc Power atau RPM. Caranya setiap karyawan diminta setiap pagi membaca secara berulang-ulang kalimat, “saya berbakti, mau memberi, jujur, terpercaya, adil, bijaksana, bersatu, berjuang, bersikap teguh, ramah, penyayang, dan bersyukur, serta berterima kasih.”

Dalam upaya membangun karakter kejujuran, maka konsep RPM Matsushita ini, tidak salah jika diadopsi oleh birokrasi di Aceh dalam bentuk pemberian pelatihan-pelatihan. Dengan catatan, metode pengulangan ini dilakukan secara individu, kontinu, simultan dan diucapkan berulang-ulang dan hendaknya bermuatan spiritual.

Apabila ini telah dan bisa kita terapkan, mudah-mudahan para kepala SKPA, akan berbuat jujur, amanah, dan terpercaya terutama  generasi mudanya yang bakal memimpin SKPA nanti. Dan akhirnya, diharapkan karakter jujur ini tetap abadi di hati orang Aceh dan penyelewengan tidak akan pernah terjadi. Pemerintahan pun bersih, terhindar dari korupsi. Nah!

Sadri Ondang Jaya, S.Pd
Praktisi Pendidikan




Hubungan Syekh Muda Waly Dengan Singkil



Mov on-Gosong Telaga| Pada hari Sabtu (23/1) lalu, saya bersama beberapa ustad yang ada di Aceh Singkil, melakukan wisata religius, mendatangi Pesantren Darul Ihsan, Paoh, Labuhan Haji Tengah, Aceh Selatan.

Di sana kami, bersilaturrahmi dengan  Abuya Syekh H Amran Waly pimpinan pesantren sekaligus pimpinan Tawuhid-Tasyawuf Asia Tenggara dan tengku-tengku pesantren lainnya.

Pada momentum itu, kami juga menghadiri acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang digelar para santri Pesantren Darul Ihsan.

Pawai Ziarah
Salah satu prosesi pelaksanaan maulid di Pesantren Darul Ihsan yang menarik dan tak biasa bagi saya,  yaitu, pawai ziarah ke makam Syaikhul Islam Aceh, tokoh pendidik dan ulama arif billah, Abuya Syekh H M Muda Waly yang terletak di Pesantren Darussalam Blang Paroh, Labuhan Haji Barat, Aceh Selatan. Hanya terpaut sekitar empat kilo meter saja dari Pesantren Darul Ihsan, Paoh.


Ketika jarum jam merayap ke angka 8.30 WIB pagi, saya bersama iring-iringan puluhan mobil yang  salah satunya ditumpangi Abuya Syekh H Amran Waly bersama tamunya dari berbagai daerah di Aceh bahkan Indonesia, para santri, dan ribuan jamaah tahuwid-tasyawuf, berpawai ziarah ke makam ulama penganut tarekat Naqsyabandiyah.

Saat  ziarah dan berada di komplek Pesantren Darussalam, suasana hati para pengunjung diliputi ketenangan, adem, dan tenteram.

Paling tidak, hal ini dirasakan teman saya Darlis. Menurut tuturan Imeum Mukim Gosong Telaga kepada AceHTrend, ia sangat suka dengan suasana Pesantren Darussalam. “Hati saya tenteram berada di sini. Insya Allah, kalau ada kesempatan saya akan datang lagi ke sini,” tutur Darlis.

Betapa tidak, pesantren yang telah mencetak ribuan ulama di Indonesia termasuk manca negara ini, bukan saja dihuni 2000-an santri yang setiap saat selalu melantun asmah Allah, bershalawat pada nabi, dan selalu membaca ayat-ayat tayyibah lainnya. Juga konon, pesantren yang dibangun tahun 1940-an dihuni sejumlah jin baik.

Keberadaan jin ini, selalu mengawal dan menentramkan hati orang yang berada dikomplek pesantren. Termasuk para penziarah dan tamu lainnnya.

Sementara bagi saya, bukan saja telah membuat hati tenang dan tenteram. Melainkan, saya mendapatkan cerita menarik dan unik berupa hubungan spritual Pesantren Darussalam dengan Aceh Singkil.

Bahkan kisah ini, bagian dari karamah yang dimiliki Abuya Syekh H M Muda Waly, ulama yang amat tersohor di Indonesia itu.

***
Alkisah, saat Pesantren Darussalam, Blang Poroh dibangun tahun 1940–yang semulanya hanya berupa tempat pembinaan rohani ayahnya Syekh H Muhammad Salim bin Malin Palito–seorang tukang bangunan melaporkan kepada Abuya Syekh H M Muda Waly bahwa persedian kayu untuk membangun mushala tidak cukup.

Mendengar laporan itu, serta-merta Abuya menyuruh tukang dan murid-muridnya agar pergi ke pantai seraya berkata, “Datanglah tuan-tuan ke pantai, di sana ada sebatang kayu besar yang dibawa air dari Singkil, ambil dan belahlah kayu itu. Lalu gunakan untuk membangun mushala.”

Murid-murid Abuya dan tukang yang mendengar titah beliau tadi terkesiap dan perasaan ragu menyelimuti hati mereka. Apakah ini benar atau tidak. Karena menurut lazimnya akal sehat, mustahil sebatang kayu dari Singkil, bisa hanyut dan terdampar di pantai Labuhan Haji.

Mustahil bagi manusia. Namun, tidak bagi Allah SWT.  Apa yang dikehendaki Allah, pasti terwujud.
Lalu murid dan tukang tadi, beranjak dan bergegas mendatangi pantai yang jaraknya hanya 100 meter saja dari lokasi pembangunan pesantren.

Setiba di sana, ternyata apa yang dikatakan abuya benar. Di pantai telah terbujur sebatang kayu jenis kapur yang besar dan panjang.

“Alhamdulillah,” teriak tukang dan murid-murid abuya. Lantas dengan menggunakan alat yang sederhana. Kayu itu pun dibelah dan dipotong-potong oleh murid-murid dan tukang sesuai dengan keperluan.

Setelah itu, kayu tersebut digunakan untuk membangun mushala di komplek Pesantren Darussalam, Labuhan Haji, hingga mushala itu rampung dan bisa dimanfaatkan.

Sekarang, karena perkembangan pesantren dan zaman pun semakin modren, bangunan mushalla yang perkayuan berasal dari Singkil telah diganti dengan bangunan yang kokoh terbuat dari beton.

***
Kisah lain, pada tahun 1953, Abuya Syekh H M Muda Waly bersama rombongan termasuk isterinya Umi Teunom dan Tgk Banjir, berdakwah ke wilayah Singkil.

Saat di Singkil, mereka berdakwah menaiki boat dan menyusuri Sungai Singkil. Di tengah perjalanan,  tiba-tiba abuya mengajak rombongan untuk berhenti di sebuah daratan di tengah Sungai Singkil.

Setelah boat ditambatkan, abuya sendiri turun ke daratan dan langsung menuju sebuah lokasi yang tidak seberapa jauh dari bibir sungai.

Tidak berapa lama biliau di lokasi, Abuya Muda Waly kembali menaiki   boat. Setiba diboat salah seorang rombongan bertanya perihal mengapa mereka berhenti dan abuya pergi sendiri tanpa membolehkan yang lain ikut serta ke daratan.

Saat itu abuya menjawab, tempat berhenti boat, adalah Kampung Oboh. Di situ ada makam ulama besar Syekh Hamzah Fanshuri.

Waktu mau melewati Delta Perkampungan Oboh, Syekh Hamzah Fansuri melambai-lambaikan tangan mengajak Abuya Syekh H M Muda Waly supaya singgah.

Lantas,  abuya pun singgah dan berdialog dengan ruh Syekh Hamzah Fansuri. Setelah itu, abuya mohon izin dan minta doa  untuk berdakwah di Singkil yang tak lain,  tanah titisan Syekh Hamzah Fansuri.

Kalaulah ketika itu, boat tidak berhenti dan abuya tidak singgah, dikuatirkan boat akan tenggelam dan penumpang akan mengalami kesusahan. Misi dakwah di Wilayah Singkil menjadi tersendat.

***
Kejadian lain, di tengah-tengah kunjungan dakwah di Singkil. Abuya Syekh H M Muda Waly, melihat sebuah batu besar yang di sekelilingnya  terpasang panji-panji warna-warni. Kata warga batu besar itu,  telah dijadikan sesembahan kalangan warga.

Melihat dan mendengar hal demikian dan untuk mencegah terjadinya kemusyrikan di kalangan warga, abuya menyuruh Tgk Banjir, seorang muridnya yang juga tokoh masyarakat Singkil yang terkenal memiliki ilmu kuat, untuk menggeser  batu besar tadi.

Atas suruan gurunya itu, Tgk Banjir pun mencoba memindahkan batu. Tetapi, batu itu sedikit pun tidak  bergerak.

Tidak bergemingnya batu itu,  bukan karena ilmu Tgk Banjir tidak mangkus lagi. Melainkan, batu raksasa tadi telah diselimuti dan dikuasai makhluk halus.

Karena tidak seorang pun yang bisa memindahkan batu. Akhirnya,  abuya mengusap permukaan batu. Tidak lama setelah diusap, batu besar itu  pun bergerak. Lalu, berguling, berpindah ke tempat lain. Jauh dari pemukiman penduduk.

***
Banyak lagi kisah hubungan Abuya Syekh H M Muda Waly dan anak-anaknya  dengan warga Aceh Singkil. Apalagi ajaran dan paham ulama besar Aceh Syekh Abdurrauf Al-Singkili–notabene putra Singkil– telah menjadi bahan rujukan bagi Abuya Syekh H M Muda Waly, anak-anaknya dan murid-murid lainnya di Aceh.

Kisah ini merupakan suatu bukti bahwa Aceh Singkil memiliki hubungan spritual yang erat dengan Pesantren Darussalam, Blang Poroh dan keluarga Abuya Syekh H M Muda Waly.[]
Catatan: Tulisan ini dikutip dari tuturan masyarakat dan referensi lainnya terutama terinspirasi dari buku Abuya Syeikh Muda Wali yang di susun Tgk Musliadi S.Pd.I



Yuk Berselfie Ria di Jembatan Pelangi Gosong Telaga



 

Mov On Gosong Telaga-- “Di tangan pemuda yang  kreatif jembatan menjadi indah.” Kalimat ini, agaknya bukan isapan jempol belaka. Tapi telah terbukti nyata.

Dulu, jembatan berkonstruksi kayu yang terletak di Kemukiman Gosong Telaga, Singkil Utara, Aceh Singkil, hanya sekadar akses jalan  tempat warga berlalu lalang ke ladang dan berziarah.

Namun sekarang, sejak jembatan sepanjang 45 meter itu tiang-tiang dan lantainya dicat  beraneka warna oleh pemuda, jembatan terlihat semakin indah, apik, unik, dan menarik. Menyerupai pelangi di langit jingga.

Pada lantai pojok jembatan, terdapat pula lukisan gambar love berwarna pink. Karena itu tak heran,  pengunjung menamai jembatan itu dengan ‘jembatan pelangi’. Ada pula menyebutnya, dengan ‘jembatan cinta’.

Tak ayal, jembatan ini telah dijadikan warga sebagai lokasi destinasi wisata dan tempat berselfie ria nan murah meriah. Terutama, bagi kalangan muda usia alias abege.

Nyaris setiap sore, menjelang rembang petang, jembatan yang membela sungai berair tenang itu, selalu dikerumuni abege-abege berparas cantik dan ganteng-ganteng.

Mereka datang secara ‘spesial’ ke jembatan. Lalu duduk-duduk sembari menjuntaikan kaki di badan jembatan. Seakan mereka menunggu senja yang bakal jatuh ke pangkuan.

 Tak ketinggalan di antara mereka berselfie ria, mengabadikan diri dan teman-teman dalam camera dan smartphone kesayangan.

Tentu, foto-foto itu sebagai kenangan. Perangkai cerita untuk mewakili berlanksa-laksa kata. Sebagai saksi nyata sebelum menutup mata.
Nah, tunggu apalagi. Yuk datang ke jembatan pelangi Gosong Telaga. Melepas dahaga berselfie ria.[]