Senin, 29 Februari 2016

TEKAD PAK MULEM Oleh : Sadri Ondang Jaya



 CERITA PENDEK
TEKAD PAK MULEM

Oleh : Sadri Ondang Jaya

Keluarga Pak Mulem, adalah salah satu keluarga miskin di kampung kami. Hidup dan kehidupan keluarga mereka sehari-hari, hanya ditumpang dari jerih Pak Mulem  sebagai penggalas ikan. Plus dibantu isterinya yang bekerja upahan. Seperti menyuci pakaian tetangga, membelah ikan, menumbuk tepung, dan pekerjaan lainnya.

Ikan yang digalas Pak Mulem, bukan dibelinya. Melainkan  diutang terlebih dahulu pada nelayan. Lantas ikan tadi, dijajakan kepada warga  secara door to door.  Berjalan kaki berkilo-kilo meter mengitari perkampungan yang satu ke perkampungan lainnya.

“Ikan, ikan…. Murah,” teriak Pak Mulem  sembari menenteng raga.
Kalau ikan dibeli warga, Pak Mulem tidak rugi. Sudah pasti ia mendapat uang, walau jumlahnya tidak seberapa. Karena uang itu harus dibagi.  Sebagian disetor kepada nelayan. Sebagian lainnya untuk Pak Mulem. Uang itu pun tidak bisa singgah lama di tangan Pak Mulem. Ia  segera menyetor pada isterinya, Zuleha. Kalau tidak, bakal pecah perang dunia ketiga.

Dari penghasilan yang tak seberapa, Pak Mulem, isteri, dan lima orang anaknya belum pernah kelaparan. Mereka selalu makan kenyang. Pakaian yang mereka kenakan pun selalu ada. Walau di sana-sini penuh ditambal dan sulam. Clournya  pun  telah menyebua. Pakaian itu, nyaris tak pernah berganti. Paling ditukar, saat lebaran idul fitri.

Kalau anak-anaknya menginginkan sesuatu, sebagaimana yang diinginkan dan telah diperoleh anak-anak sebaya mereka,  Pak Mulem dan isterinya tidak bisa memenuhinya. Karena terbatasnya uang mereka.

Pak Mulem dan isterinya selalu berdalih, “Nak, jumlah uang kita  terbatas.  Kita harus penuhi keperluan mendesak dan utama lebih dahulu. Bersabar ya,” ucap mereka.

Anak-anak Pak Mulem acap mencengang, mereguk air liur, dan mengurut dada saat melihat anak sebaya mereka berpesta, menikmati makanan enak, memakai pakaian baru yang  trend, dan bermain dengan asyiknya dengan mainan yang mutakhir.

Membuat hati lebih trenyuh, Zuleha, isteri Pak Mulem, tidak sekalipun pernah  mengenakan emas atau aksesoris sejenis, sebagaimana lazimnya kaum wanita.

Rumah yang mereka tempati, konstruksinya sangat bersahaja. Bahan dasar bangunannya terbuat dari kayu hasil  tarahan. Bukan  kayu pabrikan.

Manakala keluarga itu kedatangan tamu, mereka melayani   di ruang terbuka beralaskan tikar pandan. Kalau tamunya menginap, mereka tidurkan di tempat yang sama. Keluarga Pak Mulem, hanya menyodorkan beberapa buah bantal lusuh sekadar pengalang kepala.

Sebab mereka, tidak punya kamar tidur yang special. Mereka hanya punya satu bilik. Bilik itu pun disekat dengan tirai kain marikan dan diperuntukan sebagai kamar Pak Mulem dan isterinya. Di bilik itu, hanya ada satu peratai dan  satu rak pakaian yang pernisnya sudah kusam.

                                                                   ***
Kendati Pak Mulem seorang penggalas ikan. Namun ia memiliki pikiran, obsesi, dan tekad untuk mengubah nasib mereka melalui sekolah. Yang ketika itu, orang-orang di kampung kami, sangat pesimis melihat pentingnya sekolah.

Lompatan cara pandang Pak Mulem seperti ini muncul karena keluarga mereka selalu dikerubungi kemelaratan berpuluh-puluh tahun. Bahkan, sudah turun temurun.

Suatu hari, saat keluarga itu ngumpul-ngumpul di beranda rumah mereka, tekad Pak Mulem diungkapkannya kepada isteri dan anak-anaknya.

“Nasib kita, tidak boleh terus-terusan begini. Kita harus  mengubahnya. Paling tidak nasib kalian anak-anakku,” ucap Pak Mulem.

 Ungkapan Pak Mulem itu, langsung disahuti isterinya. “Pak kalau ingin mengubah nasib, tiada jalan lain, anak-anak harus sekolah. Dengan bersekolah  ilmu pengetahuan akan mereka dimiliki. Kalau ilmu pengetahuan telah ada, apa yang didambakan akan bersua. Ilmu pengetahuan adalah kunci pembuka pintu kesejahteraan dan kemuliaan.”

“Nah, itulah yang saya maksudkan,” tutur Pak Mulem.
“Anak-anakku, sekarang kalian sudah besar.  Kalian harus bangkit, bergerak mengerat mata rantai lingkaran setan kemiskinan. Kalau tidak kalian siapa lagi. Kalau tidak sekarang kapan lagi,” tambah Pak Mulem.

“Tapi, Ayah. Bagaimana cara mengerat lingkaran setan itu. Keluarga kita kan miskin?” sanggah anak tertua mereka.

Pak Mulem tersenyum. Setelah diam sejenak, Pak Mulem menjelaskan, “Caranya, seperti dikatakan Mak kalian tadi. Kalian harus sekolah.”

 “Tapi Yah, sekolah bukan pekerjaan mudah. Apalagi bagi keluarga kita,” timpal anak kedua Pak Mulem.

“Benar. Bagi kita susah untuk sekolah. Di kampung ini jenjang pendidikan hanya baru tingkat sekolah dasar. Pendidikan tingkat atas belum ada. Kalau ingin melanjutkan sekolah, harus merantau ke luar daerah. Merantau ini sangat memberatkan, memerlukan biaya. Orang-orang berpunya saja tak mau  menyekolah anaknya,  mereka takut rugi. Sementara, keluarga miskin,  takut  menderita.

Padahal, untuk belajar atau sekolah harus berkorban tenaga, pikiran dan biaya. Jika kita tidak tahan pada lelahnya belajar (sekolah), takut mengeluarkan tenaga dan biaya, maka kita akan merasai perihnya kebodohan. Nah, karena bodoh itulah penyebab kita terus miskin,” jelas Pak Mulem panjang lebar.

Kemudian Pak Mulem melanjutkan, “Kalau kalian mau merantau dengan tujuan sekolah, Ayah dan Makmu rela menjual sepetak tanah, satu-satunya milik kita yang ada di belakang rumah. Sebagai biaya awal kalian bersekolah. Tetapi, dalam melanjut pendidikan, kalian harus bertekad dan berkemauan yang tinggi. Tidak mengharapkan biaya semata-mata dari orangtua. Rela bekerja, hidup mandiri, dan menderita. Kalau ini siap kalian jalani, Bismillahirrahmanirrahim. bersekolahlah!”
                                               
                                                                   ***

 Sikap Pak Mulem yang pro dengan pendidikan, berbanding terbalik dengan sikap  kebanyakan warga. Bahkan, ada di antara warga yang belum  memahami arti penting pendidikan.

Hal ini, terekam dari pembicaraan mereka di warung-warung kopi. “Sekolah itu tidak perlu. Kalau sudah besar, ya bekerja. Membantu orangtua melaut menjadi nelayan, mencari nafkah. Lalu, kumpul uang dan berumah tangga.

Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, pandai membaca dan berhitung saja sudah memadai. Nenek moyang kita tidak ada yang sekolah tinggi. Tapi toh, mereka bisa hidup,” ucap  warga.
  
“Orangtua yang menyekolah anaknya, berarti mereka tolol dan sama dengan bunuh diri. Ia telah membelenggu diri untuk membiayai anaknya selama belasan tahun.

Kalau ada orangtua yang  mau berhajab-hajab menyekolahkan anaknya, termasuk sia-sia. Karena setelah tamat dari sekolah, anaknya itu belum tentu dapat pekerjaan hebat dan bisa hidup mentereng.

Berbilang contoh. Anak yang bersekolah, setelah tamat dan  pulang kampung, toh kerjanya menjadi nelayan juga,” timpal warga lainnya.

Lain lagi dengan pandangan Angku Haji, warga yang terpandang dan kaya di kampung kami, “Coba lihat anak Simansyah, anak Buyung Hitam, dan anak Simuslim, serta sarjana-sarjana yang datang ke kampung ini. Mereka telah bersekolah tinggi tetapi perilaku mereka lebih buruk dari orang yang tak bersekolah. Padahal dadanya telah dimasuki cahaya ilmu. Idealnya, dengan  ilmu  perilakunya lebih baik. 

Lihat, mereka yang bersekolah, tidak mampu memajukan kampung. Para kaum terpelajar itu hanya memperbanyak gaya. Mereka ibarat  berumah di menara gading. Kalau berkumpul di tengah-tengah warga, mereka membodoh-bodohi,” tutur Angku Haji yang telah tiga kali berangkat ke Mekkah dan tujuh orang anaknya, tidak satu pun yang bersekolah.

Pembiacara seperti ini, acap kali muncul di warung-warung kopi dan ruang publik lainnya di kampung kami. Warga telah punya persepsi dan image negatif tentang pendidikan dan orang yang bersekolah.

Mendengar ucapan yang tidak keruan dan perilaku warga yang demikian, Pak Mulem pernah marah  dan berontak.
 “Wah, itu kan terjadi karena anak yang bersekolah, tidak tekun menuntut ilmu. Ia asyik pulang kampung. Pingin makan sambam berdarah yang dibakar di atas bara sabut kelapa atau  di gelagah bolos.

 Ia tidak teringat hapalan pelajarannya, ia lebih teringat pada tepian tempat pemandian. Takut tepian itu diambil orang. Baginya, air sumur di rantau dirasanya pahit sementara air sumur di kampungnya manis. Ia ingin mencecap air sumur itu terus menerus.

Anehnya, ada orang tua yang kaya raya tidak mau menyekolahkan anaknya ke rantau. Karena ia takut kalau ia  meninggal nanti anaknya tidak dapat menyaksikannya saat ia menghela nyawa. Hanya melihat tanah terbalik kuburan orangtuanya saja.

Pandangan seperti bapak-bapak sampaikan itulah yang membuat anak kampung ini tidak mau bersekolah, merantau ke luar daerah. Kalau pun sekolah, ilmunya tidak pernah kesampaian.

Menuntut ilmu, harusnya fokus. Hati tidak boleh cewang. Ingat. Menuntut ilmu itu wajib. Berdosalah apabila  ada orang yang membiarkan kebodohan.  Kebodohan inilah yang membuat kampong tidak pernah maju, hidup tidak pernah bahagia, dan beragama tidak kafah.

Perilaku tak elok hanya dilakukan oleh segelintir orang yang berpendidikan. Toh masih banyak yang baik dan mau bahu membahu dengan masyarakat membangun kampung. Mereka terus memainkan  peran sebagai menara air,” tegas ayah.

Mendengar sanggahan Pak Mulem itu, beberapa masyarakat yang duduk di warung kopi, tidak bisa berkotek. Hati mereka membenarkan ujaran Pak Mulem.
           
                                                                                  ***
 Semangat Pak Mulem mengubah nasib melalui pendidikan telah tertanam di hati dan bergelora di dada keluarganya. Terutama anak-anak mereka. Sehingga setelah tamat SMP, anak sulung mereka, hanya minta doa restu saja pada orangtuanya saat melanjutkan sekolah guru ke luar daerah. Pak Mulem dan isterinya  menyetujui saja.

Saat melepaskan kepergian anaknya, Pak Mulem dan isterinya seperti melepaskan pejuang yang ingin bertempur di medan perang. Setelah bersalaman, peluk cium, dan  deraian air mata, isteri Pak Mulem menyisipkan bungkusan berisi uang dari penjualan sepetak tanah. Sementara, Pak Mulem memeluk anaknya dan berbisik:

“Bersungguh-sungguhlah meraih asa. Ingat, jangan tinggal shalat dan perintah Allah lainnya. Lalu sempurnakan dengan ikhtiar. Insya Allah, cita-citamu akan tercapai.”  

Mendengar  nasihat ayahnya, anak mereka terisyak, air matanya  mencurat.  Dalam hati semakin timbul tekad: bahwa orang miskin juga bisa  meraih sarjana, dan hidup bahagia.

Sementara itu, dari sorot mata tetangga yang turut mengantar, menyiratkan keraguan. Apakah anak Pak Mulem itu bisa hidup tanpa kiriman biaya? Dan pendidikanku tidak oleng dihempas ombak. Diterpa badai membahana. Dan tidak terganjal batu karang?

                                                                        ***

Sejak kepergian anak Pak Mulem sekolah ke luar daerah. Kicauan orang-orang di warung kopi tehadap keputusan Pak Mulem menyekolahkan anaknya terus menghangat. Menjadi trending topic.

“Huu, tagih menyekolahkan anak. Kerja hanya menggalas ikan. Anak di sekolahkan. Semangat bolehlah. Tapi sayang, tidak mengukur badan dengan bayang-bayang. Besar pasak dari pada tiang,” begitu ucapan warga mengolok-olokkan keluarga Pak Mulem.

Hooi! tidak bakalan ada orang miskin menjadi sarjana. Kalau ada, potong telunjuk saya,” timpal warga lainnya dengan sinis, getir, ironis, dan menghina.

Ucapan sinis, getir, dan hinaan yang tujuannya memojokkan keluarga Pak Mulem, tidaklah membuat cita-cita agung yang telah terukir di dada Pak Mulem dan keluarganya hilang. Cita-cita untuk mengubah nasib tetap bersemi  di hati. Ini harus  berkecambah, tumbuh, dan berwujud.

Setiap hari Pak Mulem dan isterinya terus bekerja membanting tulang. Meskipun mereka bekerja dan mengais rezeki dengan tertatih-tatih. Lelah dan penat tak dipedulikan. Mereka tidak pernah mengeluh, menyesali, apalagi memendam keputusasaan  menyekolahkan anak mereka. Pak Mulem dan keluarganya ikhlas memberi nafkah sekaligus spirit agar pendidikan anak mereka tidak patah di tengah jalan.

“Pendidikan mesti berlanjut, tidak boleh berhenti. Pendidikan sesuatu yang wajib. Allah Mahapemurah. Dia tidak mungkin menelantarkan umatnya. Dialah yang melimpahkan rezeki pada makhluk yang tiada putusnya. Siapa yang ingin berbahagia di dunia dengan ilmu. Ingin berbahagia di akhirat juga dengan ilmu. Ingin berbahagia kedua-keduanya juga dengan ilmu,” ucapan Pak Mulem mencuplik sepotong Hadis Nabi.

Alhamdulillah, berkat usaha dan atas kehendak Allah dari lima orang Anak Pak Mulem, empat di antaranya meraih sarjana. Satu orang hanya tamatan SMA. Namun, kesemua anak peumuge ikan keliling kampung itu menjadi pegawai negeri sipil.  Hidup mereka  pun drastis berubah menuju sejahtera.
                                                                       ***
Tekad dan kemauan Pak Mulem dan isterinya, menyekolahkan anaknya ke luar daerah, bagaikan mercusuar. Bercahaya. Terang-benderang. Menyinari ke seantero negeri. Pak Mulem dan keluarganya bak bintang petunjuk bagi nelayan dan pemberi harapan.

Cara pandang, energi positif, aura kecerian, tekad yang berbinar, dan daya hidup yang terpancar dari diri Pak Mulem dan keluarganya dalam menyekolahkan anak-anak mereka, secara diam-diam merasuk dalam hati warga. Mereka membenarkan, dan mulai meneladani. Karena yang dilakukan Pak Mulem dan keluarganya benar adanya. Tidak berubah nasib suatu kaum, kalau tidak kaum itu sendiri yang mengubahnya.[]