CERITA PENDEK
TEKAD
PAK MULEM
Oleh : Sadri Ondang Jaya
Keluarga
Pak Mulem, adalah salah satu keluarga miskin di kampung kami. Hidup dan
kehidupan keluarga mereka sehari-hari, hanya ditumpang dari jerih Pak Mulem sebagai penggalas
ikan. Plus dibantu isterinya yang bekerja upahan. Seperti menyuci pakaian
tetangga, membelah ikan, menumbuk tepung, dan pekerjaan lainnya.
Ikan yang
digalas Pak Mulem, bukan dibelinya. Melainkan
diutang terlebih dahulu pada nelayan. Lantas ikan tadi, dijajakan kepada
warga secara door to door. Berjalan kaki
berkilo-kilo meter mengitari perkampungan yang satu ke perkampungan lainnya.
“Ikan,
ikan…. Murah,” teriak Pak Mulem sembari
menenteng raga.
Kalau
ikan dibeli warga, Pak Mulem tidak rugi. Sudah pasti ia mendapat uang, walau
jumlahnya tidak seberapa. Karena uang itu harus dibagi. Sebagian disetor kepada nelayan. Sebagian lainnya
untuk Pak Mulem. Uang itu pun tidak bisa singgah lama di tangan Pak Mulem.
Ia segera menyetor pada isterinya,
Zuleha. Kalau tidak, bakal pecah perang dunia ketiga.
Dari penghasilan yang tak
seberapa, Pak Mulem, isteri, dan lima orang anaknya belum pernah kelaparan.
Mereka selalu makan kenyang. Pakaian yang mereka kenakan pun selalu ada. Walau
di sana-sini penuh ditambal dan sulam. Clournya
pun
telah menyebua. Pakaian itu, nyaris
tak pernah berganti. Paling ditukar, saat lebaran idul fitri.
Kalau anak-anaknya menginginkan
sesuatu, sebagaimana yang diinginkan dan telah diperoleh anak-anak sebaya
mereka, Pak Mulem dan isterinya tidak bisa
memenuhinya. Karena terbatasnya uang mereka.
Pak Mulem dan isterinya selalu berdalih,
“Nak, jumlah uang kita terbatas. Kita harus penuhi keperluan mendesak dan
utama lebih dahulu. Bersabar ya,” ucap mereka.
Anak-anak Pak Mulem acap mencengang, mereguk air liur, dan mengurut
dada saat melihat anak sebaya mereka berpesta, menikmati makanan enak, memakai
pakaian baru yang trend, dan bermain dengan asyiknya dengan mainan yang mutakhir.
Membuat hati lebih trenyuh, Zuleha,
isteri Pak Mulem, tidak sekalipun pernah mengenakan emas atau aksesoris sejenis,
sebagaimana lazimnya kaum wanita.
Rumah yang mereka tempati, konstruksinya
sangat bersahaja. Bahan dasar bangunannya terbuat dari kayu hasil tarahan. Bukan kayu pabrikan.
Manakala keluarga itu kedatangan
tamu, mereka melayani di ruang terbuka
beralaskan tikar pandan. Kalau tamunya menginap, mereka tidurkan di tempat yang
sama. Keluarga Pak Mulem, hanya menyodorkan beberapa buah bantal lusuh sekadar pengalang kepala.
Sebab mereka, tidak punya kamar tidur
yang special. Mereka hanya punya satu
bilik. Bilik itu pun disekat dengan tirai kain marikan dan diperuntukan sebagai kamar Pak Mulem dan isterinya. Di bilik
itu, hanya ada satu peratai dan satu rak pakaian yang pernisnya sudah kusam.
***
Kendati
Pak Mulem seorang penggalas ikan. Namun ia memiliki pikiran, obsesi, dan tekad untuk
mengubah nasib mereka melalui sekolah. Yang ketika itu, orang-orang di kampung
kami, sangat pesimis melihat pentingnya sekolah.
Lompatan
cara pandang Pak Mulem seperti ini muncul karena keluarga mereka selalu dikerubungi
kemelaratan berpuluh-puluh tahun. Bahkan, sudah turun temurun.
Suatu hari, saat keluarga itu
ngumpul-ngumpul di beranda rumah mereka, tekad Pak Mulem diungkapkannya kepada isteri
dan anak-anaknya.
“Nasib kita, tidak boleh terus-terusan
begini. Kita harus mengubahnya. Paling
tidak nasib kalian anak-anakku,” ucap Pak Mulem.
Ungkapan Pak Mulem itu, langsung disahuti
isterinya. “Pak kalau ingin mengubah nasib, tiada jalan lain, anak-anak harus
sekolah. Dengan bersekolah ilmu
pengetahuan akan mereka dimiliki. Kalau ilmu pengetahuan telah ada, apa yang
didambakan akan bersua. Ilmu pengetahuan adalah kunci pembuka pintu
kesejahteraan dan kemuliaan.”
“Nah,
itulah yang saya maksudkan,” tutur Pak Mulem.
“Anak-anakku,
sekarang kalian sudah besar. Kalian
harus bangkit, bergerak mengerat mata rantai lingkaran setan kemiskinan. Kalau tidak
kalian siapa lagi. Kalau tidak sekarang kapan lagi,” tambah Pak Mulem.
“Tapi, Ayah. Bagaimana cara mengerat lingkaran setan itu.
Keluarga kita kan miskin?” sanggah
anak tertua mereka.
Pak Mulem tersenyum. Setelah diam sejenak, Pak Mulem
menjelaskan, “Caranya, seperti dikatakan Mak kalian tadi. Kalian harus sekolah.”
“Tapi Yah, sekolah
bukan pekerjaan mudah. Apalagi bagi keluarga kita,” timpal anak kedua Pak Mulem.
“Benar. Bagi kita susah untuk sekolah. Di kampung ini jenjang
pendidikan hanya baru tingkat sekolah dasar. Pendidikan tingkat atas belum ada.
Kalau ingin melanjutkan sekolah, harus merantau ke luar daerah. Merantau
ini sangat memberatkan, memerlukan biaya. Orang-orang berpunya saja tak
mau menyekolah anaknya, mereka takut rugi. Sementara, keluarga miskin,
takut
menderita.
Padahal, untuk belajar atau sekolah harus berkorban tenaga,
pikiran dan biaya. Jika kita tidak tahan
pada lelahnya belajar (sekolah), takut mengeluarkan tenaga dan biaya, maka kita
akan merasai perihnya kebodohan. Nah, karena bodoh itulah penyebab kita
terus miskin,” jelas Pak Mulem panjang lebar.
Kemudian
Pak Mulem melanjutkan, “Kalau kalian mau merantau dengan tujuan sekolah, Ayah
dan Makmu rela menjual sepetak tanah, satu-satunya milik kita yang ada di
belakang rumah. Sebagai biaya awal kalian bersekolah. Tetapi, dalam melanjut
pendidikan, kalian harus bertekad dan berkemauan yang tinggi. Tidak
mengharapkan biaya semata-mata dari orangtua. Rela bekerja, hidup mandiri, dan
menderita. Kalau ini siap kalian jalani, Bismillahirrahmanirrahim.
bersekolahlah!”
***
Sikap Pak Mulem yang
pro dengan pendidikan, berbanding terbalik dengan sikap kebanyakan warga. Bahkan, ada di antara warga yang
belum memahami arti penting pendidikan.
Hal ini, terekam dari pembicaraan mereka di warung-warung
kopi. “Sekolah itu tidak perlu. Kalau sudah besar, ya bekerja. Membantu
orangtua melaut menjadi nelayan, mencari nafkah. Lalu, kumpul uang dan berumah
tangga.
Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, pandai membaca dan
berhitung saja sudah memadai. Nenek moyang kita tidak ada yang sekolah tinggi.
Tapi toh, mereka bisa hidup,” ucap
warga.
“Orangtua yang menyekolah anaknya, berarti mereka tolol dan
sama dengan bunuh diri. Ia telah membelenggu diri untuk membiayai anaknya
selama belasan tahun.
Kalau ada orangtua yang
mau berhajab-hajab menyekolahkan
anaknya, termasuk sia-sia. Karena setelah tamat dari sekolah, anaknya itu belum
tentu dapat pekerjaan hebat dan bisa hidup mentereng.
Berbilang contoh. Anak yang bersekolah, setelah tamat
dan pulang kampung, toh kerjanya menjadi nelayan juga,” timpal warga lainnya.
Lain lagi dengan pandangan Angku Haji, warga yang
terpandang dan kaya di kampung kami, “Coba lihat anak Simansyah, anak Buyung
Hitam, dan anak Simuslim, serta sarjana-sarjana yang datang ke kampung ini. Mereka
telah bersekolah tinggi tetapi perilaku mereka lebih buruk dari orang yang tak
bersekolah. Padahal dadanya telah dimasuki cahaya ilmu. Idealnya, dengan ilmu
perilakunya lebih baik.
Lihat, mereka yang bersekolah, tidak mampu memajukan
kampung. Para kaum terpelajar itu hanya memperbanyak gaya. Mereka ibarat berumah di menara gading. Kalau berkumpul di
tengah-tengah warga, mereka membodoh-bodohi,” tutur Angku Haji yang telah tiga
kali berangkat ke Mekkah dan tujuh orang anaknya, tidak satu pun yang
bersekolah.
Pembiacara seperti ini, acap kali muncul di warung-warung
kopi dan ruang publik lainnya di kampung kami. Warga telah punya persepsi dan
image negatif tentang pendidikan dan orang yang bersekolah.
Mendengar ucapan yang tidak keruan dan perilaku warga yang
demikian, Pak Mulem pernah marah dan berontak.
“Wah, itu kan
terjadi karena anak yang bersekolah, tidak tekun menuntut ilmu. Ia asyik pulang
kampung. Pingin makan sambam berdarah
yang dibakar di atas bara sabut kelapa atau di gelagah bolos.
Ia tidak
teringat hapalan pelajarannya, ia lebih teringat pada tepian tempat pemandian.
Takut tepian itu diambil orang. Baginya, air sumur di rantau dirasanya pahit
sementara air sumur di kampungnya manis. Ia ingin mencecap air sumur itu terus
menerus.
Anehnya, ada orang tua yang kaya raya tidak mau menyekolahkan
anaknya ke rantau. Karena ia takut kalau ia
meninggal nanti anaknya tidak dapat menyaksikannya saat ia menghela
nyawa. Hanya melihat tanah terbalik kuburan orangtuanya saja.
Pandangan seperti bapak-bapak sampaikan itulah yang membuat
anak kampung ini tidak mau bersekolah, merantau ke luar daerah. Kalau pun
sekolah, ilmunya tidak pernah kesampaian.
Menuntut ilmu, harusnya fokus. Hati tidak boleh cewang.
Ingat. Menuntut ilmu itu wajib. Berdosalah apabila ada orang yang membiarkan kebodohan. Kebodohan inilah yang membuat kampong tidak
pernah maju, hidup tidak pernah bahagia, dan beragama tidak kafah.
Perilaku tak elok hanya dilakukan oleh segelintir orang
yang berpendidikan. Toh masih banyak yang baik dan mau bahu membahu dengan
masyarakat membangun kampung. Mereka terus memainkan peran sebagai menara air,” tegas ayah.
Mendengar sanggahan Pak Mulem itu, beberapa masyarakat yang
duduk di warung kopi, tidak bisa berkotek. Hati mereka membenarkan ujaran Pak
Mulem.
***
Semangat Pak Mulem mengubah nasib melalui
pendidikan telah tertanam di hati dan bergelora di dada keluarganya. Terutama
anak-anak mereka. Sehingga setelah tamat SMP, anak sulung mereka, hanya minta
doa restu saja pada orangtuanya saat melanjutkan sekolah guru ke luar daerah.
Pak Mulem dan isterinya menyetujui saja.
Saat
melepaskan kepergian anaknya, Pak Mulem dan isterinya seperti melepaskan
pejuang yang ingin bertempur di medan perang. Setelah bersalaman, peluk cium,
dan deraian air mata, isteri Pak Mulem
menyisipkan bungkusan berisi uang dari penjualan sepetak tanah. Sementara, Pak
Mulem memeluk anaknya dan berbisik:
“Bersungguh-sungguhlah
meraih asa. Ingat, jangan tinggal shalat dan perintah Allah lainnya. Lalu
sempurnakan dengan ikhtiar. Insya Allah, cita-citamu akan tercapai.”
Mendengar nasihat ayahnya, anak mereka terisyak, air
matanya mencurat. Dalam hati semakin timbul tekad: bahwa orang miskin juga bisa meraih sarjana, dan hidup bahagia.
Sementara
itu, dari sorot mata tetangga yang turut mengantar, menyiratkan keraguan.
Apakah anak Pak Mulem itu bisa hidup tanpa kiriman biaya? Dan pendidikanku
tidak oleng dihempas ombak. Diterpa badai membahana. Dan tidak terganjal batu
karang?
***
Sejak
kepergian anak Pak Mulem sekolah ke luar daerah. Kicauan orang-orang di warung kopi
tehadap keputusan Pak Mulem menyekolahkan anaknya terus menghangat. Menjadi trending topic.
“Huu,
tagih menyekolahkan anak. Kerja hanya menggalas ikan. Anak di sekolahkan. Semangat
bolehlah. Tapi sayang, tidak mengukur badan dengan bayang-bayang. Besar pasak
dari pada tiang,” begitu ucapan warga mengolok-olokkan keluarga Pak Mulem.
Hooi!
tidak bakalan ada orang miskin menjadi sarjana. Kalau ada, potong telunjuk
saya,” timpal warga lainnya dengan sinis, getir, ironis, dan menghina.
Ucapan
sinis, getir, dan hinaan yang tujuannya memojokkan keluarga Pak Mulem, tidaklah
membuat cita-cita agung yang telah terukir di dada Pak Mulem dan keluarganya
hilang. Cita-cita untuk mengubah nasib tetap bersemi di hati. Ini harus berkecambah, tumbuh, dan berwujud.
Setiap
hari Pak Mulem dan isterinya terus bekerja membanting tulang. Meskipun mereka bekerja
dan mengais rezeki dengan tertatih-tatih. Lelah dan penat tak dipedulikan.
Mereka tidak pernah mengeluh, menyesali, apalagi memendam keputusasaan menyekolahkan anak mereka. Pak Mulem dan
keluarganya ikhlas memberi nafkah sekaligus spirit
agar pendidikan anak mereka tidak patah di tengah jalan.
“Pendidikan
mesti berlanjut, tidak boleh berhenti. Pendidikan sesuatu yang wajib. Allah Mahapemurah.
Dia tidak mungkin menelantarkan umatnya. Dialah yang melimpahkan rezeki pada
makhluk yang tiada putusnya. Siapa yang ingin berbahagia di dunia dengan ilmu.
Ingin berbahagia di akhirat juga dengan ilmu. Ingin berbahagia kedua-keduanya
juga dengan ilmu,” ucapan Pak Mulem mencuplik sepotong Hadis Nabi.
Alhamdulillah,
berkat usaha dan atas kehendak Allah dari lima orang Anak Pak Mulem, empat di antaranya
meraih sarjana. Satu orang hanya tamatan SMA. Namun, kesemua anak peumuge ikan keliling kampung itu menjadi
pegawai negeri sipil. Hidup mereka pun drastis berubah menuju sejahtera.
***
Tekad dan
kemauan Pak Mulem dan isterinya, menyekolahkan anaknya ke luar daerah, bagaikan
mercusuar. Bercahaya. Terang-benderang. Menyinari ke seantero negeri. Pak Mulem
dan keluarganya bak bintang petunjuk
bagi nelayan dan pemberi harapan.
Cara
pandang, energi positif, aura kecerian, tekad yang berbinar, dan daya hidup yang
terpancar dari diri Pak Mulem dan keluarganya dalam menyekolahkan anak-anak
mereka, secara diam-diam merasuk dalam hati warga. Mereka membenarkan, dan
mulai meneladani. Karena yang dilakukan Pak Mulem dan keluarganya benar adanya.
Tidak berubah nasib suatu kaum, kalau
tidak kaum itu sendiri yang mengubahnya.[]