Kamis, 03 September 2015

Di Lapo Kopi; Dari Makan Bubur Ketan, Mehota Politik Hingga Pembangunan Karakter




Di Lapo Kopi;
Dari  Makan Bubur Ketan, Mehota Politik
 Hingga Pembangunan Karakter
Oleh : Sadri Ondang Jaya
Jangan pernah mencari buah kopi yang masih muda di Aceh Singkil. Sukar menemukannya. Bahkan, apabila buah kopi ini dipergunakan untuk obat pasien yang sedang sekarat pun: Ya ampun, untuk mendapatkannya luar biasa susah. Mengapa? Ini karena di tanah Aceh Singkil, jarang tumbuh tanaman kopi, seperti daerah tetangganya Sidikalang.
 Ada memang beberapa orang petani yang memaksakan diri menanam batang kopi. Pohon kopinya hidup. Namun pertumbuhan dan perkembangannya  tidak sempurna. Pohonnya tidak subur seperti layaknya tanaman kopi biasa. Aneh, jangankan buah kopi yang muncul, bunganya pun enggan nongol.
        Sebenarnya bukan batang kopi yang tidak mau tumbuh. Melainkan tanah titisan Syekh Abdurrauf ini yang tidak mau menerimanya. Dengan kata lain, tanah Aceh Singkil bukanlah habitat yang elok untuk tanaman kopi.

           Karena secara geografis dan ekologis, Aceh Singkil yang luasnya sekitar 2.187 km2, termasuk  daerah yang berdataran rendah, sedikit perbukitan dan berada di lekuk bibir pantai plus daerah kepulauan.

          Posisi Aceh Singkil yang demikian, membuat daerah ini berhawa panas. Suhu udaranya setiap hari mencapai 27-36 derajat Celsius. Suhu  yang demikian panas, tidak cocok ditumbuhi tanaman kopi. Apa lagi udara Aceh Singkil, banyak mengandung uap air asin yang selalu ditiup angin dari laut.

          Hamparan, dataran tanah Aceh Singkil menurut pakar botani, lebih cocok ditanam kelapa sawit dan karet. Sehingga tidak mengherankan, kelapa sawit ini telah menjadi tanaman primadona warga. Bahkan, telah menjadi icon daerah.

       Apabila kita menyelusuri jalan-jalan desa di Aceh Singkil di kiri-kanan jalan, sejauh mata memandang, kita menyaksikan berpuluh-puluh hektar  tanaman  sawit. Ada yang telah tua berbuah lebat dan banyak pula yang masih remaja yang berbunga pasir.

        Sawit ini, di samping punya masyarakat, lebih banyak lagi pula milik perusahaan. Malah di Aceh Singkil, ada enam perusahaan bonafid yang membuka usaha perkebunan kelapa sawit  lengkap dengan pabrik CPO-nya. Tersebutlah di antaranya perusahaan peninggalan penjajah Belanda, PT. Socpindo namanya.
                                                           ***
       Kendati tanaman kopi tidak mau tumbuh di Aceh Singkil. Akan tetapi, warga  yang berpenduduk sekitar seratus ribu lebih itu, tidak ada yang tidak mengenal buah kopi. Dengan kata lain, buah kopi ini bukanlah sesuatu yang asing bagi mereka.

      Lazimnya daerah-daerah pesisir pantai, termasuk di Aceh Singkil, terutama daerah Pulau Banyak, Kuala Baru, Singkil, dan Gosong Telaga, buah kopi telah dijadikan bahan penyedap minuman. Bahkan tradisi minum air memakai rempah kopi telah  menjadi budaya.

     Bagi mereka kalau tidak minum kopi sehari barang segelas, dunia ini serasa berputar. Kepala pening, nyut-nyut, dan otak tidak encer berpikir. Apalagi bagi nelayan, saat  melaut mencari ikan, kalau tidak minum kopi, badan tidak segar alias lesu saat diterpa sang bayu.

     Karena itu tidaklah sesuatu yang aneh, apabila di perkampungan-perkampungan Aceh Singkil, kita banyak menemukan kedai kopi. Warga setempat menyebutnya dengan nama lapo kopi.

      Konon, istilah Lapo kopi ini  dikutip dari akronim ‘La yang berarti lapangan dan Po berarti politik. Jadi lapo kopi, adalah lapangan politik. Tempat warga berhujah, berdiskusi, mehota dari membahas persoalan remeh temeh, berbagai perkembangan, dan isu-isu santer, tak terkecuali juga,  persoalan kemasyarakatan.

       Bahkan, berbagai masalah pemerintah, Negara, dan politik ke kinian acap “dikuliti” di lapo kopi ini. Kalau lagi musim Pemilu, kontenstan sering menjadikan lapo kopi sebagai tempat kampanye yang murah meriah.

      Minimal di lapo kopi, mereka mempersamakan persepsi terhadap persoalan yang ada. Dalam menyamakan persepsi ini kerap terjadi debat kusir atau pertengkaran kecil-kecilan. Layaknya, seperti acara talkshow di televisi. Masing-masing memainkan peran. Ada berperan sebagai pengulas, penanya, dan ada pula sebagai komentator. Pokoknya, lapo kopi ini selalu seru, riuh, dan ramai setiap hari.

       Di lapo kopi inilah, biasanya masyarakat duduk berkumpul dan berleha-leha, “membunuh rasa suntuk” baik waktu siang  maupun malam hari. Mereka menghabiskan waktu duduk berjam-jam sembari menenggak segelas kopi, mengisap beberapa batang rokok plus makan-makanan ringan berupa bubur pulut ketan,  goreng-gorengan dan lain-lain.

       Di beberapa lapo kopi yang terdapat di Gosong Telaga dan Kuala Baru, ada kuliner khas  untuk sarapan pagi. Yaitu, ketan makan dengan lauk sambam atau ada juga ketan yang dikudok dengan ikan goreng balado. Maknyusss!

       Menariknya, di lapo kopi,  di antara pengunjung, nyaris tidak terlihat adanya perbedaan status dan strata sosial. Siapa yang besar suara dan pandai mengolah kalimat serta sedikit pintar beretorika,  perkataannya sering didengar. Malah, ungkapannya pun acap dijadikan rujukan. Apalagi kalau dia mau merogoh kantongnya, membayar minum kopi dan rokok pengunjung. Ia akan menjadi ‘bintang’ di lapo kopi itu.
                                                                        ***

       Selain mehota, pengunjung ada juga yang bermain catur, main halma. Malah  akhir-akhir ini,  marak dan sedang digemari main batu domino. Entah kapan dan siapa yang membawa permainan yang membangun imajinasi ini ke Aceh Singkil, banyak orang yang tidak bisa menjawabnya dengan pasti. Yang jelas, permainan ini telah menjadi tradisi di berbagai lapo kopi yang ada di Aceh Singkil.

      ‘Tidaklah ramai dan semarak sebuah lapo kopi, kalau lapo tersebut tidak menggelar permainan batu domino. Karenanya di sebuah lapo kopi, banyak ditemukan lapak mainan batu domino.

       Permainan yang menggunakan kubus berukuran kecil empat persegi panjang dengan tulisan titik-titik yang ditafsirkan sebagai angka ini, dalam proses permainannya selalu dihempas. orang Aceh menyebutnya dengan fe batee. Batu ini terus dihempas oleh pemain yang terdiri dari empat orang. Permainan fe batee ini, oleh ibu-ibu di Aceh Singkil disebut, menokok batu batu tak salase-salase.

        “Tak…tak…tak,” begitu bunyi hempasan batu domino yang terbuat dari bahan plastik campur fiber memecah kehening malam. Suara ini pun acap terdengar  tingkah meningkah dengan bunyi jangkrik, cacing tanah atau binatang malam lainnya.

Memang, para pemain batu domino tidak bertaruh uang. Melainkan mereka hanya bertaruh jongkok. Ada juga taruhan orang yang kalah membayarkan kopi yang menang. Taruhan seperti ini lazim mereka dilakukan tanpa beban. Mereka berpandangan, hanya sekadar ‘penikmat’ permainan.

Bila dicermati lebih dalam, peran lapo kopi sangat besar dalam pembangunan. Banyak ide-ide pekerjaan besar dan monumental yang diracik, dimatangkan, dan dikemas dalam diskusi lapo kopi. Lapo kopi menjadi ajang musyawarah pembangunan (Musrenbang). Misalnya, pembangunan masjid, jalan desa dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Tidak jarang, persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan acap dibicarakan di lapo kopi.

Budaya lapo kopi ini, tanpa disadari telah membentuk karakter yang melekat pada masyarakat Aceh Singkil. Mereka kuat dalam berpikir dan daya ingat, karena pengaruh seringnya bermain catur dan main batu domino. Pintar berdebat dan beretorika, karena acap berdiskusi di lapo kopi membahas berbagai persoalan. Konon petinggi dan orang-orang hebat di Aceh Singkil banyak yang berasal dari alumni ‘sekolah’ lapo kopi ini.

Singkatnya, lapo kopi di Aceh Singkil, telah menjadi multi fungsi. Sebagai tempat jualan air kopi dan penganan lainnya, kohesi sosial, tempat mehota sekaligus Musrenbang pembangunan, sekolah sosial dan juga sebagai ajang bisnis rumahan.
***
Sebagai ajang bisnis rumahan, lapo kopi yang ada di Aceh Singkil, telah mengindikasikan bahwa dari sinilah titik  gerak ekonomi dimulai. Paling tidak, lapo kopi ini menunjukkan tingginya semangat warga dalam mencari nafkah untuk menyambung hidup atau tetap survive.

Karena lumrahnya sebuah lapo kopi dan orang-orang yang berada di dalamnya, sejak pukul empat pagi, telah bangun dan melakukan aktifitas bisnis. Dari menyalakan api, menjarang air, membuat penganan sarapan, dan membuka pintu lapo kopi hingga melayani pengunjung yang mau makan-minum di lapo kopi tersebut.

Ada sebuah falsafah hidup yang dianut pedagang lapo kopi di Aceh Singkil, ‘kalau mau jualan kopi, bersiap-siaplah membuka warung kopi sebelum orang lain bangun dan aktifitas lain dimulai. Kalau  tidak mau melakukan itu, jangan pernah membuka lapo kopi dan siap-siaplah menerima umpatan.’
                                                            ***
  
 Umumnya, tradisi minum kopi di daerah-daerah lain termasuk di Aceh disajikan dengan cara memasukkan biji kopi yang telah diracik dan dihalusi dengan mesin penggiling ke dalam cawan besar yang di dalamnya telah tersedia air panas. Lantas air yang telah dicampur bubuk kopi ini disaring lagi dengan saringan berbentuk kaus kaki. Saringan ini, secara berkala diangkat-angkat atau ditarik-tarik ke atas barang dua atau tiga kali. Kemudian barulah air kopi itu dimasukkan lagi ke dalam ceret melalui saringan yang telah dipasang.

          Lantas dari ceret inilah air kopi dituangkan pada gelas yang ditaburi gula. Lalu disajikan kepada penggunjung warung kopi yang memesan. Jadi, proses penyaringan air kopi berlangsung sebanyak dua kali.

            Berbeda dengan penyajian kopi di lapo kopi  Aceh Singkil. Biji kopi, terlebih dahulu digongseng hingga bewarna hitam arang. Setelah itu, biji kopi ini ditumbuk mengunakan alu dan lesung atau lumpang. Sebelum ditumbuk, biji kopi tadi ditaburi dengan sedikit beras pulut, barulah ditumbuk hingga halus dan menjadi serbuk. Sebuk ini diayak hingga buah kopi halus seperti tepung.

Nah, serbuk tepung kopi inilah yang disedu di lapo-lapo kopi di Aceh Singkil. Penyeduan ini, masih ala tradisional, unik, dan ala rumahan. Kopi diseduh  dengan cara memasukkan bubuk kopi dan gula secukupnya ke dalam gelas. Setelah itu, baru dituangkan air mendidik yang panasnya luar biasa. Air panas inilah secara alamiah langsung merebus kopi.

Setelah dibuat tadah berupa piring di bawah gelas, pelayan pun menghidangkan kepada pengunjung. Pengunjung mengaduk kopinya dengan sendok. Ketika diaduk bubuk kopi terasa pekat menyatu dengan air dan gula.

Jika penikmat menyerumput air kopi, ampas serbuknya turut bercampur dengan air yang diminum. Di titik inilah, minum kopi, terasa mantap dan nikmat. Kopi seperti ini, kalau di Aceh Singkil namanya kopi pakek. Di daerah lain, dinamakan lumpur atau kopi tubruk. Konon di  Arab  lebih dikenal dengan sebutan turkish coffee. Nah, bagi penggemar kopi, kunjungilah lapo kopi Aceh Singkil. Dahaga coffein Anda akan dimanjakan di sana.[]

Sadri Ondang Jaya, S.Pd
Guru dan Penulis Buku Singkil Dalam Konstelasi Sejarah Aceh (SDKSA)

Selasa, 21 April 2015

Artikel/opini



 Penulis Aceh Tempo Doeloe
Duo  dari Singkil
Oleh : Sadri Ondang Jaya

Aceh tempo doeloe, banyak melahirkan  penulis hebat dan berkaliber. Tulisan-tulisan mereka, bukan saja  dibaca kalangan intelektual lokal di Nusantara. Tetapi juga, para ilmuan di mancanegara. Tingkatan ilmu pengetahuan yang  mereka tulis pun terbilang level tinggi dan bermanfaat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, kenegaraan dan pemerintahan.

Bahkan,  pokok-pokok pikiran penulis Aceh yang dituangkan dalam bentuk buku itu,  menjadi bahan rujukan pada negara-negara Timur Tengah dan Asia, termasuk Malaysia, Thailand, dan Berunai Darussalam. Karya mereka, selalu  dibaca, dipelajari, dianalisa, dan diaplikasikan dalam kehidupan.

Dari sekian banyak penulis Aceh,  tersebutlah di antaranya Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Abdurrauf Al-Singkili yang notabene berasal dari Singkil. Duo  penulis ini, tergolong penulis produktif dan top yang pernah dimiliki Indonesia.

Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Abdurrauf al-Singkili, telah menghasilkan karya yang luar biasa mencerahkan, menginspirasi sekaligus menjadi bahan dakwah tak hanya bagi kaum muslimin Indonesia juga mancanegara.

Dalam suatu riwayat dinukilkan, Syekh Hamzah Fansuri, adalah seorang pujangga yang menoreh syair-syair sufi dan sastra relegi yang berbahasa Melayu. Hamzah Fansuri, telah menghasilkan sejumlah karya masterpiece. Seperti, Syair Perahu, Burung Pinggai, Syair Dagang, Syair Sidang Fakir dan sejumlah syair-syair lainnya. Di samping itu, ada juga hasil karyanya dalam bentuk prosa seperti, Asyirabul asyiqin dan Asrarul Arifin Fibayan Suluk wal tauhid. Konon, karya-karya Hamzah Fansuri yang lain, banyak dibakar di depan masjid Raya  Baiturrahman Banda Aceh.

Begitu hebat dan piawainya  Syekh Hamzah Fansuri  dalam meracik syair-syairnya, membuat Prof. Dr. Naguib Alatas, Sastrawan dari Malasyia memberi gelar padanya “Jalaluddin Rumi-nya Nusantara”. Alasan pemberian gelar ini, karena Hamzah Fansuri tergolong penyair sufi yang tiada taranya di Nusantara. Tidak saja di zamannya malah sampai sekarang.

Kepeloporan Syekh Hamzah Fansuri di bidang Sastra Melayu diakui oleh pakar Belanda Francois Valentijn yang pernah datang ke Aceh sekitar 1345 M atau 744 H (tulisan M. Junus Djamil), dengan bukunya Oud en Niew Oost-Indien (1726). Valentijn mengatakan, Syekh Hamzah Fansuri telah berhasil dan sukses menggambarkan kebesaran Aceh masa lampau melalui syair-syair yang digubahnya (Sri Suyanta, 1998).

Winsteld dalam bukunya “A History of classical Malay Literatur” mengatakan, “ Hamzah Fansuri in sumatera is the earliest and greatest of Acheh’s  group of  writers on hereticalon”

Di samping penulis dan penyair, Syekh Hamzah Fansuri termasuk pengembang ajaran Tasawuf  Wahdatul Wujud (wujudiyyah) yang dicetuskan oleh Ibnu Arabi. Syekh Hamzah Fansuri juga pendakwah ulung. Ajaran-ajaran Islam dikupas dan disampaikannya dengan retorika menarik dan memukau. Jabaran-jabaran isi dakwahnya, diselingi dengan syair-syair.

 Dalam berdakwah,  Syekh Hamzah Fansuri, sering berpindah-pindah tempat, berkelana hingga ke pelosok Nusantara dan mancanegara. Antara lain, beliau pernah ke Kudus, Banten, Johor, Siam, India, Persia, Irak, Mekkah, dan Madinah. Dengan adanya kiprah Syekh Hamzah Fansuri ini membuat nama beliau dan Aceh sangat harum  di kalangan ulama-ulama Nusantara dan mancanegara.
                                                                         ***
Sementara itu, Syekh Abdurrauf al-Singkili yang lahir di  Singkil pada tahun 1105 H atau 1615  (versi lain tahun 1620), termasuk penulis sukses. Di samping beliau menjadi Mufti Agung dan Qadhi Malik al-Adil di Kerajaan Aceh Darussalam. Ia juga tampil di pentas intelektual Nusantara. Ia tergolong ulama yang sangat produktif dalam menulis. Karyanya mulai dari ilmu tasawuf hingga fikih. Ada sekitar dua puluh dua karya (kitab). Satu buah kitab tafsir, dua buah kitab hadis, tiga kitab fikih, dan sisanya kitab tasawuf.

         Syekh Abdurraf menulis kitabnya dalam bahasa Arab dan Melayu. Kitab tafsirnya yang berjudul Turjuman al Mustafid, diakui sebagai kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia dengan bahasa Melayu.

           Mir’at at-Tulab fi Tahsil Ma’rifat Ahkam asy Syar’iyyah lil Malik al Wahhab, merupakan salah satu kitabnya di bidang ilmu fikih. Di dalamnya memuat berbagai persoalan fikih mazhab Syafiie. Kitab ini menjadi panduan para qadhi di Kerajaan Aceh Darussalam.

         Di bidang tasawuf, karyanya antara lain Kifayatul al Muhtajin, Daqaiq al Huruf, Bayan Tajalli, Umdat al Muhtajin, Suluk Maslak al Mufridin. Kitab yang terakhir ini merupakan karya terpenting Syekh Abdurrauf. Kitab ini yang terdiri dari tujuh bab. Isinya memuat antara lain tentang zikir, sifat-sifat Allah, dan Rasulnya serta asal-usul mistik.

       Karya-karya Syekh Abdurrauf al-Singkili yang sempat dipublikasi murid-muridnya, antara lain.  Pertama, Mir’at al-Thullab fi Tasyil Mawa’iz al Badi’rifat al-Ahkam al- Syari’yyah lil Malik al-Wahhab. Karya dibidang fiqh atau hukum Islam yang ditulis atas permintaan Sultanah Safiyatuddin. Dua, Tarjuman al-Mustafid. Merupakan naskah pertama tafsir al-Quran yang lengkap berbahasa Melayu. Tiga, terjemahan hadis Arba’in karya Imam al-Nawawi. Kitab ini ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyyatuddin.

       Empat, Mawa’iz al-Badi’. Berisi sejumlah nesehat penting dalam pembinaan akhlak. Lima,Tanbih al-Msyi. Kitab ini merupakan naskah tasawuf yang memuat tentang martabat tujuh. Enam, Kifayat al- Muhtajin ila Masyarah al- Muwahhidin al-Qailin bi wahdatil Wujud. Memuat penjelasan tentang konsep Wahadatul Wujud. Daqaiq al-Hurf. Pengajaran tentang tasawuf dan teologi.

          Di samping tugasnya sebagai Mufti Agung di kerajaan Aceh Darussalam, Syekh Abdurrauf al-Singkili terus mendarmabaktikan dan  menyebarkan ilmu pengetahuan agama kepada masyarakat dengan menjadi seorang da’i dan guru. Beliau juga, sebagai khalifah Tarekat Sufi Syattariah. Sehingga tarekat ini menjadi sangat dominan dalam penghayatan agama dalam Kerajaan Aceh.

               Teladani
        Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Abdurrauf al-Singkili juga ulama-ulama penulis lain di Aceh, telah lama berpulang keramatullah. Namun, ilmu dan karya-karya  yang ditorehkan mereka dalam bentuk buku, masih abadi. Generasi muda sekarang dan akan datang masih bisa membacanya.

        Dari titik ini, ada hikmah yang bisa dipetik. Para ulama atau ilmuan Aceh tempo doeloe sangat bersemangat, dalam menimbah ilmu, mengasah ilmunya dan piawai menuangkan ilmu yang mereka miliki itu, dalam kitab-kitab.

       Hal ini perlu diteladani oleh generasi muda, calon intelektual. Karena, setinggi apapun ilmu, kalau tidak ditulis, maka ilmu itu akan hilang. Kalau ilmu tersebut ditulis, dibukukan, ia akan abadi. Dibaca oleh banyak orang, bahkan melampui batas usia penulisnya.

      Apapun yang  diketahui, dengar, dan lihat tidak akan bermakna dan bermanfaat untuk pengembangan diri dan masyarakat, bila apa yang  ketahui, dengar, dan amati itu tidak pernah  “diikat” atau tulis. Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan, “Ikatlah ilmu dengan menulisnya”.

      Mengikat atau menulis merupakan aktifitas penting yang tidak boleh disepelekan. Dengan menulis berarti  telah mengumpulkan satu kepingan makna. Kepingan makna ini, kita koloborasi dan kombinasikan dengan kepingan makna yang lain, akan membentuk makna baru. Makna baru yang dimaksud, tentunya makna yang menyadarkan dan mencerahkan. Nah, makna yang demikian itulah yang telah disajikan duo ulama dari Singkil.[]


Sadri Ondang Jaya, S.Pd
Pendidik di Gosong Telaga-Aceh Singkil









Rabu, 01 April 2015

Hampir Finis

“Singkil dalam Konstelasi Sejarah Aceh”. Buku sejarah. Penulis: Sadri Ondang Jaya. ISBN 978-602-335-021-6. Penerbit FAM Publishing, Divisi Penerbitan Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia. Segera terbit!

Endorsement:
Majelis Adat Aceh (MAA) Kabupaten Aceh Singkil, menyambut hangat kehadiran buku “Singkil dalam Konstelasi Sejarah Aceh” sebagai hasil karya Saudara Sadri Ondang Jaya. Buku ini mengupas secara sangat konperhensif sejarah, falsafah masyarakat Singkil di pusaran Keraj...
Lihat Selengkapnya
Batal Suka · Ko

Minggu, 22 Maret 2015

Hasil Wawancara Sadri Ondang Jaya dengan acehmenulis



Singkil dalam Konstelasi Sejarah Aceh: Mengubah Tuturan Menjadi Sejarah

Posted on Maret 19, 2015 by admin in Buku

Nama : Sadri Ondang Jaya, S.Pd Tempat/Tanggal Lahir: Singkil, 12 Agustus 1969 Pekerjaan : Guru Pendidikan: Sarjana FKIP Unsyiah Buku yang pernah diterbitkan: buku antologi: Mimpi yang Sempurna, Cinta di Ujung Pena dan Ensiklopedi Penulis Indonesia. Karya Tulis Lainnya: Penulis, Cerpen, Opini di berbagai media massa. 
Dunia buku dimulai oleh Sadri Ondang Jaya, seorang guru SMK Negeri 1 Singkil Utara ini melalui antologi 42 penulis dalam buku Kisah Inspiratif; “Cinta di Ujung Pena: Ketika Menulis Jadi Pilihan” yang diterbitkan oleh Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia tahun 2014 lalu. Dalam buku tersebut, ia menuangkan perjalanan hidupnya dengan judul “Hidup Miskin Membuat Saya Aktif Menulis”.
Kini sebagai putra Singkil, ia menuangkan kreatifitasnya dalam buku baru yang berjudul: “Singkil dalam Konstelasi Sejarah Aceh” bersama editor  Murizal Hamzah. Berikut petikan wawancara singkat dengan beliau.



Bisa ceritakan garis besar dari buku “Singkil dalam Konstelasi Sejarah Aceh”?
Buku ini mengisahkan tentang masa lalu atau sejarah Singkil yang pernah jaya. Baik di bidang ekonomi, perdagangan, budaya dan sosial keagamaan. Singkil pernah memeliki pelabuhan laut terpadat di pantai barat selatan Aceh. Bukan saja di singgahi kapal dari Nusantara tapi juga dari  Asia, Eropa, Afrika, Timur Tengah dan Amerika. Salah satu komoditi ekspor Singkil adalah kapur barus selain rempah-rempah.
Dalam buku ini juga ditulis, kronik dan heroik terjadinya perang antara bangsa Indonesia Belanda dan Jepang. Ada juga pernak-pernik kerajaan di Singkil Hilir dan Singkil Hulu. Atau kisah kerajaan Sinambelas. Kemudian mengisahkan peran dan kiprah beberapa orang putra terbaik Singkil terutama ulama. Seperti Syekh Abdurrauf dan Hamzah Fansuri. Baik perannya di Singkil sendiri maupun di kerajaan Aceh Darussalam. Ada juga kisah pahlawan wanita, Siti Ambia. Dengan gigih dan gagah berani ia melawan Belanda bersama kaum laki-laki.

Berapa lama waktu yang diperlukan untuk melakukan riset dan menuliskannya menjadi buku ini?
Riset serius tidak ada. Saya hanya membaca buku-buku dan wawancara dengan beberapa orang narasumber. Ini saya lakukan memenuhi tuntutan, sebagai wartawan. Selain itu, karena (kurangnya) refrensi tentang pernak-pernik sejarah Singkil, maka saya tulis untuk dibaca atau menjadi referensi bagi generasi muda.
Buku ini berisikan tentang ‘tuturan orang-orangtua’  di Singkil yang menurut saya, penuh kisah dan sarat dengan  sejarah. Cerita ini, kalau dibiarkan begitu saja mubajir. Lantas saya kutip kemudian saya tulis dan saya kaitkan dengan referensi yang ada.  Ini sebenar(nya) bukan sejarah yang dipahami kalangan akademisi. Yang saya tulis ini adalah potongan-potongan (penggalan-penggalan sejarah ) atau simpul-simpul sejarah untuk diuraikan atau ditindak lanjuti. Bila perlu diteliti oleh kalangan sejarawan atau akademisi.
Tugas saya, hanya membuka simpul-simpul sejarah Singkil. Sejauh mana kebenaran, perlu dibuktikan sejarawan. Karena yang saya tulis ini kisah yang dituturkan dari mulut-ke mulut. Banyak kalangan mengatakan, apa yang saya tulis ini “dongeng sejarah” yang dikemas dengan penulisan gaya esai.
Saya tidak peduli apa kata orang, yang jelas saya telah mengubah sebuah tradisi. Dari tradisi menuturkan sejarah atau kisah menjadi menulis kisah atau sejarah. Karena saya berasumsi tuturan akan lenyap dan hilang tapi kisah yang ditulis akan abadi. Sedangkan untuk riset dan menulisnya memakan waktu satu tahun. Tapi lama ngendap karena harus mengumpulkan dulu uang buat biaya cetak.

Apa kesulitan (terbesar) yang bapak rasakan saat menulis buku yang bersifat sejarah ini?
Tidak ada referensi dan pelaku sejarah serta nara sumber banyak yang meninggal. Kemudian unsur subjektivitas susah untuk disembunyikan.

Apa harapan terbesar sebagai penulis dengan terbitnya buku ini?
Pertama, mengubah budaya tutur menjadi budaya tulis dan baca. Karena budaya tuturan dalam mengisahkan sejarah akan mudah hilang dan lupa dibanding dengan budaya tulis dan baca. Kedua, untuk menginformasikan pada generasi muda bahwa Singkil itu kota yang bersejarah, pusat peradaban dan budaya dan punya falsafah hidup yang tinggi. Yang ketiga adalah menyampaikan ke publik bahwa Singkil atau tepatnya putra Singkil pernah berperan dalam membentuk tamaddun dan budaya serta tradisi dalam tata pemerintahan di Aceh. Pemikiran-pemikiran putra Singkil selalu menjadi rujukan baik dulu maupun sekarang. Dan yang keempat, terakhir adalah memberi tahu bahwa Singkil itu, ya Aceh. Karena kerajaan Singkil punya hubungan erat dengan kerajaan Aceh Darussalam.[]