Kamis, 26 April 2018

Memutar Mundur Jarum Jam Aceh Singkil


Oleh : Sadri Ondang Jaya

Menjelang peringatan Hari Jadi Aceh Singkil ke-19 tahun, (27 April 1999-27 April 2018) dan di saat Aceh Singkil telah mendapat legitamasi dari pemerintah pusat sebagai daerah “4 Ter”: Terpencil, termarginal, termiskin, plus terbanjir (lihat Peraturan Presiden Nomor 131 tahun 2015). Saya teringat dengan keadaan Aceh Singkil  tahun 90-an dan 80-an.
Keadaan itulah yang ingin saya refleksikan dalam tulisan singkat ini. Untuk melihat itu semua, agaknya kita perlu sejenak  memutar mundur jarum jam Aceh Singkil dengan cara  memasuki dan menelusur lorong-lorong waktu.

Aceh Singkil di era 90-an dan 80-an bahkan jauh sebelumnya, terdapat sejumlah perusahaan kayu yang besar dan bonafid. Termasuk juga perusahaan swamill yang tak terhitung jumlah dan tak tahu apa namanya.

Kehadiran perusahaan-perusahaan itu, diakui atau tidak bagi kalangan tertentu, terutama pemilik dan orang yang bekerja di perusahaan, sangat mengembirakan dan menyejaterakan. Sehingga ada ungkapan, untuk mendapatkan uang banyak, jadilah pemilik perusahaan kayu di Aceh Singkil, minimal menjadi pekerja di perusahaan tersebut.  

Ada anekdot, saking banyaknya uang pemilik perusahaan kayu dan swamill di Aceh Singkil—termasuk karyawan-karyawannya--mereka tidak tahu lagi menggunakan dan menyimpan uangnya. Uang itu, tidak dibawa dengan tas atau diisi dalam dompet,  melainkan dimasukkan dalam karung goni bekas tepung terigu cap segitiga. Karung goni itulah yang ditenteng ke pasar atau ke toko, saat mau belanja, misalnya.

Ada cerita lucu, jika uang yang berjibun diminta, tak bakal dikasih. Tetapi kalau uangnya dicuri, tidak apa-apa, asal jangan ketahuan. Karena sipemilik uang, tidak pernah menghitung berapa jumlah uang yang disimpannya.

Uang itu, berasal dari hasil penjualan kayu-kayu ke luar daerah. Sebab ketika itu, perusahaan-perusahaan kayu di Aceh Singkil dengan peralatan modern, menebang, dan mengelola ribuan batang kayu yang sangat berkualitas. Ada jenis kayu meranti, kapur, damar laut, lagan, krueing, dan jenis kayu lainnya. Batang kayu itu dirambah dari kebun rimba raya Aceh Singkil termasuk Subulussalam dengan mengatas namakan HPH-HGU milik mereka.

Setelah kayu yang berukuran besar (gelondongan-balok) itu ditebang dan diolah, lalu truk-truk besar mengangkut dan menumpuknya di padang-padang luas, dekat pinggir sungai yang notabene tak jauh dari pemukiman warga.

Kemudian, kayu gelondongan (balok) dan olahan (beroti) tadi didorong dan dijatuhkan oleh alat-alat berat pula, seperti PH, traktor, exavator dll ke sungai. Oleh tangan-tangan cekatan nan terampil, dirakit dengan menggunakan balabek dan rotan. Sejurus kemudian, kayu-kayu itu dijejarkan dan ditambatkan di sepanjang sungai, sejak hulu hingga hilir. Bahkan, sampai ke muara.

Tak lama kemudian, kayu yang telah dirakit digandeng dan dimuat ke kapal atau tongkang besar yang telah berlabuh di teluk perairan laut Aceh Singkil. Adanya juga yang langsung dimuat ke boat yang bisa sandar ke steker-steker yang terbuat dari kayu.


Setelah petak dan lambung, boat, kapal atau tongkang penuh berisi kayu, boat, kapal, dan tongkang tersebut pun berangkat ke luar daerah. Konon katanya, kayu-kayu itu ada yang dibawa sampai Singapura, Jepang, dan negara-negara Eropa.

Sebagai ilustrasi banyaknya balok dan beroti di Aceh Singkil, ketika itu, apabila rakit-rakit tadi disusun rapi, maka susunan rakit itu akan sampai ke perairan Jepang, akan bisa menjadi jembatan. Apabila orang Singkil mau ke Jepang, mereka cukup meniti di rakit balok-balok tadi.

Sekarang setelah perusahaan-perusahaan kayu itu hengkang dari bumi titisan darah Syekh Abdurrauf, dalam pikiran saya muncul selaksa tanya. Pertanyaan yang teramat mengelitik nurani saya, adalah mengapa keberadaan puluhan perusahaan  kayu di aceh Singkil, ketika itu, belum bisa mengentaskan endemik kemiskinan dan keterbelakangan warga Aceh Singkil.

Padahal omset yang diterima perusahaan tadi, setiap tahunnya, dari penjualan kayu, mencapai triliunan. Kemana uang itu? Mengapa agak sedikit tidak menetes dan mengalir pada warga atau berbekas dalam bentuk bangunan-bangunan yang monumental di Aceh Singkil.

Hutan yang digarap perusahan kayu ini sudah berpuluh tahun. Lalu, hasil hutan itu milik siapa? Kok warga sekelilingnya hidup melarat dan hanya menjadi penonoton belaka.

Bisa diduga, uang tadi, hanya dinikmati  “orang-orang tertentu” dan umumnya berdomisli di luar daerah sana. Sementara warga Aceh Singkil menjadi penonton. Menggigit jari dan hanya mereguk angan belaka.

Bahkan, uang sosial kemasyarakatan yang seharusnya diberikan perusahaan secara berkala setiap tahun, tidak pernah dirasakan dan dinikmati warga. Padahal lokasi operasional perusahaan begitu dekat dengan pemukiman mereka.

Sekarang, justru warga menanggung dampak dari keberadaan perusahaan-perusahaan itu setelah hutan yang ditebangnya tanpa reboisasi: “Jika musim kemarau, panas terik memanggang. Kalau musim penghujan, pemukiman diterjang banjir dan banyak rumah warga direndam air.”

Orang-orang tertentu yang telah menikmati kekayaan alam Aceh Singkil, dalam keadaan banjir ini, hanya berumah “di atas angin” sambil tertawa-tawa sembari mengucapkan kalimat, “Memang gue pikirin. Rasain lu.”

Padahal kekayaan alam Indonesia--termasuk di Aceh Singkil-- seluruhnya diperuntukan demi kesejahteraan dan hajat hidup orang banyak. Begitu amanah UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Namun apakah amanat itu, hanya sekadar utopia belaka (?)

Memang, ketika itu, ada beberapa warga pribumi yang menjadi buruh atau dipekerjakan di perusahaan  tersebut. Tetapi, mereka hanya buruh lepas (BHL), dengan memeroleh gaji “alakadar”. Perusahaan, tak pernah memberikan tunjangan kesejahteraan, uang lebaran, apalagi pesangon dan uang pensiun kepada mereka.

Jika ada buruh yang kritis, mempertanyakan hal ini, buruh tadi digrogok dengan ancaman diberhentikan kerja. Pemuda-pemuda yang berani dan cerdas kala itu, mulutnya dibungkam dengan cara diberikan beberapa helai kustum, bola kaki, dan bola voli. Ada juga yang diajak “pesta” akhir tahun.

Paling hebat, sebagai pembujuk, perusahaan hanya memberikan beberapa potong pekayuan untuk merehap masjid atau mushala. Ironis memang.

Sekarang perusahaan kayu itu telah hengkang dari Aceh Singkil. Rasanya, tak ada satu pun kenangan yang monumental dan membekas yang ditinggalkan perusahaan. Ia hanya menyisahkan daerah yang setiap tahun diterjang banjir. Dan telah pula menjadikan Aceh Singkil sebagai daerah “4 Ter”. Malah, supremasi itu masih tetap bertengger dalam usia Kabupaten Aceh Singkil ke-19 ini.

Apakah kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit yang ada sekarang bertebaran di Aceh Singkil akan demikian pula? Apakah bisa menyejaterakan dan bisa mengangkat harkat dan martabat warga Aceh Singkil secara signifikan?

Bukan justru sebaliknya, memerlebar dan menciptakan jurang pemisah (gap) antara warga dengan pihak perusahaan. Dengan kata lain, warga Aceh Singkil hanya menjadi penonton budiman dibalik “keangkuhan tembok” perusahaan. Perusahaan ada dan banyak, tapi di sekeliling pemuda pemudinya menjadi penganggur. Dan Aceh Singkil tetap berada di titik nadir kemiskinan.

Untuk menjawab itu, warga Aceh Singkil harus bergerak serempak dan mengarah pada perubahan. Terutama yang lebih urgen, perubahan cara berpikir. Harus meninggalkan cara berpikir lama nan usang.

Ada nasihat Peter Drucker, “Bahaya  terbesar dalam turbelensi (menimbulkan gangguan, keresahaan, dan ketidaknyamanan) bukan turbelensi itu sendiri, melainkan ‘cara berpikir kemarin’ yang masih dipakai untuk memecahkan masalah sekarang.”
Warga Aceh Singkil hari ini, jangan pernah mengulang kesalahan masa lalu. Keledai saja, tak pernah terperosok dua kali dalam lubang yang sama. Mengapa kita manusia harus terperosok? Jangankan terperosok dua kali, sekali pun jangan. Camkan itu! []

Sadri Ondang Jaya, adalah guru dan Penulis Buku Singkil
Dalam Konstelasi Sejarah Aceh (SDKSA).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar