Minggu, 22 April 2018

SEMOGA BERKAH

Oleh : Irwan Syahputra Lubis

“Semoga Berkah!”
Dua kata itulah yang dituliskan oleh sang penulis, Bapak Sadri Ondang Jaya (SOJ), pada salah satu lembaran buku yang saya beli kepada beliau pagi itu.
Buku yang mengisahkan peranan hebat dua ulama sufi asal Singkil di masa lalu, perjuangan keras rakyat Singkil dalam melawan penjajah(an), kejayaan Singkil di masa itu, serta kisah-kisah menarik lainnya tentang (Aceh) Singkil yang—saya yakin—tidak diketahui oleh banyak orang di masa sekarang.
Buku yang saya maksud tidak lain dan tidak bukan adalah “Singkil dalam Konstelasi Sejarah Aceh”—atau biasa disingkat dengan “SDKSA”.

***
Semua berawal ketika salah seorang rekan sekerja yang sedang membaca koran bertanya kepada saya, “Wan, Siti Ambia itu nama pahlawan dari Singkil, ya?”

Saya terdiam beberapa saat setelah mendengar pertanyaan “aneh” rekan saya itu. Pertanyaan yang tentu saja membuat saya bingung dan tak tahu harus berkata apa. Karena setahu saya, ‘Siti Ambia’ hanyalah sebuah nama desa di salah satu kecamatan yang ada di kabupaten Aceh Singkil. Di sela kebingungan dan ketidaktahuan saya, saya jawab saja, “Wah, nggak tau, Bang.” Mendengar jawaban itu, rekan saya tadi memberikan koran yang baru saja dibacanya kepada saya, lalu beranjak pergi meninggalkan saya.

Saya baru tahu bahwa ada seorang guru sekolah menengah atas (SMA) di Singkil Utara yang menulis dan menerbitkan sebuah buku berjudul “Singkil dalam Konstelasi Sejarah Aceh” melalui koran yang saya terima dari rekan saya tadi. “Sadri Ondang Jaya Tulis Buku ‘Singkil dalam Konstelasi Sejarah Aceh’”, begitu jika tidak salah judul berita yang tertera di salah satu halaman koran pagi itu.

Dari koran itu pula saya tahu bahwa ternyata benar, nama desa ‘Siti Ambia’ yang ada di kecamatan Singkil itu berasal dari nama srikandi hebat yang ikut andil dalam peperangan Singkil melawan para penjajah di masa lalu.

“Wah, hebat. Harus segera punya nih (buku),” gumam saya dalam hati kala itu.
Karena rasa penasaran dan keinginan saya untuk memiliki buku tersebut, maka saya pun menjelajahi dunia maya untuk mencari tahu informasi mengenai si penulis dan buku yang ditulisnya itu. Benar saja, ketika saya ketikkan judul buku tersebut di mesin pencari (Google), saya menemukan banyak sekali media-media online yang tengah gencar-cencarnya memberitakan kabar serupa dengan apa yang telah saya baca di media cetak sebelumnya.

Dari dunia maya pula (melalui media sosial Facebook), saya menemukan nomor HP penulis, dan memutuskan untuk memesan satu buku yang ingin saya koleksi itu melalui pesan singkat (SMS). Saya ingat betul ketika itu Pak Sadri membalas pesan saya dengan: “Alhamdulillah, dimano alamat?” Pesan itu saya terima pada tanggal 12 Mei 2015 pukul 16:10:24.

Empat hari setelahnya, Sabtu pagi (16 Mei 2015), ketika saya tengah duduk di sebuah kursi plastik di dekat jendela rumah nenek saya sembari membaca buku, tiba-tiba sebuah panggilan masuk melalui telepon genggam saya: “P. SOJ memanggil ... ”

“Assalamu’alaikum, Pak Iwan, di mano kini?” Suara dari ujung telepon bertanya kepada saya.
“Wa’alaikum salam, iko lagi di rumah, Pak.” Jawab saya pendek.

Melalui percakapan itu, Pak SOJ mengabarkan bahwa beliau sudah berada di Kilangan, tepatnya di salah satu warung kecil yang ada di dekat simpang menuju SD Negeri Kilangan.

Mendengar Pak SOJ memanggil saya dengan sebutan “pak”, saya tertawa geli. Barangkali beliau mengira orang yang memesan buku kepadanya beberapa hari lalu adalah seseorang yang telah berkeluarga—padahal saat itu usia saya masih 19 tahun. Hahaha ... Sambil sedikit tertawa, saya pun dengan segera mengambil pulpen di dalam rumah sebelum memutuskan bertemu dengan penulis yang membuat jantung saya sedikit berdebar-debar pagi itu.

Beberapa saat kemudian, saya keluar dari rumah dan berjalan menuju lokasi yang dimaksud Pak SOJ—yang kebetulan tidak berjarak jauh dari rumah orang tua saya. Tiba di warung itu, saya langsung menyalami beliau, dan seorang anak lelaki beliau yang ikut dibawanya kemudian menyalami saya. Di warung itu pula, untuk pertama kalinya saya bertatap muka secara langsung serta berjabat tangan dengan penulis buku SDKSA ini.

Duduk di sebuah bangku panjang, saya dan beliau terlibat sebuah perbincangan yang relatif singkat dan ringan pagi itu. Saya bertanya beberapa hal kecil kepada beliau; karena tahu beliau pernah menimba ilmu di Pondok Pesantren Darul Hasanah yang notabene terletak di kampung Kilangan, saya menanyakan apakah beliau mengenal ayah saya yang dulu pernah mengajarkan mata pelajaran bahasa Inggris di dayah itu—dan ternyata beliau mengenalnya, SDKSA ini buku beliau yang keberapa, disusul beberapa pertanyaan ringan lainnya.

Sebelum Pak SOJ kembali ke kediamannya di kecamatan Singkil Utara, saya mengeluarkan pulpen yang sudah saya siapkan dari saku celana, kemudian meminta agar beliau berkenan membubuhkan tanda tangannya pada buku yang ditulisnya itu. Dan dengan senang hati, beliau pun mengabulkan permintaan saya, lalu menuliskan dua kata (doa): Semoga Berkah!

***
Pada kesempatan yang sama, Pak SOJ menasihati agar saya senantiasa gemar membaca. Kata beliau pula, salah satu ciri daerah maju adalah daerah yang masyarakatnya gemar membaca dan adanya toko buku di daerah itu.

Sementara di daerah kita, atau di kabupaten Aceh Singkil umumnya? Hhm, saya kira kita semua sepakat: kita masih sulit mendapatinya.

Padahal, membaca buku (dan sebagainya) sangat besar manfaatnya bagi kita, di antaranya: membaca dapat melatih kemampuan berpikir, menambah wawasan dan ilmu pengetahuan, mengurangi stres, mengasah kemampuan menulis, meningkatkan kualitas memori kita, dan membuat kita selalu merasa haus akan ilmu. Tentu saja, kita juga jangan malu untuk bertanya kepada orang yang lebih matang pemikirannya (seperti guru, ustadz, dsb.) apabila kita menemui bacaan yang sulit dimengerti atau dipahami agar tidak “terjebak” pada pemikiran dan pemahaman kita sendiri.

“Bacalah 10 buku,” kata Darwis (Tere Liye) dalam sajaknya, “maka kita akan tiba-tiba merasa sok tahu dan merasa paling pintar. Tapi tahan dulu sok tahunya…. Bacalah 50 buku, maka sok tahu-nya akan mulai berkurang, meski tetap merasa lebih pintar. Tapi juga tetap tahan dulu…. Bacalah 100 buku, maka sok tahu-nya semakin berkurang, pun merasa pintarnya. Tapi tetap tahan dulu…. Bacalah 500 buku, maka kita akan menghela napas panjang, ternyata semakin banyak saja yang tidak kita tahu, semakin merasa belum ada apa-apanya…. Bacalah 1000 buku, dan seterusnya…. Maka itulah kenapa orang-orang yang tidak membaca buku, atau hanya 1-2 buku saja setahun terakhir, jika dia termasuk nyolot, senga, belagu maka posisinya ada di titik paling ekstrem orang-orang sok tahu; itu sudah rumus alam.”

Hal senada juga pernah diucapkan oleh seorang khalifah ‘Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu pada 15 abad silam:

“Ilmu itu ada tiga tahapan. Jika seseorang memasuki tahapan pertama, dia akan sombong. Jika dia memasuki tahapan kedua, ia akan tawaduk. Dan jika memasuki tahapan ketiga, dia akan merasa dirinya tidak ada apa-apanya.”

Nah, ketika kita telah menyadari bahwa diri kita memang benar-benar tidak ada apa-apanya, maka insya Allah kita juga akan lebih mudah dalam merendahkan dan menghinakan diri di hadapan Sang Pencipta. Ingat bahwa salah satu sikap yang paling disukai Ilahi adalah melihat umatNya tunduk bersujud, merendahkan diri dan memujiNya. Dan seperti kata guru saya, “Lihatlah orang bersujud; bahkan, bokongnya pun lebih tinggi posisinya dari hati, kening, dan otak yang selalu mereka banggakan selama ini.”

Selamat berwisata buku, selamat membaca, dan—seperti yang dituliskan Pak SOJ—semoga berkah!
Singkil, 16 Maret 2016
(Twitter: @irwanzah_27)
*Foto bersama SOJ saya ambil dari https://goo.gl/JtMLt6 dengan sedikit perbaikan.
#ISL27

Tidak ada komentar:

Posting Komentar