Siapa yang tak kenal
dengan Syekh Abdurrauf al-Singkili. Beliau adalah intelektual Islam Aceh. Sosok
ulama yang memiliki talenta tinggi. Pokok-pokok pikirannya sangat bernas, acap
dijadikan pedoman dan rujukan dalam pemerintahan kerajaan Aceh Darussalam.
Sehingga, ketika Syekh Abdurrauf menjadi Mufti Malikul Adil di kerajaan Aceh
Darussalam, kerajaan ini tergolong lima
kerajaan Islam terbesar di dunia.
Syekh Abdurrauf al-Singkil,
telah mengarang lebih kurang 22 buah kitab. Kitab-kitab tersebut, memuat persoalan tasawuf, hukum, tauhid, dan
lain-lain. Karena ketinggian ilmu Syekh Abdurrauf ini, membuat beliau sangat disegani dan
tersohor sampai ke manca negara.
Syekh Abdurrauf
al-Singkili, menjadi ulama dan intelektual hebat, mumpuni, dan punya talenta,
diawali dan diproses dari pendidikan dan tradisi intelektual di Dayah Suro dan Oboh, kampong halamannya,
Aceh Singkil.
Pendirian Dayah Suro dan Oboh
Menurut beberapa referensi,
tahun 997-1011 H=1589-1604 M, duo bersaudara
Ali Fansuri, orangtua Syekh Abdurrauf dan adiknya Hamzah Fansuri, paman Syekh
Abdurrauf, telah mendirikan Dayah (pesantern) di Singkil tepatnya di Suro,
Simpang Kanan dan Oboh, Simpang Kiri.
Di dua dayah inilah proses
pendidikan dan intelektual Syekh Abdurrauf al-Singkili diawali. Sebab, menurut
catatan Drakard, J, An Indian Acean Port: Sourcer for the Earlier History of Barus, pertama kali Syekh Abdurrauf, belajar di
Dayah Suro dan Oboh ini. Karena dua dayah ini, telah menjadi pusat kajian,
pendidikan atau pembelajaran Islam di Aceh.
Di dua dayah ini, Syekh
Abdurrauf kecil dan santri-santri lainnya
belajar membaca menulis, mengaji al-Quranul karim, mempelajari
kitab-kitab kuning seperti nahu, saraf, mantik, tafsir, hadis, fikih dan ilmu
kalam plus berbagai ilmu keislaman lainnya. Dayah ini, juga kiprahnya sangat besar dan penting dalam
melakukan islamisasi dan transformasi sosial di Aceh dan pantai Barat Sumatera.
Saat itu, sistem
pengajian yang dikembangkan didayah ini, berorientasi pada usaha pengembangan
dan pemantapan aqidah para santri. Mereka digembleng supaya mengenal Allah
serta mengetahui fungsi dan tanggung jawabnya sebagai khalifah di muka bumi.
Menurut catatan Tome
Pires, seorang pencatat Portugis, sebelum dua dayah ini berdiri.
Masyarakat pesisir pantai Barat Sumatera, pedalaman Sumatera dan Aceh, banyak terdapat aliran kepercayaan yang dipengaruhi oleh aliran animisme dan dinamisme. Masyarakat menyembah, mengeramatkan, dan mengagung-agungkan kuburan, pohon besar dan lain-lain. Tradisi pemujaan terhadap kekuatan gaib, seperti pelepasan sesajen (upa-upah) di tempat-tempat tertentu, telah menjadi ritual masyarakat.
Masyarakat pesisir pantai Barat Sumatera, pedalaman Sumatera dan Aceh, banyak terdapat aliran kepercayaan yang dipengaruhi oleh aliran animisme dan dinamisme. Masyarakat menyembah, mengeramatkan, dan mengagung-agungkan kuburan, pohon besar dan lain-lain. Tradisi pemujaan terhadap kekuatan gaib, seperti pelepasan sesajen (upa-upah) di tempat-tempat tertentu, telah menjadi ritual masyarakat.
Bahkan disinyalir,
ketika rakyat Singkil belum banyak
menganut Islam, ada berkembang perilaku budaya negatif di masyarakat. Seperti,
ketika mau mengambil getah kapur barus, terlebih dahulu, harus dilakukan
prosesi persembahan manusia kepada roh halus sebagai tumbal. Tidak itu saja,
ilmu sihir dan santet pun berkembang dengan pesat. Bahkan, ada manusia yang
makan manusia (kanibalisme).
Penyimpangan perilaku,
aqidah dan keimanan seperti itulah yang diubah dan diperbaruhi oleh Ali Fansuri dan Hamzah
Fansuri. Master atau maha guru dari
Syekh Abdurrauf inilah yang mengajar bagaimana umat Islam berhubungan dengan
khaliqnya tanpa ada perantara, berhubungan dengan sesama manusia, hewan, dan makhluk Allah lainnya.
Sisi lain, dayah Suro
dan Oboh, ketika itu, bukan saja
berfungsi sebagai tempat pendidikan.
Tetapi juga, sebagai benteng Islam, pusat penyebaran, media komunikasi dan informasi Islam. Melalui
Dayah ini, Islam menyebar ke daerah-daerah Barus, Sorkam, Sibolga, Aceh hingga
ke Minangkabau.
Dayah ini, telah banyak
berperan dalam melahirkan tokoh-tokoh ulama, para da’i, pejuang dan pemimpin
masyarakat. Selanjutnya mereka-mereka inilah yang memimpin Aceh hingga mencapai
kemajuan dan kesejahteraan.
Intelektual Ulilalbab
Dayah Suro dan Oboh,
telah berhasil pula meletakkan dan membina kader-kader atau generasi Islam yang ulil Albab di Aceh. Yaitu, generasi yang bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu dan
mendalami ilmunya. Kemudian berfikir sekaligus berzikir. Mau mengembangkan
nalar kritis, memisahkan yang hak dengan yang batil. Mereka mau dan mampu
menyampaikan ilmu dan menjalin hubungan kemanusian yang baik dengan sesama.
Tentunya mereka menjadi insan kamil yang selalu bertakwa kepada Allah dengan
iman dan ilmunya.
Sosok ulilalbab itu terdapat pada pendiri dua
dayah ini, yaitu Ali Fansuri, ayah dan guru dari Syekh Abdurrauf dan pamannya Syekh Hamzah Fansuri, kemudian Syekh
Abdurrauf. Dan beberapa santri lain seperti Burhanuddin Ulakan di Sumatera
Barat dan Abdul Muhyi, Pamijahan, Jawa Barat dan murid-murid Syekh Abdurrauf
lainnya.
Karena dalam sosok
mereka terintegrasi kekuatan iman, ilmu, dan amal yang bersifat profetik
sekaligus transformasional sehingga mereka mampu tampil pembawa misi Islam di Kerajaan Aceh Darussalam, Nusantara, dan
dunia internasional.
Awal Tradisi Intelektual
Berdirinya dayah Suro dan Oboh. Kemudian
kiprahnya dalam melakukan proses transformasi sosial keislaman di Aceh ditambah
dengan guru dan alumni dayah ini, seperti Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh
Abdurrauf al-Singkili di Aceh, Burhanuddin Ulakan di Sumatera Barat dan Abdul
Muhyi di Jawa Barat, menjadi ulama besar dan intelektual yang ulilalbab, merupakan bukti otentik,
bahwa sekitar tahun 1589-1604 M, pendidikan
telah berkembang pesat dan gerakan tradisi intelektual telah muncul di Aceh terutama di Singkil. Dan bisa
dikatakan, Dayah Suro dan Oboh adalah pionir, titik atau simbol awal pendidikan ala dayah dan gerakan tradisi
intelektual di Aceh.
Betapa tidak, kalau
sejarahwan mengatakan bahwa di Aceh Besar, tepatnya di kaki bukit Gunung
Seulawah, telah berdiri dayah Tanoh Abe, dayah Kuta Karang, (Abdullah dan
al-Fairusy, 1980:i). Dan di Pidie, Kampung Tiro, telah ada dayah Tiro (Hasjmy,
1975: 9-10) yang disebut-sebut sebagai awal pendidikan dayah dan gerakan
intelektual di Aceh, tidaklah tepat dan ternafikan (tersanggah).
Sebab, ketiga dayah ini
berdiri pada abad ke-17 atau tahun 1607-1636, semasa Kerajaan Aceh Darussalam
dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda. Sementara Dayah Suro dan Oboh, telah
berdiri semasa Aceh Darussalam diperintah
Sultan Alaidin Riayat Syah Mukamil, sekitar 997-1011 H=1589-1604 M.
Dengan demikian Dayah
Suro dan Oboh, jauh sebelum itu, telah menjadi pusat pendidikan, kajian atau
gerakan pembelajaran intelektual Islam serta telah memberikan kontribusi dalam
perkembangan pengajaran Islam di Aceh.
Namun sayang,
perkembangan pendidikan dan gerakan tradisi inteletual di Singkil telah lama
meredup. Nyaris, tidak ada lagi intelektual Singkil yang berkaliber dan diperhitungkan. Orang cerdas dan sarjana memang telah banyak, Tetapi cendikiawaan yang
ulilalbab, belum pernah muncul.
Tradisi intelektual
yang telah disemai dayah Suro dan Oboh—untuk mendidik cendikiawan yang ulil
albab, “raib” begitu saja. Nah!
Sadri Ondang Jaya, S.Pd
Pendidik di Singkil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar